Gaya Hidup post authorPatrick Sorongan 03 Oktober 2021

Penjualan Babi Panggang di Mesir: Marak di Pinggiran Kairo

Photo of  Penjualan Babi Panggang  di Mesir: Marak di Pinggiran Kairo DAGING BABI - Penjual daging babi di Kairo, Ibukota Mesir.(Alamy)

HARGA daging babi terutama babi panggang (bipang) di Mesir ternyata masih tinggi. Angkanya tak begitu berubah pasca pembantaian 350 ribu ekor babi oleh pemerintah secara massal akibat wabah flu babi pada 2009.

Di negara mayoritas berpenduduk Muslim ini, babi dijual di pasar-pasar pinggiran Kairo, Ibukota Mesir, terutama di kalangan komunitas Zabbaleen, yakni orang-orang Kristen Koptik di Manshiyet Nasr serta juga di setengah lusin kawasan kumuh lainya.

Kalangan minoritas ini secara kolektif dikenal sebagai Zabaleen (orang sampah), sebutan bagi penduduk asli dari pedesaan Mesir utara yang berdatangan ke kota-kota bexsar di Mesir terutama di Kairo. Disebut begini karena ,ereka hidu sebagai pemulung sampah.

Peternakan babi juga banyak terdapat di Provinsi Giza yang ibukotanya berama sama. Dilansir dari The Guardian, Jumat, 28 Maret 2014,  Giza atau juga  disebut sebagai El Giza atau El Gizeh (Al Jizah), adalah kota terbesar ketiga di Mesir yang terletak di tepi barat Sungai Nil, sekitar 4,9 kilomeer barat daya pusat Kairo.

Giza adalah  kota inti dari Metropolis Greater Cairo, terletak sekitar 30 kilometer  di utara Memphis (Men-nefer), ibu kota kuno pertama Mesir Hilir sejak zaman firaun pertama, Narmer. Di sinilah terdapat piramida-piramida, termasuk piramida raksasa bernama Sfinks Agung Giza (bahasa Arab: Abu al Hul, bahasa Inggris: The Terrifying One). 

Piramida ini berbentuk kepala manusia, dan berbadan singa. Letaknya  di Dataran Giza, tepi barat Sungai Nil, merupakan salah satu patung terbesar di dunia yang terbuat dari satu batu utuh, yang dipercaya telah dibangun oleh peradaban Mesir Kuno pada milenium ketiga Sebelum Masehi (SM).

Dilansir dari Wikipedia, asal muasal nama yang digunakan oleh masyarakat Mesir Kuno untuk menyebut patung ini,  sama sekali tak diketahui. Nama sfinks, yang biasa digunakan, sebenarnya  berasal dari nama makhluk mitologi Yunani.

Memiliki tubuh seekor singa dan kepala seorang wanita, dan sayap seekor elang, tapi patung sfinks di Mesir memiliki kepala laki-laki.    

Harga per Kilogram sama dengan Seekor Babi

Toh tak sedikit pula babi yang selamat dari pembantaian massal pada 2009 atas perintah Presiden Mesir Muhammad Mursi 'Isa al-'Ayyath'.

Babi-babi ini pun terus beranak pinak di peternakan-peternakan hingga 2021.

Hanya saja, harganya tetap sangat tinggi termasuk pasca kudeta militer terhadap presiden kelima Mesir ini, yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Fattah as-Sisi pada Juni 2013, tidak banyak membantu perekonomian Mesir. 

Tetapi,  bagi para peternak dan tukang daging terutama di kawasan-kawasan kumuh di sekitar Kairo, kudeta ini telah menandai kembalinya bisnis daging babi.

Pada 2013 atau setekah tumbangnya Presiden Mursi alias Morsi, daging babi menjadi sangat langka di Kairo. Tukang daging seperti Bishoy Samir menjual daging babi hanya dua kali sebulan. Sekarang,  Samir menjual daging babi per kilogram seharga satu ekor babi setiap hari, yang disulai ke restoran-restiran di Kairo.

Pemusnahan sebagian besar populasi babi Mesir telah mengakibatkan kehidupan keluarga Samir menjadi  melarat. "Sangat jarang bagi saya untuk menemukan sesuatu untuk dimasak," kata Samir.

"Kami dulu bekerja satu minggu masuk, satu minggu libur. Tapi segalanya mulai membaik, dan sekarang kami menyiapkan satu babi sehari, dan yang lainnya  melakukan dua atau tiga," tambahnya.

Peternakan sekaligus penjualan daging babi di Mesir dimulai secara perlahan setelah Revolusi 2011 yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak. Ketika itu, beberapa petani mulai membiakkan kawanan babi berikuran kecil,  tapi menyembunyikannya di ruang bawah tanah.

Tetapi, kebangkitan itu terbatas hingga jatuhnya Ikhwanul Muslimin Morsi pada Juni 2013. Peternakan babi masih ilegal, namun kalangan peternak skala kecil menyatakan bahwa mereka sekarang ini membangun kembali usaha tersebut yang dihancurkan pada  2009.

"Di bawah Morsi, semua orang takut. Orang menyembunyikan fakta bahwa kami memiliki babi,  karena mereka takut pemerintah akan datang untuk membunuh mereka (babi)," kata Sayeed, tukang daging babi lainnya  di Kairo, yang memelihara ternak babi di atap rumahnya di Manshiyet Nasr, kawasan kumuh di Kairo timur.

Pemerintah Mesir Tutup Mata

Tapi setelah Morsi tumbang, kata Sayeed: "Sekarang, pemerintah senang bertindak seolah-olah mereka tidak tahu ada babi di sini.

Pada 2014, misalnya, terdapat 50.000-80.000 ekor babi di Manshiyet Nasr, menurut perkiraan Ezzat Naem, kepala serikat pekerja lokal.

Angka ini jauh lebih sedikit dari 350.000 pada 2009. Pada 2013,  keluarga Samir adalah salah satu dari hanya dua atau tiga tukang daging yang diam-diam memanggang babi di Manshiyet Nasr, yang dikenal secara internasional sebagai Kota Sampah.  

Sekarang,  penduduk setempat mengakui bahwa  ada sekitar selusin peternakan babi, karena semakin banyak penduduk yang mengubah sebagian rumah mereka menjadi kandang babi darurat sejak 2014. Karena ruang luar terbatas maka babi tinggal di atap, atau di kamar tidur yang telah diubah.

Pada 2009, pekerja pemerintah membunuh babi di Mesir dengan cara brutal. Banyak babi yang dikubur hidup-hidup di padang pasir, dan diselimuti asam, seolah-olah untuk menangkal flu babi, kemudian dianggap sebagai ancaman besar.  

Tetapi,  pejabat Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) menyatakan, babi tidak ada hubungannya dengan penyebaran penyakit terutama flu babi.

Pemusnahan itu  dinilai merupakan upaya yang  disengaja oleh pemerintah bagi bagi orang Kristen Koptik di Mesir yang  membentuk sekitar 10 persen dari total populasi di negara itu.  

Kalangan ini merasa menjadi korban karena alasan ekonomi dan sosial. Orang-orang Kristen di Manshiyet Nasr dan setengah lusin daerah kumuh lainnya di Kairo,  secara kolektif dikenal sebagai 'orang sampah'.

Daur Ulang 15 Ribu Ton Sampah Kairo per Hari

Mereka mengumpulkan dan mendaur ulang sekitar dua pertiga dari 15.000 ton sampah yang dihasilkan di Kairo setiap hari. Sampah organik juga dimanfaatkan seabagai pakan bagi babi mereka.

"Itu (pemusnahan babi) adalah balas dendam kepada orang-orang Kristen Mesir," klaim Pastor Barsoum, seorang imam Koptik.  

Perasaan terasing ini muncul di bawah pemerintahan Presiden Morsi, ketika polisi dan warga mengepung gereja katedral terbesar di Mesir, dan menembakkan gas air mata ke dinding.

Presiden kala itu merasa tidak berbuat banyak untuk mengutuk kekerasan tersebut.

"Morsi tidak peduli dengan negara. Dia hanya peduli dengan kelompoknya," kecam Abu John, yang pernah memiliki peternakan  babi terbesar di Manshiyet Nasr, serta jaringan  tukang daging.

"Kami merasa tidak bisa hidup di Mesir," lanjutnya.

Sekarang,  Abu John merasa lebih nyaman dan membiakkan lebih banyak babi lagi.

Harga daging babi lokal pun mencerminkan kenaikan. Satu kilogram daging babi di tukang daging terdekat harganya sekitar 50 pound Mesir.

"Orang-orang menyadari bahwa kenaikan harga daging ini lebih menguntungkan lagi," kata Ezzat Naem, pemimpin serikat pekerja dan kepala Spirit of Youth, sebuah organisasi non-pemerintah lokal.

Namun untuk saat ini, kebangkitan usaha daging babi masih terbatas pada petani subsistem di distrik-distrik tertentu,  seperti Manshiyet Nasr, di mana pengaruh pemerintah lemah.

Dua rumah pemotongan babi di Mesir tetap ditutup, dan orang-orang yang pernah memelihara ternak babi terbesar di negara itu menolak untuk membuka kembali peternakan.

Hal ini memicu kebangkitan yang lebih besar – sementara praktik tersebut masih ilegal.

"Jika pemerintah ingin memeriksa siapa pun, kami adalah yang pertama dalam daftar. Jadi,  kami tidak ingin mengambil risiko," kata Ihab Israel, yang keluarganya pernah memiliki bisnis daging babi terbesar di Mesir, tetapi sekarang dikurangi menjadi mengimpor mortadella.  

"Saya tidak akan memulai,  kecuali saya mendapatkan dokumentasi resmi dari pemerintah. Yang kami butuhkan adalah rumah jagal kembali," tambahnya. 

Peternakan babi di Mesir dianggap sebagai sumber pencemaran lingkungan.

Padahal, sebagaimana dilansir dari Egypth Today, 13 November 2017. keberadaan babi di Mesir selama ini telah membantu mengurangi polusi sampah di jalanan. 

Egypt Today melakukan kunjungan ke peternakan babi Meit Okba di Giza, di mana sebagian besar wilayahnya terdiri dari tempat pembuangan sampah, tempat babi diberi makan.

Selain itu, beberapa tukang sampah bekerja menyaring sampah, dan mereka hidup dari babi. 

 “Ribuan tukang sampah hidup dengan menyaring sampah,  dan memelihara babi di distrik Mu’tamediyya, Giza, sementara banyak lainnya bekerja di berbagai daerah di Giza dan Kairo,” tutur Ahmed Abdul Samie, seorang peternak babi.

Abdul Samie menambahkan, jumlah peternak babi telah menurun sejak 2009, ketika negara mengeksekusi sejumlah besar babi setelah flu babi tahun 2009 di Mesir, sebagaimana dilansir oleh BBC.  

"Diputuskan untuk membantai semua kawanan babi yang ada di Mesir, mulai hari ini," kata Menteri Kesehatan Hatem el-Gabali ketika kitu, menurut kantor berita Mena. 

Gubernuran Giza: Tidak Masalah dengan Babi

Pihak Deputi Gubernur Giza untuk Urusan Distrik Alaa Al-Harras menyatakan: "Gubernuran tidak memiliki masalah dengan memelihara babi. Kami membiarkan mereka bebas, dan kami belum mengajukan proposal untuk memindahkan peternakan."

Ketika terjadi pembantaian babi, pihak Departemen Kesehatan Provinsi Giza menyatakan, flu babi H1N1 tidak ada selama beberapa tahun, dan juga tak ditemukan kasus flu babi di wilayahnya.

Adapun pasokan daging babi di Mesir selama ini dapat memenuhi permintaan utama dari restoran. 

“Daging babi membantu mengurangi permintaan daging sapi, karena memerangi pemeliharaan babi adalah salah satu alasan utama kenaikan harga daging sapi”, kata Shehata al-Mukaddas, kepala tukang sampah dan pemelihara babi.

Daging babi banyak disantap oleh umat Kristen, warga asing, dan turis di Mesir yang merupakan negara mayoritas Muslim.

Dalam Islam, masih dilansir dari Egypth Today, babi adalah haram (dilarang),  dan tidak boleh dimakan,  baik dagingnya, lemaknya atau bagian lainnya.

Allah telah berfirman (artinya interpretasi):“Diharamkan bagimu (untuk makanan) adalah: Al-Maitah (hewan mati yang tidak disembelih secara ritual), darah, daging babi.” [al-Maa'idah 5:3]. 

Umat Muslim setuju bahwa semua bagian dari babi adalah haram.

Allah mengharamkan karena kandungannya yang berbahaya,  dan karena najisnya, sebagaimana Allah berfirman (artinya diinterpretasi): Katakanlah (Muhammad): 'Aku tidak menemukan pada apa yang telah diturunkan kepadaku sesuatu yang dilarang untuk dimakan oleh orang yang ingin memakannya, kecuali itu Maitah (binatang mati) atau darah yang tercurah (dengan menyembelih atau seperti), atau daging babi (babi); karena sesungguhnya yang demikian itu najis…” [al-An’aam 6:145]   

Sementara itu, dilansir dari Penn Political Review, 31 Desember 2020,  WHO pada  Juni 2009 memperingatkan komunitas global tentang epidemi baru flu babi (H1N1), yang pertama kali muncul di Meksiko, dan mulai menyebar secara global.

Pada awal Mei 2009, sebelum WHO menyebut H1N1 sebagai pandemi global, Pemerintah Mesir segera mengumumkan kebijakan untuk memusnahkan semua babi di Kairo.

Keputusan Pemerintah Mesir untuk menyembelih semua babi di Kairo secara massal telah mencerminkan agenda kebijakan luar negeri dan kebijakan dalam negeri.

Hal itu, antara lain,  didorong oleh keinginan rezim Hosni Mubarak untuk terlihat proaktif di mata masyarakat internasional.  

Pemerintah sangat ingin menjauhkan diri dari tanggapannya yang banyak dikritik terhadap pandemi Flu Burung 2006.

Pemusnahan ini juga dianggap memungkinkan Pemerintah Mesir untuk semakin meminggirkan Zabbaleen, kelompok minoritas yang mengandalkan babi untuk mata pencaharian mereka.

Implementasi cepat dari pemusnahan babi , yang sekali lagi, dilakukan sebelum WHO mendeklarasikan pandemi,   telah menunjukkan bahwa hal itu lebih dimotivasi oleh alasan ideologis dan sektarian daripada oleh kekhawatiran nyata tentang kesehatan masyarakat.

Ada bentrokan signifikan antara kaum Zabbaleen dan polisi ketika tim dokter hewan mengangkut babi ke rumah jagal.  

Sebuah klip yang diposting oleh surat kabar independen Al-Masry Al-Youm (Mesir Hari Ini) menunjukkan gambar berdarah:  babi dipukuli dengan jeruji besi, ditikam, ditendang hidup-hidup ke dalam ember buldoser, diracuni oleh bahan kimia,  atau dibiarkan mati di lubang.

Pemerintah Mesir mengklaim bahwa keputusan pemusnahan sepenuhnya didasarkan pada kesehatan masyarakat.

Namun pada saat itu, tidak ada orang atau babi di Mesir yang diuji dan didiagnosis menderita flu babi. Semua kematian akibat flu babi terkonsentrasi di Meksiko.  

Setelah pemusnahan, Pemerintah Mesir mengubah penjelasannya, dan menyatakan bahwa keputusan pemusnahan dilatarbelakangi oleh kekhawatiran tentang kondisi tidak sehat di komunitas Zabbaleen.  

Padahal, jika tujuannya adalah untuk mempromosikan kondisi sanitasi yang lebih baik, seharusnya ada banyak hal lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah.

Keputusan untuk memusnahkan semua babi didahului oleh debat parlementer mengenai apakah pemerintah harus merelokasi babi atau menghilangkannya.

Kementerian Lingkungan Hidup Mesir menganjurkan relokasi babi ke pemukiman baru di daerah gurun yang ditunjuk untuk daur ulang sampah, tetapi Kementerian Pertanian berpendapat bahwa proses relokasi akan sulit dan lama.  

Pemusnahan tampak lebih mudah dan bersih. Tanpa suara oposisi dari Zabbaleen di pemerintahan, maka keputusan untuk memusnahkan babi pun langsung disahkan dengan cepat.  

Babi bukanlah hewan pertama yang dimusnahkan oleh Pemerintah Mesir sebagai tanggapan atas pandemi.

Selama krisis flu burung pada 2006, Pemerintah Mesir memerintahkan pemusnahan 30-35 juta ayam dari peternakan unggas, meskipun ayam menyumbang 35-40 persen dari protein yang dikonsumsi di rumah tangga di Mesir.***

 

Sumber: The Guardian, Wikipedia, Egypth Today, Mena, BBC, Penn Political Review, Al-Masry Al-Youm 

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda