Bisnis post authorBob 25 Februari 2021

Soal Kendaraan Listrik, Indonesia Perlu Belajar dari AS, Norwegia, dan China

Photo of Soal Kendaraan Listrik, Indonesia Perlu Belajar dari AS, Norwegia, dan China Soal Kendaraan ListrikIndonesia Perlu Belajar dari AS, Norwegia, dan China

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai pemerintah Indonesia harus belajar dari Norwegia, Amerika Serikat (AS), dan China dalam mengembangkan kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Ketiga negara itu sejauh ini dinilai berhasil mendorong adopsi kendaraan listrik.

Secara global, mobil listrik mengalami kenaikan pesat dalam satu dekade terakhir. Pada 2011 berdasarkan data IESR, penjualan EV baru 0,1 persen dari total pangsa pasar lalu naik menjadi 4,4 persen pada 2020 dengan jumlah 3,2 juta kendaraan yang dijual.

Kemudian penjualan EV pada 2020 mengalami kenaikan 40 persen dari 2019. Penjualan EV dari Norwegia, AS, dan China dinilai sangat tinggi.

Penjualan EV di Negeri Tirai Bambu naik 5 persen pada 2020 dibandingkan 2019, Eropa naik rata-rata 10 persen, dan AS naik 4 persen. Walaupun penjualan kendaraan bermotor di AS kontraksi 14 persen pada tahun lalu.

"Yang menarik sebenarnya adalah Norwegia pada 2020, penjualan kendaraan listriknya mencapai 54,3 persen dari hanya 1 persen pada 2011. Ini merupakan hasil dari konsistensi kebijakan dan dukungan pemerintah terhadap kendaraan listrik," jelas Fabby, dalam webinar Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia pada Selasa (23/2).

"Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bisa melihat dan belajar dari pengalaman tiga negara itu," sambungnya.

Ditambahkan peneliti dari IESR, Idoan Marciano, Indonesia masih jauh dari target kendaraan listrik yang ditetapkan Kementerian Perindustrian.

Pada 2020 baru ada 229 mobil listrik di Indonesia, atau hanya 0,15 persen dari target 150 ribu unit pada tahun yang sama. Sedangkan motor listrik sebanyak 1.947 ribu unit, atau 0,26 persen dari target 750 ribu.

Sementara tempat pengisian daya baterai kendaraan baru ada 27 unit, 15 persen dari target 6.316 pada tahun lalu. Stasiun penukaran baterai hanya ada sembilan unit dari 180 target.

"Bila kecepatan adopsi ini tidak meningkat, maka target yang ditetapkan untuk 2025 dan berikutnya tidak akan tercapai. SPBKLU dan SPKLU jumlahnya juga masih jauh dari target," tutur Idoan.

Tingkat adopsi yang masih rendah ini berkaitan dengan perkembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia juga baru memulai pengembangannya, jika dibandingkan tiga negara pembanding yang sudah mampu membangun ekosistemnya.

Ada lima sektor kesenjangan ekosistem yang disoroti yaitu kebijakan, infrastruktur pengisian daya, industri atau rantai pasokan, kesadaran masyarakat, serta pasokan dan ketersediaan model kendaraan.

"Secara umum Indonesia masih tertinggal dari seluruh aspek ini," katanya.

Untuk insentif, misalnya, pemerintah hanya memberikan insentif finansial dengan pengurangan harga kendaraan listrik sekitar 40 persen. Sementara negara pembanding memberikan insentif pengurangan harga lebih dari 50 persen.

Selain itu, rasio charger dan kendaraan listrik di Indonesia 1:70. Sementara dibandingkan tiga negara tadi, rasio tersebut kurang dari 1:25.

"Indonesia juga belum ada pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, seperti yang dicontohkan oleh negara-negara pembanding yang sudah banyak menargetkan 100 persen EV dan melarang kendaraan konvensional," jelas Idoan.

Masyarakat Indonesia sudah sadar dengan kehadiran kendaraan listrik dan memberikan respons positif. Namun karena alasan ekonomi dan keterbatasan informasi mengenai insentif, membuat penetrasi kendaraan listrik masih rendah.

Sementara dari sisi industri, Idoan mengatakan, belum ada fasilitas produksi yang sudah beroperasi untuk memproduksi komponen kendaraan listrik, termasuk baterai. Kendati demikian, saat ini pemerintah sedang berusaha agar Indonesia bisa memproduksi baterai kendaraan listrik.

Untuk motor listrik, saat ini sudah ada 15 perusahaan di Indonesia dengan kapasitas produksi 877 ribu unit per tahun.

"Namun demand yang ada belum mampu menyamai total kapasitas produksi yang sudah mampu dilakukan produsen," katanya. (lip/lha)

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda