PERSELINGKUHAN antarsesama anggota Korps Bhayangkara maupun yang melibatkan anggota keluarga mulai marak dalam beberapa tahun terakhir.
Paling anyar adalah viralnya dugaan perselingkuhan antara mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo dengan AKP Yuliana.
Bukan hanya selingkuh, Sambo juga dikabarkan telah menikah secara siri, dan dikaruniai seorang bayi, walaupun semua kabar itu masih harus dikonfirmasikan.
Dugaan affair ini mencuat menyusul penyidikan atas kematian ajudannya, Brigadir Yoshua atau Brigadir J dengan tersangka penembakan awal Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, juga ajudan Sambo.
Dalam perkembangannya, peristiwa tembak mati di rumah dinas Sambo, Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Juli 2022 ini, makin ribet, karena melibatkan banyak oknum di jajaran kepolisian.
Belakangan, hasil penyidikan secara maraton menemukan bahwa justru Sambo yang menyuruh Bharada E untuk menembak Brigadir J, karena melakukan pelecehan seksual terhadap istrinya. Putri Candrawati.
Pada Kamis, 11 Agustus 2022, Sambo mengaku membunuh demi menegakkan marwah keluarga, karena istrinya diganggu.
Namun, Sambo menyatakan siap bertanggung jawab melalui pengacaranya, Arman Hanis. Arman kepada para wartawan di Jakarta.
Dalam suratnya yang dibacakan Arman, Sambo juga mengaku akan patuh atas proses hukum yang berlaku.
"Saya akan patuh pada setiap proses hukum saat ini yang sedang berjalan dan nantinya di pengadilan akan saya pertanggungjawabkan," katanya.
Sambo mengaku dirinya hanya berniat menjaga dan melindungi keluarganya.
"Saya adalah kepala keluarga, dan murni niat saya untuk menjaga, dan melindungi marwah dan kehormatan (siri) keluarga yang sangat saya cintai," ucap Sambo, sebagaimana dikutip pengacaranya.
Ada dugaan bahwa pembunuhan itu juga karena korban telah membocorkan perselingkuhan Sambo itu kepada sang istri sehingga Sambo gelap mata.
Lepas dari benar-tidaknya hal ini, dalam satu dekade terakhir ini telah muncul fenomena 'polwan cantik' dan polisi 'ganteng'.
Kriteria untuk disebut cantik dan ganteng ini, bukan dilihat dari kualitas intelektual dari seorang polisi atau polwan. Melainkan dari bentuk tubuh alias pesona ragawi: cantik dan ganteng dengan postur tubuh seksi layaknya model.
Sebuah artikel dalam portal berita Merah Putih, Rabu, 19 November 2014, menulis bahwa tugas polisi adalah untuk menegakkan hukum, mengayomi, memberi pelayanan, serta menjaga ketertiban masyarakat, dan polisi juga sangat ditakuti oleh masyarakat.
Namun beda halnya dengan para polwan cantik seperti Briptu Eka Frestya, Briptu Dara Intan, dan Briptu Avvy Olivia. Mereka adalah polwan cantik yang menuai banyak pujian dari masyarakat.
Demam polwan cantik seolah-olah menjamur di kalangan masyarakat. Ini bermula dari seringnya televisi swasta selain medsos, yang mengajak mereka untuk menjadi reporter pantauan langsung mengenai situasi lalu lintas dari NTMC Polri.
Namun, ada beberapa kasus pelecehan seksual yang melibatkan polwan cantik di Indonesia. Contohnya ketika Briptu Rani Indrayuni Nugraeni menghilang dan tidak lagi menjalani tugas kedinasannya.
Ketika itu, ramai menjadi perbincangan bahwa Rani telah mendapatkan perlakuan pelecehan seksual dari atasannya, Kapolres Mojokerto, AKBP Eko Puji Nugroho.
Fakta juga menunjukkan bahwa kehadiran seorang polisi baik pria dan wanita ganteng dan cantik sebagai ajudan, kerap diwarnai dengan perselingkuhan atau hubungan asmara baik dengan atasan atau dengan seseorang yang dikawal.
Pada Senin, 24 Agustus 2015, Wakapolres Ketapang Kompol M Sahroni mengakui tentang adanya laporan perselingkuhan oknum anggotanya dengan istri polisi Bengkayang.
Pada Jumat, 24 Juni 2024, Kapolres Way Kanan, Provinsi Lampung, sampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas perbuatan seorang oknum perwiranya yang digerebek oleh massa, karena berselingkuh dengan istri polisi yang juga perwira
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (BTP), ketika berada di tahanan Brimob Kepala Dua, Jakarta Timur dalam kasus tudingan penistaan agama, juga akhirnya menikah dengan seorang polwan yang notabene ajudan istrinya.
Jatim Catat Terbanyak Kasus Selingkuh Polisi
Persoalan kawin cerai hingga perselingkuhan menjadi sebuah fenomena tersendiri, tidak hanya di Indonesia.
Perselingkuhan adalah salah satu masalah laten, yang kerap mengganggu banyak hubungan asmara, bahkan keluarga dari seluruh lapisan masyarakat.
Baru-baru ini, fenomena polisi yang selingkuh terjadi banyak di Jawa Timur (Jatim).
Semua itu tersebar di Madiun, Kediri, Blitar. Malang, dan daerah lainnya. Menurut Kabag Penegakan Hukum Biro Provost Mabes Polri Kombes Budi P, adanya fenomena perselingkungan anggota Polri di Jatim wa dilaporkan langsung oleh para istri sah.
"Perlu diketahui bahwa anggota Polri di wilayah Polda Jatim itu terkenal dengan banyaknya anggota yang selingkuh," ujarnya, dilansir Kompas, Selasa, 7 Juli 2020.
Namun Budi tidak merinci jumlah pasti kasus-kasus di lingkungan tersebut.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Suprapto menjelaskan bahwa selingkuh atau perselingkuhan, terjadi oleh pihak manapun, polisi, TNI, ASN, dan swasta.
Adapun yang terjadi di Polda Jatim, tambahan, bisa disebabkan karena tugas dan tekanan pekerjaan pada polisi.
"Penyebabnya karena tugas berat dan tekanan psikologis sehingga seseorang memerlukan kompensasi atau pelampiasan," ujarnya.
"... yang kadangkala tidak mudah didapatkan di rumah, atau karena peluangnya lebih mudah dilakukan dengan orang lain," lanjut Suprapto.
Menurut Suprapto, selingkuh biasanya terjadi karena kebutuhan.
Masalahnya, pasangan di rumah kerap terkendala oleh tugas keseharian di rumah, mengasuh dan merawat anak, dan sebagainya.
Penyebab lainnya dari terjadinya perselingkuhan adalah karena seseorang tidak mendapatkan kenyamanan dalam keluarga.
Juga ,lantaran tidak ada rasa saling saling menyayangi, saling mencintai, saling membantu, saling menghargai, saling mengisi kekurangan, saling melengkapi, iseng atau coba-coba.
Ditambahkan, selingkuh dapat terjadi ketika para calon pelakunya mendapat dukungan kesempatan dan prasarana-sarana.
Masalahnya, tanpa kesempatan dan dukungan prasarana-sarana, maka selingkuh sulit terjadi.
"Sebenarnya, selingkuh bukan merupakan fenomena baru, karena sudah terjadi sejak lama. Penyebabnya pun bisa dari berbagai faktor," tambahnya.
Suprapto menambahkan, penyebabnya bisa karena faktor internal, yakni dorongan kondisi fisik, psikis, biologi.
Bisa juga faktor eksternal, yakni lingkungan keluarga yang tidak harmonis, kelompok pertemanan, atau lingkungan masyarakat luas.
"Proses selingkuh bisa terjadi secara spontan atau terencana, namun ketika sudah terjadi maka kecenderungannya berulang karena selingkuh itu bersifat adiktif," katanya.
Ditegaskan bahwa untuk menanggulangi perselingkuhan, perlu dilakukan kerja sama antarlembaga sosial dasar, seperti keluarga, agama, pendidikan, ekonomi, dan lembaga pemerintah.
Kerja sama tersebut dalam bentuk: sosialisasi budaya, norma sosial dan norma agama.
Marwah dan Hukum Adat
Di kalangan sejumlah suku di Indonesia, kasus asusila sangat berat hukumnya bagu pelaku. Dalam adat Bugis-Makassar, misalnya, seorang lelaki akan membunuh, dan ikhlas mengorbankan harta dan pangkat demi menegakkan marwah (siri).
Dalam adat Bugis-Makassar, istri adalah mahkota keluarga yang wajib dijaga, dan suami yang istrinya diganggu, berwajiban untuk membunuh si lelaki penganggu.
Jika tidak, maka si lelaki secara adat akan disebut asu (anjing) atau olo kolo marupa tau (binatang berwujud manusia), karena telah kehilangan harkat kehormatan sebagai individu.
Dalam siri, seorang lelaki sejati lebih baik mati daripada hidup menanggung malu, karena tanpa harga diri (mate siri), yang setidaknya menjadi pilihan bagi Sambo, kelahiran Tanah Bugis, tepatnya di Kabupaten Barru, 19 Februari 1973.
Pepatah Bugis siri emmi ri onroang ri lino memberi identitas sosial dan martabat kepada seseorang bahwa 'hanya kalau ada martabat atau harga diri, maka itulah hidup yang sesungguhnya'.
Siri akan sangat mematikan dalam kasus penghianatan dalam pertemanan, apalagi jika sudah menyangkut istri yang diganggu lelaki lain atau anak perempuan yang menikah tanpa izin.
Inilah bagian hukum adat Bugis-Makassar yang juga berlaku di semua suku di Sulsel, termasuk Mandar dan Toraja.
Semua lelaki pasti gelap mata jika istrinya diganggu, apalagi jika diperkosa (maaf) oleh lelaki lain.
Jadi, mantan Kadiv Propam Polri ini naik pitam kemudian membunuh ajudannya, Brigadir Joshua (J), sekalipun perbuatan itu disebut-sebut sangat tidak berperikemanusiaan.
Hanya saja, peristiwa yang ditengarai terjadi di rumah dinas Sambo, Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Juli 2022 ini, makin ribet, karena diklaim melibatkan banyak oknum di jajaran kepolisian.
Ayahnya Ditolak Pak Harto sebagai Calon Kapolri
Pada Kamis, 11 Agustus 2022, putera dari purnawirawan mendiang Mayjen (Pol) Pieter Sambo, mantan Kapolda Sumatera Utara dan Irian Jaya ini, juga mengakui perbuatannya dalam membuat skenario penembakan terhadap Brigadir J.
Lelaki yang lahir dan besar di Tanah Bugis ini dikenal sebagai bagian dari keluarga besar polisi. Ayah istrinya, drg Putri Candrawati, juga adalah puteri seorang purnawiran polisi berpangkat jenderal.
Sikap keras diwarisi dari ayahnya, Mayjen (Pol) Pieter Sambo, sebagaimana dilansir dari Tribun Timur dan Tribun Manado, Kamis 21 Juli 2022.
Mahir berbahasa Inggris dan Rusia, Pieter Sambo pernah menimba ilmu inteljen di KGB, badan intelijen pusat Uni Soviet, dan Mossad di Israel.
Karena dekat dan diakui kualitasnya, Panglima TNI LB Moerdani yang nota bene tentara, mengirim Pieter Sambo untuk belajar inteljen di CIA, badan intelijen pusat AS.
Kapolda Sumatera Utara dan Irian Jaya pada 1984-1986 ini kemudian direkomendasi oleh LB Moerdani sebagai Kapolri.
Surat tugas sudah ada di meja Moerdani, siap diteken, tapi tiba-tiba sang panglima mendapat telepon dari Cendana, kediaman Presiden Soeharto.
Pak Harto yang dikenal tak harmonis dengan Moerdani, masih dari Tribun Timur dan Tribun Manado, menunjuk Jenderal Mohammad Sanoesi sebagai Kapolri untuk masa jabatan 1986-1991.
Setelah SK Mohomad Sanoesi diterbitkan, LB Moerdani menghubungi Pieter Sambo untuk menyampaikan kabar tersebut.
Pensiun pada 1991, dan wafat pada 2015, Pieter Sambo tak meninggalkan harta kekayaan sebagaimana banyak purnawirawan jenderal lainnya.
Pieter Sambo hanya memiliki satu rumah sederhana, dan satu Rumah Sakit Ibu dan Anak Luramay di Kota Makassar, Ibukota Sulsel.
Dalam Siri, tidak Bunuh Lawan Dianggap Anjing
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa nilai budaya siri masih hidup di dalam masyarakat Bugis-Makassar, tapi hakim kerap mengesampingkan bagian dari hukum adat ini dalam memutus perkara tindak pidana.
Demikian terangkum dalam tesis berjudul Penerapan Nilai Hukum Adat Siri Bugis-Makassar dalam Putusan Pengadilan terhadap Delik Pembunuhan Berlatar Siri di Sulawesi Selatan.
Tesis ini ditulis oleh Ansharullah Alimuddin SH untuk program studi Ilmu Hukum Program Magister (S2) ilmu Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada 2015.
Diakui, hakim dalam memutuskan kasus pembunuhan berlatar Siri Bugis-Makassar memiliki tiga kategorisasi.
Pertama, dalam kasus tertentu hakim sama sekali tidak menerapkanm dan mempertimbangkan nilai hukum adat Siri Bugis-Makassar.
Kedua, dalam kasus tertentu, hakim menerapkan dan mempertimbangkan nilai hukum adat Siri Bugis-Makassar dalam putusannya.
Namun nilai budaya siri tidak secara tegas atau eksplisit disebutkan dalam pertimbangan putusan.
Tapi dalam pertimbangan hal yang meringankan terdakwa, nilai budaya siri tersebut secara implisit atau tersirat atau tercermin dalam kalimat yang menyatakan 'bahwa penyebab terjadinya tindak pidana dikarenakan oleh ulah korban sendiri'.
Ketiga, dalam kasus tertentu hakim menerapkan dan mempertimbangkan nilai hukum adat Siri Bugis-Makassar dalam putusannya.
Hal ini secara tegas disebutkan di dalam pertimbangan putusan, sebagai salah satu hal yang meringankan terdakwa.
Tetapi, nilai budaya siri tidak dapat menjadi alasan penghapus pidana, karena adanya dasar pembenar ataupun pemaaf terhadap perbuatan membunuh karena siri.
Karena itu, pelaku pembunuhan karena didasari siri, tetap dinilai oleh hakim sebagai tindak pidana yang melanggar ketentuan dalam KUHP, sekalipun 'membunuh karena siri bagi hukum adat Bugis-Makassar sebagai 'pembenaran adat'.
Konsepsi siri? telah sejak dahulu dikenal serta dihayati di kalangan masyarakat Bugis-Makassar.
Hal tersebut terdapat dalam beberapa ungkapan kalimat bijak yang dikemukakan oleh para leluhur melalui petuah-petuah lisan (pappaseng/pappasang).
Ada berbagai ungkapan dalam bahasa Bugis yang terwujud dalam kesusastraan, paseng dan amanat-amanat dari leluhurnya yang dapat dijadikan petunjuk konsepsi siri.
Di antaranya, siri emmi ri onroang ri lino yanga artinya 'hanya untuk siri saja kita hidup di dunia'. Dalam ungkapan ini, termaktub arti siri sebagai 'hal yang memberi identitas sosial, dan martabat kepada seseorang'.
Hanya kalau ada martabat atau harga diri, maka itulah hidup yang ada artinya.
Materi 'siri na', artinya 'mati dalam siri' atau 'mati untuk menegakkan martabat atau harga diri'.
Mati yang demikian dianggap suatu hal yang terpuji dan terhormat.
Mate siri artinya, orang yang sudah hilang martabat/harga dirinya, adalah sebagai langkah hidup. Orang Bugis-Makassar yang merasa mate siri akan melakukan jallo (amuk), hingga mati sendiri.
Jallo yang demikian disebut napatettongani siri na, yang artinya 'ditegakkan kembali martabat dirinya'.
Karena siri pula, orang Bugis-Makassar sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele, atau karena masalah perempuan.
Kendati begitu, apa yang kelihatan oleh orang luar sebagai sutu hal yang sepele dan biasa, sesungguhnya bagi orang Bugis-Makassar adalah untuk menegakkan marwahnya.
Konsepsi siri tidak hanya terlihat dalam pesan-pesan bijak atau pappaseng maupun pappasang para leluhur mereka melalui petuah-petuah lisan.
Konsep siri juga terlihat pada berbagi manuskrip lontarak Bugis-Makassar.
Pada awal abad XVI dimulai upaya pencatatan petuah-petuah (pappaseng, pappasang), peristiwa sejarah leluhur, ajaran kepercayan lama, kebiasaan-kebiasaan (adat istiadat) yang terpelihara, pengaturan hukum adat (ade) dan sebagainya ke dalam manuskrip-manuskrip lontarak.
Manuskrip lontarak ditulis diatas daun palem, disebut rautta atau raung ta dalam bahasa Bugis, leko tala dalam bahasa Makassar.
Kemudian setelah Kerajaan Makassar berhubungan dengan Portugis maka penulisan manuskrip juga dilakukan di atas lembaran kertas.
Arti lontarak sendiri, menurut BF Mathes di dalam Kamus Bahasa Bugis-Belanda yang diterbitkan oleh Martinus Nijhoff pada 1874, merupakan istilah dari Bali atau Jawa.
Lontarak adalah sesuai dengan kata lontar (Jawa/Melayu), yang merupakan transposisi kata 'lontar', yang merupakan kombinasi kata 'ron, daun', dan 'tal'.
Tal adalah pohon Borassus flabelliformis yang daunnya dapat digunakan untuk menulis dengan kalam. Pohon itu dalam bahasa Bugis disebut 'tak' dan di dalam bahasa Makassar dinamakan 'tala'.
Sosiolog CH Salman Basjah dan Sappena Mustaring memberikan batasan atas kata 'siri dengan memberikan tiga golongan pengertian.
Pertama, siri artinya sama dengan malu: isin (Jawa) atau shame (Inggris).
Kedua, siri merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau siapa saja yang menyinggung perasaan mereka.
Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yakni hukuman menurut norma-norma adat untuk dilaksanakan.
Ketiga, siri sebagai daya pendorong yang bisa juga ditujukan kearah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian demi suatu pekerjaan atau usaha.
Siri merupakan pula pembalasan, yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat.
Budayawan Dzir Said menetapkan batasannya bahwa siri itu adalah perasaan malu (krenking atau beledeging), yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga atau yang dilanggar norma adatnya.
Karena itu pula, orang Bugis-Makassar cepat merasa tersinggung, dan lekas mempergunakan kekerasan dan membalas dendam dengan membunuh, terutama dalam urusan istri atau wanita.
Sementara menurut Abu Hamdi, siri bukanlah pandangan hidup yang senantiasa menginginkan harmonisasi sistem di dalam berbagai macam interaksi.
Jika dilihat dari pranata sosial, siri merupakan salah satu unsur kebudayaan lama dan asli, puncak kebudayaan di Sulsel.
Kenyataan empiris sekarang ini, tampak adanya pergeseran makna siri yang sesungguhnya, yakni penyimpangan tingkah laku, namun nilainya belum hilang, dan masih tersimpan dalam tradisi dan budaya.
Terdapat beberapa kandungan nilai dalam konsep siri sebagai sistem nilai budaya.
Namun dari nilai-nilai yang terkandung dalam siri. terdapat kandungan nilai yang dipandang dominan, yakni nilai malu dan nilai harga diri.
Situasi siri muncul ketika seseorang merasa bahwa kedudukan sosialnya dalam masyarakat, atau rasa harga diri dan kehormataannya, telah dicemarkan oleh pihak lain secara terbuka.
Biasa juga terjadi jika seseorang yakin telah dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya, yang berarti dipersalahkan secara tidak adil.
Dalam adat Bugis-Makassar, ini akan diteirma dengan rendah hati, walaupu ada cacian yang kasar sekalipun kalau merasa bersalah.
Tetapi diaakan melawan dengan kekerasan terhadap sikap yang demikian jika dia percaya bahwa dirinya benar, sehingga merasa pribadinya terhina di depan masyarakat.
Sekali sesorang dibuat siri (dipermalukan) maka dia dituntut oleh masyarakat untuk mengambil langkah untuk menebus dirinya dengan menyingkirkan penyebab malu yang tidak adil itu.
Ini dengan demikian akan memulihkan siri-nya (harga dirinya) di matanya sendiri, dan di mata masyarakat.
Masyarakat mengharapkan seseorang yang telah dibuat siri mengambil tindakan terhadap si pelanggar, karena dirasakan lebih baik mati mempertahankan harga diri (mate siri).
Nilai malu berkait erat dengan perasaan malu. Perasaan malu merupakan salah satu pandangan nilai (value) dalam kehidupan budaya Bugis-Makassar.
Ketiadaan nilai malu serta nilai harga diri (martabat) dalam diri seseorang menjadikan individu yang bersangkutan sebagai orang yang tidak memiliki harkat siri dalam masyarakat Bugis-Makassar.
Sesorang yang tidak memiliki harkat siri, tidak lagi dipandang sebagai tau (manusia), tetapi olo kolo marupa tau (binatang berwujud manusia). Dia kehilangan harkat kehormatan sebagai manusia individu.
Budayawan HD Mangemba dalam ceramah dari makalahnya berjudul Siri Bugis Dalam Pandangan Orang Makassar pada 1977 mengemukan bahwa kata 'siri' adalah bermakna kehormatan, harga diri, martabat (dignity) jika dilihat dari pengertian kulturalnya.
Kapolri Budidarmo: Siri untuk Pertahankan Martabat Manusia
Menurut Drs Widodo Budidarmo, mantan Kapolri dalam Seminar Nasional mengenai Masalah Siri di Makassar pada 1977, siri sama pengertiannya dengan istilah yang ada di Jawa, disebut wirang, dan di Bali, disebut jengga serta di Sumatera, disebut pantang.
Pada mulanya, Budidarmo mengartikan siri sama dengan balas dendam, karena banyaknya pembunuhan di Sulsel yang dilakukan dengan alasan siri.
Demikianlah juga pandangan kebanyakan orang Sulsel sendiri, karena pendidikan siri telah lama tidak diadakan lagi.
Setelah mendalami makna siri, Budidarmo berpendapat, bahwa siri merupakan pandangan hidup Indonesia yang murni, yang bertujuan untuk mempertahankan, membela dan meningkatkan harkat dan martabat sebagai manusia.
Budayawan Nurdin Yatim menilai, bahwa sangat penting untuk masalah membela kehormatan keluarga sebagai manifestasi adat dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.
“Filsafat hidup mereka (Bugis-Makassar) yang dipegang secara teguh, bahkan sering ditonjolkan secara emosional, dirangkai dalam kata-kata bahasa Makassar sirik na pacce," katanya.
Kata 'siri' yang secara harfiah berarti malu, juga berarti kehormatan. Rasa dan nilai kehormatan ini di tanam dan dikembangkan dalam diri pribadi setiap anggotanya dalam kaitan dengan kehidupan keluarga (hubungan darah).
Seseorang harus menjaga kehomatan dan nama baik keluarganya. Perempuanlah yang menjadi lambang keluarga.
Karena itu, tidak mengherankan kalau sebuah perbuatan yang menjurus kepada tindakan yang merusak nama kelurga, dengan mencemarkan perempuan dari anggota keluarga, berarti harus diselesaikan dengan peristiwa berdarah yang bermaksud pembunuhan.
Pembunuhan harus dilakukan oleh anggota kelurga, menurut Prof DR Mattulada, cendekiawan yang juga penghulu adat Bugis dan Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Di dalam sistem hukum adat terdapat keadaan yang mengizinkan orang yang terkena untuk bertindak sebagai hakim sendiri.
Misalnya yang terjadi di masyarakat Bugis-Makassar, jika seorang melarikan anak gadis atau berzinah (overspel) atau mencuri, dan perbuatan itu diketahui seketika, dan orangnya dapat tertangkap.
Jika sudah demikian, maka pihak yang menjadi korban, menurut paham adat, boleh bertindak untuk menegakkan hukum.
Pakar hukum yang juga mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa, Agung Baharuddin Lopa menjelaskan, seorang isteri yang berzinah dengan laki-laki lain, merupakan pelanggaran atas siri? di bidang kesusilaan yang tertua di Sulawesi Selatan.
Ini berlaku pada empat suku yang ada di Sulawesi Selatan, yakni Bugis, Mandar, Makassar dan Toraja dan praktiknya di keempat daerah itu semuanya memegang pada asas hukum adat yang sama.
Menurut Lopa, jika ada seorang pria memperkosa seorang gadis, maka keluarga si gadis merasa berhak membunuh si pria tersebut.
Siri di bidang kesusilaan ini merupakan siri yang paling esensial dan terberat ancamannya, sehingga di Mandar dinamakan siri dipomate.
Di Bugis dinamakan siri ripoamateng, artinya 'orang-orang yang dicemarkan harga dirinya (siri- nya) yang dibenarkan memulihkan siri-nya dengan cara pembunuhan terhadap yang mencemarkan harga dirinya.
Dari perspektif hukum pidana, dijelaskan bahwa menjelaskan bahwa siri sebagai tugas orang yang menanggung aib untuk bertindak menurut adat.
Siri berarti merasa malu dan mendorong orang yang dihina atau anggota keluarganya untuk membalas. Misalnya, dalam kasus tradisi perkawinan, di mana siri tidak bisa disamakan dengan istilah bahasa Indonesia, yakni malu.
Makna sebenarnya dari kata 'siri', dapat dilihat ketika orang melanggar hukum adat tomasiri, yang mempermalukan orang tua perempuan yang dipermalukan, tetapi saudara orang tua, dan semua yang terkait.
Dalam adat ini, tomannyala (orang yang melarikan diri) mesti dihukum.
Seorang bangsawan Makassar, Karaeng Nyawa mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan perempuan, siri sering disebut 'siri k di' (merasa malu).
Siri k di bisa dipicu oleh kawin lari (silariang), penculikan (nilariang), incest (salimara), dan erangkale (perempuan yang meminta perlindungan kepada pemimpin agama tradisional tanpa ditemani oleh laki-laki yang melarikan diri).
Biasanya, jika terjadi siri ke di, maka hal itu akan menimbulkan pertumpahan darah (pembunuhan), untuk mengembalikan kehormatan.
Untuk mengesahkan argumennya Karaeng menunjuk pada peribahasa Makasar, siri? napacce kama memang tompi anjari (apa pun resikonya, sekalipun harus membunuh, tidak ada yang lebih penting daripada mempertahankan siri dan pacce).
Dia juga mengutip pepatah yang menjelaskan pacce: punna passala siri ?k kuwalleangangi tallang natowalia ( karena siri, saya memilih mati dari pada hidup terhina).
Karaeng Mone menjelaskan bahwa siri mencakup lima pelanggaran adat, yakni melihat (salimara mata), berbicara (salimara kana), mendengarkan (salimara palanggere), sikap (salimara giuk), dan tindak tanduk (salimara panggaukan).
Lima jenis pelanggaran tradisional yang berbeda ini bisa menyebabkan seseorang merasa rendah diri.
Orang Bugis-Makassar percaya bahwa perzinaan adalah pelanggaran adat.
Meskipun kawin lari tidak dianggap sebagai pelanggaran adat paling serius, desas-desus yang beredar di kalangan masyarakat menambah serius masalah ini.
Dan, ini menyebabkan si perempuan dilarang kembali ke rumah, karena jika melakukan hal ini, maka dia berada dalam bahaya, apalagi ada keluarga yang melihat kembalinya si perempuan.
Jika si prerempuan melihatnya, dia harus menemui imam dan mencari perlindungan.
Jadi, dalam kasus siri ripakasiri yang melibatkan kehormatan keluarga, hukumannya tidak selalu sesuai dengan tingkat pelanggaran.
Tetapi, lebih bergantung pada sejauh mana desas-desus yang beredar dalam masyarakat.
Hukum adat Bugis-Makassar membedakan bentuk sanksi dalam kaitannya dengan tradisi siri.
Sanksi pembunuhan biasanya digunakan untuk memulihkan kehormatan keluarga, yang disebabkan oleh pelanggaran kehormatan perempuan.
Terripoamateng, Syarat untuk Sah Membunuh
Zainal Abidin membagi hukuman menjadi dua kategori, hukuman pembunuhan (ripoamateng) dan hukuman non- pembunuhan (terripoamateng).
Yang paling sering terjadi adalah siri ripakasiri di mana anggota keluarga perempuan yang dipermalukan membunuh pelaku sebagai bentuk pembelaan diri.
Sebagai contoh, pembunuhan sebagai pembelaan diri, dibolehkan menurut adat, dalam hal-hal berikut: pemerkosaan istri, saudara perempuan, ibu, bibi, dan anggota keluarga orang lain.
Juga untuk perzinaan dan incest, penghinaan dalam perzinaan dan incest, dan percobaan pembunuhan.
Bentuk lain dari pelanggaran adat perkawinan di mana pembunuhan dibolehkan, meliputi kawin lari (silariang), penculikan (nilariang), dan pengaduan perempuan pada imam, tanpa didampingi suami yang menjadi terdakwa (erangkale).
Pembunuhan juga diperkenankan terhadap kasus-kasus penghinaan, penghianatan, dan tindakan tidak adil oleh seorang raja.***
Penulis: Tim Suara Pemred
Sumber: Berbagai sumber dan tesis Penerapan Nilai Hukum Adat Siri Bugis-Makassar dalam Putusan Pengadilan terhadap Delik Pembunuhan Berlatar Siri di Sulawesi Selatan