HARARE, SP - Bersyukurlah remaja perempuan di Indonesia. Setidaknya jika menstruasi, mereka tak seperti banyak rekannya di negara-negara selatan Afrika: menjadikan kotoran sapi sebagai pengganti pembalut.
Krisis ekonomi telah semakin membuat terpuruk perekonomian banyak negara di bagian selatan dari 'benua hitam' ini.
Krisis ini juga menyasar ke berbagai produk kebersihan untuk wanita termasuk pembalut.
Akibatnya, banyak anak perempuan terutama di Zimbabwe, yang paling terpapar krisis tersebut,pucat pasi saban jika akan mengalami menstruasi.
Di banyak wilayah pelosok di Zimbabwe, anak-anak perempuan tak mampu lagi untuk membeli pembalut.
Kenyataan ini malah sangat mencolok di kota pedesaan Domboshava, yang nota bene 30 kilometer dari sebelah utara Harare, Ibukota Zimbabwe.
Di wilayah itu, 70 persen anak perempuannya kelabakan saat menstruasi karena tak mampu membeli pembalut.
Africa News melaporkan, Senin, 11 Juli 2022, mereka tidak memiliki akses ke pakaian sanitasi komersial akibat inflasi yang memukul produk-produk kebersihan kewanitaan.
Constance Dimingo (19), misalnya, menggeliat di kursi rodanya saat mencoba mengingat kapan terakhir kali menggunakan pembalut.
“Saya terakhir memakai pembalut sebelum ibu saya meninggal tahun lalu,” keluhnya.
Cacat fisik bawaan yang diperparah oleh kemiskinan telah membuat siklus bulanan alaminya menjadi periode yang memalukan.
“Sekarang, saya harus menggunakan apa saja yang bisa saya temukan, kotoran sapi, dedaunan, koran, dan pakaian, untuk menghentikan kebocoran darah," katanya.
"Saya berharap ibu saya masih hidup untuk membelikan saya pembalut dan obat untuk nyeri haid saya,” pungkasnya.
Constance adalah salah satu dari 72 persen anak perempuan yang tinggal di kota pedesaan Domboshava, menurut sebuah studi oleh SNV Netherlands Development Organization di Zimbabwe.
Dengan harga yang setara dengan dua dolar AS, selembar pembalut pun tidak terjangkau oleh sebagian besar dari tiga juta anak perempuan yang sedang menstruasi, yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Bahkan saudara perempuan Constance yang menderita epilepsi, dan tiga gadis lainnya, bergantung sepenuhnya pada bantuan nenek mereka.
Padahal, nenek mereka adalah tunanetra yang nota bene harus rutin mengelola kebersihan menstruasi mereka.
“Pembalut adalah barang mewah yang tidak mampu saya beli untuk anak perempuan saya,” kata nenek Vhene Gumedhe, menjelaskan cara kerja menjadikan kotoran sapi sebagai pembalut.
“Saya mengambil kotorannya, membentuknya, dan membiarkannya kering, agar mudah menyerap darah," ujar si nenek
"Gadis-gadis itu tidak meletakkan kotoran sapi langsung di kulit. Saya membungkus banyak pakaian di atasnya, untuk menghindari gatal ketika diletakkan di pakaian dalam," tambahnya.
Kemudian, ujarnya: "aya menunjukkan kepada mereka bagaimana menutup bagian pribadi mereka untuk memblokir pendarahan.”
Dia menyimpulkan: “Gadis-gadis itu memiliki aliran (darah) yang deras, dengan siklus yang biasanya berlangsung enam hari."
"Kami lebih suka metode ini, karena kotoran sapi menyerap banyak darah," ujarnya.
"Setelah direndam, kami membuangnya secara pribadi, dengan menguburnya di tanah. Budaya Shona kami tidak mengizinkan pria melihat hal-hal seperti itu," tambah nenek itu.
Kisah keluarga ini mencerminkan jutaan wanita miskin di seluruh negara Afrika bagian selatan, yang telah menggunakan metode putus asa itu untuk mengatur menstruasi mereka.
Menurut Kementerian Perempuan dan Pemuda Zimbabwe, 67 persen anak perempuan bolos sekolah saat menstruasi. Ini karena kurangnya akses ke produk sanitasi, dan fasilitas sanitasi bersih.
Anak perempuan penyandang disabilitas biasanya putus sekolah sama sekali, seperti yang terjadi pada Constance.
Sensasi Panas dan Gatal
Selain bolos sekolah, para ahli kesehatan menyatakan bahwa metode ini adalah tempat berkembang biaknya salmonella, E Coli, dan beberapa bakteri yang dapat menyebabkan infeksi kesehatan reproduksi.
“Gadis-gadis itu mengeluh gatal, dan sensasi terbakar di vagina," kata Theresa Nkhoma, Pekerja Pengasuhan Anak Komunitas di bawah Kementerian Layanan Umum, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial.
"Saat diperiksa di rumah sakit," lanjutnya: "kami melihat adanya infeksi jamur, infeksi saluran urogenital, dan tanda-tanda awal kanker serviks akibat pemasangan di saluran vagina.”
“Kami menganjurkan agar ibu-ibu menerima mesin jahit di desa-desa, sehingga mereka bisa belajar membuat pembalut, yang bisa digunakan kembali.” usul seorang petugas kesehatan.
Pemerintah Zimbabwe telah melakukan upaya untuk meredakan situasi, dengan menghapus pajak untuk semua produk sanitasi.
Tetapi, periode kemiskinan diperburuk oleh inflasi yang mencapai lebih dari 191,6 persen, menurut Badan Statistik Nasional Zimbabwe.
Keluarga harus memilih antara membeli produk kebersihan kewanitaan dan membeli makanan, dengan sebagian besar memilih yang terakhir.
Hidup dengan kurang dari satu dolar sehari, pembalut tetap menjadi embel-embel bagi Constance dan saudara perempuannya, yang terus menanggung beban krisis ekonomi Zimbabwe.
Negara tetangganya, Botswana sudah menawarkan pembalut gratis kepada anak perempuan sebagai bagian dari perlengkapan sekolah
Sementara Kenya memulai kebijakan pembalut wanita gratis untuk siswi untuk meningkatkan kehadiran.***
Sumber: The Africa