Bisnis post authorPatrick Sorongan 25 Oktober 2022

TENANG! Ekspor CPO Indonesia Selamat dari Krisis Global: Jika Pasar China Cs Dialihkan!

Photo of TENANG! Ekspor CPO Indonesia Selamat dari Krisis Global: Jika  Pasar China Cs Dialihkan! KELAPA SAWIT- Pekerja Indonesia memuat buah kelapa sawit di truk. (Foto: Shutterstock)

KRISIS ekonomi global diprediksi akan terjadi pada 2023. Presiden Joko Widodo pun mengingatkan bahwa masa depan ekonomi Indonesia tahun depan masih gelap karena pengaruh krisis tersebut. 

Krisis ini untuk Indonesia juga akan mempengaruhi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke pasar utamanya, yakni Eropa, India, China, Afrika Sub-Sahara, dan Afrika Utara. 

Hanya saja, pelaku usaha di bidang persawitan termasuk petani sawit, tak perlu berkecil hati. Optimistis harus tetap ada, juga bagi para pelaku industri sawit di Kalbar, provinsi keempat pengekspor CPO terbesar di Indonesia.  

Data yang diperoleh Suara Pemred dari Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit periode 2018-2020, dan Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019-2021 terbitan  Kementerian Pertanian (Kementan), produksi CPO Kalbar berada di peringkat keempat setelah Sumatera Utara. 

Adapun total 10 provinsi pengekspor CPO terbanyak di Indonesia berdasarkan peringkat sesuai data terakhir yakni Riau (9.513.208 ton);  Kalimantan Tengah ( 7.664.841 ton); Sumatera Utara (5.647.313 ton). 

Produksi ini disusul  Kalimantan Barat (5.235.299 ton); Sumatera Selatan (4.049.156 ton);  Kalimantan Timur (3.988.883 ton); Jambi: 2.884.406 ton; Kalimantan Selatan (1.665.397 ton);  Aceh (1.133.347 ton); Sumatera Barat: (1.253.394 ton). 

Memang, ekonomi global dalam  tiga tahun ke depan (2022–2024), diperkirakan akan mengalami resesi ekonomi diikuti oleh tingkat inflasi (stagflasi).  

Dengan demikian, akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi daya beli masyarakat global. 

Kondisi ini menyebabkan penurunan daya beli CPO negara pengimpor,  karena ekonomi mengalami resesi yang meningkatkan biaya produksi karena lebih tingginya inflasi global.  

Namun, jangan pesimis, karena masih ada solusinya untuk industri sawit Indonesia, menurut laporan Palm Journal bertajuk The Threat of the 2022-2023 Global Recession and its Impacts in palm Oil Industry (Ancaman Resesi Global Tahun 2022-2023 dan Dampaknya di Industri Kelapa Sawit). 

Perekonomian Asean-5 termasuk Indonesia Booming?

Justru, ekspor CPO ini  terbuka peluang besar ke negara-negara ASEAN-5. Sebab, negara-negara ini khususnya Indonesia, diproyeksikan malah mengalami ledakan ekonomi, dan tingkat inflasi sedang.  

Meningkatkan penyerapan minyak sawit di pasar domestik negara ASEAN-5, seperti sebagai pengganti bahan bakar fosil dengan biofuel sawit dan petrokimia dengan oleokimia sawit, memiliki peluang yang sangat baik untuk dikembangkan dalam tiga tahun ke depan.  

Di masa depan, risiko global ketidakpastian akan menjadi lebih dinamis,  tergantung dariperang Rusia-Ukraina, Kebijakan Zero-Covid di Tiongkok, dan munculnya varian baru Covid-19. 

Akibatnya, kemampuan industri kelapa sawit dan keluwesannya  dalam mengambil keputusan untuk mitigasi itu,  harus dibangun secara berkelanjutan.

IMF dan Bank Dunia memperkirakan,  resesi global ini bakal diikuti oleh peningkatan tingkat inflasi  pada 2022 dan 2023.

Negara-negara besar dalam perekonomian dunia, seperti Eropa, AS, China, dan India, juga diperkirakan akan mengalami resesi ekonomi,  dan tingkat inflasi yang lebih tinggi.

Tapi diprediksi bahwa hal yang menarik adalah kawasan ASEAN 5 (termasuk Indonesia) akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang positif  dan  moderat tingkat inflasinya.

Memang, kondisi ekonomi global ini juga mempengaruhi industri kelapa sawit.  Dari segi pengeluaran, negara pengimpor minyak sawit mengalami penurunan daya beli.

Sementara itu, peningkatan input harga, seperti bahan baku pupuk dan kebijakan bank sentral AS (FED) dan Eropa

(ECB) untuk menghadapi stagflasi, akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi di industri kelapa sawit.

Adapun peluang  lebar bagi industri kelapa sawit, terutama di kawasan ASEAN-5 (termasuk Indonesia), adalah untuk meningkatkan penyerapan minyak sawit di pasar domestik, dengan mengganti bahan bakar fosil dengan biofuel sawit dan petrokimia dengan sawit oleokimia.

Peringatan IMF dan Bank Dunia

Dana Moneter Internasional (IMF) merilis Outlook Ekonomi Dunia: Perang Menyetel Kembali Pemulihan Global pada April 2022.

Laporan ini memperingatkan semua negara di dunia dari ancaman inflasi dan global resesi ekonomi pada 2022 dan 2023.  

IMF juga merevisi pertumbuhan ekonomi global  untuk 2022 hingga hampir 50 persen dari perkiraannya dibandingkan pada 2021. 

Secara bersamaan, Bank Dunia merilis laporan berjudul Komoditas Pandangan Pasar: Dampak Perang diUkraina di Pasar Komoditas. 

Laporan ini mengungkapkan peningkatan komoditas harga duni,  yang diperkirakan akan terjadi hingga 2024. Salah satu penyebab kenaikan harga ini adalah dampak perang Rusia-Ukraina. 

Dengan laporan ini, semua negara harus mengambil langkah-langkah untuk mengurangi ancaman inflasi dan resesi (stagflasi).  

Ekonomi global yang baru mulai pulih dari pandemi COVID-19, harus menghadapi tantangan yang baru, yakni  resesi global. 

Sebagai bagian dari ekonomi global, kelapa sawit sebagai bagian dari industri perminyakan, tidak dapat pula dipisahkan dari ancaman resesi global.  

Minyak kelapa sawit industri terintegrasi dengan ekonomi global,  baik dari sisi pasar input maupun output.

Mengenai pasar input, industri kelapa sawit dipengaruhi oleh dinamika pasar global untuk bahan baku pupuk, seperti gas,urea, batuan fosfat, dan kalium.

Sementara itu, dalam hal output produk, meskipun komunitas global bergantung pada industri kelapa sawit (sebagai bagian dari memberi makan dunia), industri kelapa sawit juga tergantung pada daya beli.

Bangkit dari Pandemi, tapi Terpukul akibat Perang Rusia-Ukraina

Setelah negara-negara di dunia berjuang menghadapi Pandemi COVID-19 pada  2020, ekonomi global mengalami pemulihan dengan pertumbuhan positif pada 2021.  

Namun, setelah mulai terjadi pertumbuhan yang positif pada 2022 daritahun sebelumnya, ekenomi global harus diperbaiki lagi setelahnya invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. 

Beberapa variabel menyebabkan penawaran gangguan barang yang memicu dorongan biaya inflasi dan resesi global pada 2022, yang dampaknya akan berlanjut hingga 2023–2024.  

Empat dari variabel ini adalah Perang Rusia-Ukraina, rantai pasokan global karena Pandemi COVID-19, penguncian sebagai bagian dari Kebijakan Nol COVID, dan anomali iklim.  

Perang Rusia-Ukraina dan adanya embargo ekonomi yang menyertainya,  dipandang sebagai memicu krisis pangan, inflasi yang tinggi, dan resesi global. 

Bahkan,  Parlemen Eropa sepakat bahwa perang ini akan berdampak jangka panjang bagi masyarakat  global.

Peran Rusia-Ukraina dalam energi, pupuk, dan makanan,  terutama untuk Wilayah Eropa dan Asia, cukup besar.

Rusia adalah produsen gas alam terbesar kedua di dunia dengan 17 persen pangsa,  dan 20 persen dari perdagangan gas alam global.  

Terkait produksi minyak mentah, Rusia adalah produsen terbesar ketiga dengan pangsa 12 persen.

Peran Rusia juga cukup besar di dunia industri pupuk.  Bagian Rusia di dunia pupuk nitrogen mencapai 15-20 persen, 17 persen dalam pupuk kalium dunia, dan bagian mereka dalam pupuk global mencapai 13-16 persen.  

Demikian juga mengenai pasokan makanan global, di mana  peran Rusia-Ukraina juga besar, dengan memiliki sekitar 34 persen dari gandum dunia, 17 persen jagung dunia, dan 55–81 persen minyak biji bunga matahari dunia.

Meskipun banyak negara di dunia relatif berhasil mengatasipandemi Covid-19, dampaknya terhadap rantai pasok barang, masih saja terjadi.  

Perubahan jadwal produksi, kekurangan kontainer dan gangguan internasional lalu lintas kapal, kekurangan tenaga kerja, karantina dan lainnya,  masih mengganggu produksi global, dan rantai pasokan.  

Merebaknya varian baru Covid di China telah memaksa negara itu untuk kembali ke penguncian di beberapa kota.    

Adapun dukungan (FTTIS) yang diterapkan oleh Pemerintah China  untuk tidak hidup berdampingan dengan Covid,, menyebabkan penutupan sementara aliran orang dan barang ke dan dari China.

Kebijakan Nol COVID juga mempengaruhi pasokan rantai barang global, karena China memiliki peran besar dalam rantai pasokan global. Gangguan pasokan global telah memicu kekurangan, meningkatkan global biaya produksi (cost-push inflation), dan penurunan pertumbuhan ekonomi global.  

IMF sendiri, harus melakukan koreksi pada proyeksi pertumbuhan ekonomi global.  Tingkat pertumbuhan ekonomi global pada 2021 mencapai 6,1 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi pada 2022 diproyeksikan hampir 50 persen dan dikoreksi hanya sekitar 3,6 persen 

Rusia, yang memulai perang dengan menyerang Ukraina, memiliki pertumbuhan ekonomi pada 2021 senilai 4,7 persen,  dan diharapkan mengalami pertumbuhan negatif pada 2022 (-8.5 persen),  dan 2023 (-2,3 persen). 

Menurun, Pertumbuhan Ekonomi China, AS, Eropa

Negara-negara yang memiliki menjadi lokomotif ekonomi utama di dunia selama ini, yakni Eropa, AS, China,  yang berhasil mencatatkan rekor tertinggi pertumbuhan ekonomi pada 2021, diproyeksikan mengalami penurunan pertumbuhan yang drastis pada 2022.  

Bahkan,  pertumbuhan ekonomi yang rendah akan terus berlanjut sampai 2023,  dan belum pulih untuk mencapai pertumbuhan sejak  2021.  

Hal yang menarik adalah ASEAN-5 termasuk Indonesia. Setelah mengalami pertumbuhan positif sebesar 3,4 persen pada  2021, negara-negara AEAN-5. pertumbuhan ekonominya diproyeksikan masuk ke peningkatan yang lebih tinggi, sebesar 5,4 persen (2022), dan enam persen (2023).  

Pertumbuhan ekonomi indonesia pada 2021 yang mencapai 3,7 persen, juga diproyeksikan mampu mencatatkan ekonomi pertumbuhan lebih tinggi dari rata-rata ASEAN-5, dan pertumbuhan ekonomi global 5,4 persen (2022), dan enam persen (2023).  

Kenaikan tingkat inflasi juga mengiringi proyeksi penurunanpertumbuhan ekonomi global. Secara internasional, tingkat inflasi pada 2021 adalah 3,1 persen di negara-negara maju,  dan 5,9 persen di negara-negara berkembang.  

Tingkat inflasi diproyeksikan meningkat pada 2022 menjadi 5,7 persen di negara-negara maju, dan 8,7 persen dinegara-negara berkembang.  

Eropa dan AS akan mengalami tingkat inflasi yang lebih tinggi dalam 20 tahun terakhir. Di Europa, tingkat inflasi diproyeksikan meningkat dari 4,9 persen pada 2021, menjadi 12,6 persen pada  2022,  dan 7,8 persen pada 2023.  

Sedangkan inflasi rate di AS pada 2021 masih 4,7 persen, yang diproyeksikan meningkat menjadi 7,7 persen pada 2022, kemudian turun menjadi 2,9 persen 2023

Dengan demikian, secara keseluruhan, ekonomi global sedang dalam pusaran resesi ekonomi, yang  disertai dengan tingkat inflasi tinggi atau stagflasi.  

Kondisi ini tidak mudah untuk diatasi. Ekspansi fiskal dan moneter kebijakan yang diperlukan untuk keluar dari resesi bisa memicu tingkat inflasi yang lebih tinggi.    

Bahkan, kebijakan -yang biasanya efektif dalam mengurangi inflasi- dapat menjerumuskan global ekonomi ke dalam resesi yang lebih dalam. 

Ekonomi Global tak Terpisahkan dari Industri Sawit

Industri minyak sawit global sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekonomi global, dan tidak dapatdipisahkan dari stagflasi.  

Ekonomi global mempengaruhi industri kelapa sawit dalam hal output yang dihasilkan, input yang digunakan, dan kebijakan yang akan dikeluarkan oleh masing-masing negara dalam menanggapi stagflasi.   

Pertama, industri kelapa sawit, yang paling banyakproduksinya untuk pasar global (ekspor), akan menghadapi penurunan daya beli global, baik karena faktor ekonomiresesi  atau peningkatan global harga minyak sawit itu sendiri.  

Eropa, India, dan China adalah wilayah yang memiliki lebih dari setengah populasi dunia,  dan juga merupakan pasar utama minyak sawit.  

Pada 2022 dan 2023, kawasan akan mengalami melemahnya daya beli per kapita karena kombinasi dari resesi global,  dan inflasi tinggi.  

Namun, mengingat kelapa sawit merupakan bagian dari makanan pokok, di mana konsumsinya lebih dipengaruhi oleh populasi daripada pendapatan, maka diperkirakan bahwa total konsumsi minyak sawit di negara-negara itu tidak akan berkurang secara signifikan.  

Pasar negara berkembang untuk minyak sawit industri yakni Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, dan Afrika Utara, yang umumnya memiliki pendapatan yang relatif rendah, diperkirakan mengalami penurunan daya beli pada  2023.

Wilayah ini diperkirakan tidak hanya mengalami resesi ekonomi,  tetapi juga tingkat inflasi yang lebih tinggi, bahkan yang tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.  

Keadaan ini menyebabkan penurunan yang signifikan dalam pembelian daya,  dan berdampak pada pengurangan minyak sawit konsumsi.

Kawasan ASEAN-5, termasuk Indonesia, adalah penghasil minyak sawit terbesar,  dan daerah konsumsi di dunia.  

Berbeda dengan kawasan lain, kawasan ASEAN-5 diproyeksikan tidak akan mengalami resesi, tetapi untuk menikmati pertumbuhan yang lebih tinggi (booming) disertai, dengan tingkat inflasi yang moderat pada 2022-2023.  

Ini memungkinkan peningkatan telapak tangan konsumsi minyak di kawasan ASEAN-5.

Bahkan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat ini, Indonesia  khususnya, peluang besar untuk meningkatkan konsumsikelapa sawit secara lebih luas.

Ini bisa dilakukan  dengan memperluas penggunaan minyak sawit dalam negeri, baik untuk substitusi fosil bahan bakar dan petrokimia, yang menjadi semakin mahal secara internasional. 

Kedua, selain dari aspek output, industri kelapa sawit mengalami dampak dari inflasi tinggi dan resesi ekonomi dunia, serta juga menghadapi peningkatan input harga, baik bahan baku pupuk maupun produk pupuk itu sendiri.

Harga minyak mentah dan gas (sebagai mentah bahan untuk pupuk urea) dan pupuk (DAP, Batuan Fosfat, Kalium Klorida, TSP, Urea) diperkirakan akan naik 33-147 persen pada  2022.

Harga ini diperkirakan akan sedikit menurun pada 2023 dan  2024,  tetapi masih di atas level harga seperti pada 2021.

Sementara itu, harga minyak sawit global diperkirakan akan naik sebesar 46 persen pada 2022 sebelum jatuh pada 2023 dan 2024.

Mengingat pupuk adalah yang terbesar komponen biaya dalam produksi minyak sawit, kenaikan harganya dapat ditransmisikan ke kenaikan biaya produksi (biaya per unit).

Kenaikan produksi biaya diperkirakan lebih tinggi dari kenaikan harga minyak sawit, yang menyebabkan penurunan margin kelapa sawit pada 2023-2024.

Kenaikan harga pupuk akan mengurangi penggunaan pupuk di kelapa sawit perkebunan, yang akan berdampak pada produktivitas selama enam hingga 24 bulan.

Diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan efektivitas pemupukan dan inovasi dalam mengganti pupuk anorganik dengan pupuk organik lokal dan pupuk hayati.

Hal ini  akan mengurangi kenaikan biaya produksi untuk minyak perkebunan kelapa sawit, dan mencegah penurunan produktifitas.

Melonjaknya Suku Bunga Pinjaman Bank

Ketiga, untuk mengatasi stagflasi dan mengurangi tingkat inflasi saat ini, bank-bank sentral seperti Fed (AS) dan ECB (UE) akan menerapkan Kebijakan Uang Ketat dengan menaikkan tingkat bunga mereka.  

Kebijakan ini akan mendorong kenaikan suku bunga pinjaman dari bank sehingga biaya uang dan biaya investasi di industri kelapa sawit akan juga menjadi lebih mahal.  

Ini juga akan berkontribusi pada peningkatan produksibiaya industri kelapa sawit.  

Dengan demikian, industri kelapa sawit akan menghadapi berbagai risiko strategis yang akan meningkat dalam dua tahun ke depan.  

Karena ekonomi resesi, dan meningkatnya biaya produksi karena inflasi global, maka di sisi lain, negara pengimpor minyak sawit mengalami penurunan daya beli.***

 

Reporter, penulis dan editor: Patrick SoronganSumber: Berbagai sumber 

 

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda