Forn Al-Shaikh, Toko di Saudi yang Bertahan sejak Kekaisaran Ottoman

Photo of Forn Al-Shaikh, Toko di Saudi yang Bertahan sejak Kekaisaran Ottoman TOKO ROTI TERTUA- Aroma dan bentuknya yang di antaranya berukuran segede laptop, langsung memancing rasa lapar. Orang Indonesia yang sudah atau berdomisili di Arab Saudi setidaknya mengenal Toko Roti Forn Al-Shaikh. (Foto: Arab News/Ca[tion:PWS)

AROMA dan bentuknya yang di antaranya berukuran segede laptop, langsung memancing rasa lapar. Orang Indonesia yang sudah atau berdomisili di Arab Saudi setidaknya mengenal Toko Roti Forn Al-Shaikh.

Lokasinya di Jeddah, kota dagang yang juga  kota pelabuhan utama untuk laut dan udara di negara kaya minyak ini. Aroma roti yang khas langsung merebak dan tercium oleh siapa saja yang melintas di depan Toko Roti Forn Al-Shaikh, yang berdiri lebih dari setengah abad,  yang tercatat sebagai toko roti tertua di Arab Saudi.

Tak heran jika bagi warga asli, harumnya aroma roti yang baru dipanggang ini selalu membangkitkan kenangan akan masa kecil mereka.  Bagi banyak pembuat roti lokal termasuk di Toko Roti Forn Al-Shaikh, arus pelanggan yang terus menerus membuat kenangan itu tetap hidup, sebagaimana ketika toko ini didirikan pertama kali oleh  Sheikh Youssef Shoukry.

Selama lebih 50 tahun lebih, dilansir Suara Pemred dari Arab News, Selasa, 8 Juni 2021, reputasi Shoukry menyebar begitu cepat, sehingga melintasi perbatasan ke Bahrain, Pakistan, dan Mesir. Bahkan hingga ke Inggris dan AS, ketika orang-orang mengekspor rotinya yang baru dipanggang,  melintasi Laut Merah,  dan sekitarnya.

Menurut Mukhtar Shoukry, ayahnya  adalah kepala pembuat roti di Jeddah pada 1952 hingga wafat pada 1999, dan telah membangun pengalaman selama bertahun-tahun dalam bisnis kue.

Lahir di Madinah pada 1888, Shoukry menghabiskan sebagian besar hidupnya di Madinah. Dia dibesarkan sebagai yatim piatu, yang sejak berusia 10 tahun bekerja untuk kepala pembuat roti di Al-Madinah.

Muhktar menambahkan, ayah dan kerabatnya adalah pedagang biji-bijian. "Ketika bibi saya menikah dengan kepala pembuat roti di Madinah, ayah mulai bekerja sebagai pembuat roti dengan sedikit uang, tetapi dia mencintai profesinya," ujarnya.

Shoukry bekerja dengan pamannya selama sekitar delapan hingga 10 tahun, sebelum akhirnya bertemu dengan Fakhri, sang paman yang biasa mengirim pedagang ke Negeri Syam,  wilayah di bagian barat Saudi Arabia yang terdiri dari beberapa negara saat ini, yakni Suriah, Palestina, Yordania, dan Lebanon.   

Di Negeri Syam, sang ayah tinggal selama tiga tahun di wilayah AlUla, kemudian pindah Turki, sebelum pindah ke Makkah, dan akhirnya kembali ke Madinah untuk bekerja sebagai pembuat roti.

“Dia memiliki pendidikan yang keras, karena bekerja sejak usia sangat dini. Tapi, ayah saya memperoleh pengalaman dan pengetahuan dari orang-orang di sekitarnya, berpindah dari satu lingkaran sosial ke lingkaran berikutnya,  meskipun dia buta huruf,” kenang  Mukhtar. 

 

Menimba Ilmu dari Wilayah Hijaz

Sang ayah pernah menyatakan kepada  Mukhtar bahwa wilayah Hijaz adalah koridor yang dilalui jutaan Muslim selama berabad-abad untuk berhaji dan menuju dua masjid Suci di Makkah dan Madinah.

Mereka membawa serta budaya, warisan, tradisi, dan pengalaman dari negara masing-masing. “Makanya, Hijaz adalah wadah di mana pengalaman dan sains Timur terakumulasi selama berabad-abad, menyatukan pengobatan tradisional Timur dan Arab, yang berpuncak pada slogan 'Makanan adalah Obat,’ karena orang-orang biasa memperlakukan diri sendiri dengan makanan," kata Mukhtar menirukan kalimat sang ayah. 

“Ayah saya memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang digunakan sebagai obat, dan memiliki latar belakang agama yang kuat. Karena itu, diadikenal sebagai orang yang alim,  dan bijaksana," tambahnya.

Ditambahkan, setelah bertahun-tahun bekerja di Madinah, kesalahpahaman dan perselisihan antara sang ayah dengan kepala pembuat roti di kota ketika itu. membuatnya meninggalkan Madinah. 

Ayahnya pindah ke Jeddah kemudian membuka toko roti kecil di Pasar Nada, yang terletak di Harat Al-Sham. barat laut kota.

Pada awal dekade 1950-an, kualitas roti dan penguasaan profesinya,  membuat orang berbondong-bondong ke toko rotinya. 

Tak lama kemudian, ayahnya diakui sebagai kepala pembuat roti resmi di kota itu, kemudian diberi wewenang oleh pemerintah kerajaan untuk memeriksa,  dan mengarahkan semua pembuat roti.   

Pada 1924, Shoukry  menjaga tokonya yang berhadapan dengan masjid kecil Souk Al-Nada, sambil kerap  duduk dengan mengenakan pakaian tradisional terkemuka (rompi), imamah (penutup kepala),  membawa tasbih,  dan arloji sakunya.  

Terkadang, sang ayah memimpin salat di Masjid Souk Al-Nada. Selain di masjid itu, ayahnya juga sering berjalan sendirian beberapa kilometer dari rumahnya di lingkungan Al-Kandara sebelum adzan subuh,  menuju Masjid Al-Basha atau Masjid Al-Nada tepat waktu untuk sholat.  

Sang ayah bekerja di toko roti hingga melewati usia 60-an, kemudian melatih para pekerjanya untuk menjaga kualitas roti.

Dikelola dengan kesalehan, kejujuran,kecerdasan, dan pendapat bijak, toko roti milik Shoukry telah hidup untuk melayani ribuan, jika bukan jutaan orang, dari zaman Kekaisaran Ottoman hingga hari ini. Sebuah toko roti,  yang awalnya menjual tiga jenis roti — roti Samoli, yang menyerupai roti Prancis, roti Shami, roti pita, dan roti pipih — kini beralih ke memanggang produk populer lainnya.

“Oven masih bekerja,  dan menghasilkan rasa khusus yang sama dengan aroma,  dan rasanya yang berbeda,” kata   putra Shoukry ini.  

Campuran lama dari roti tersebut masih dipertahankan, bahkan setelah sang ayah meninggal lebih dua dekade lalu.

Sebagian besar pelanggan toko berasal dari Al-Balad, Jalan Qabel, Suwaiqah, Jalan Al-Sham dan lingkungan terdekat lainnya di kota tua Jeddah.

Kesegaran aromanya masih bisa tercium saat melewati pasar lama, tempat yang sama,  persis dengan tempat berdirinya bertahun-tahun lalu, melayani masyarakat, tua maupun muda, dalam kualitas dan kuantitas yang sama, sebuah peninggalan yang berharga dari kota tua masih kuat sampai sekarang.

 

Makam Siti Hawa

Jeddah terletak di tepi Laut Merah, dan sebagaimana kota-kota lainnya di Arab Saudi, Jeddah memiliki iklim gurun. Jeddah sebelumnya hanyalah sebagai desa nelayan pada 2500 tahun lalu, yang didirikan pada 647 Masehi  oleh Khalifah Utsman bin Affan,  yang akhirnya digunakan sebagai pelabuhan untuk kepentingan jamaah haji,  terutama pada masa-masa perjalanan jamaah haji dilakukan melalui laut, bukan melalui udara seperti sekarang.

Sebagai kota dagang, Jeddah memiliki fasilitas kota yang cukup memadai. Pelabuhan lautnya merupakan pelabuhan utama,  menjadi sentral perdagangan menuju berbagai negara,  khususnya negara-negara di pesisir timur Afrika, dan Yaman. Pelabuhannya merupakan pelabuhan bebas.

Di Jeddah,  terdapat bandar udara yang cukup terkenal,  yakni Bandara King Abdul Aziz,  yang memiliki tingkat kesibukan tinggi terutama selama musim haji. Selain digunakan untuk melayani penerbangan haji, Bandara Internasional Jeddah digunakan untuk kepentingan komersial biasa.

Belum jelas asal usul kata 'jeddah', tetapi konon,  nama kota ini berasal dari kata bahasa Arab: 'jaddah' yang berarti nenek. sebab di sana terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai makam Siti Hawa,  istri Nabi Adam yang merupakan nenek moyang manusia.

Sumber lain mengklaim, Jeddah berasal dari kata 'jiddah' dalam bahasa Arab yang berarti 'lepas pantai'.***

 

Sumber: Arab News, Wikipedia

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda