MASKER wajah (face mask) di era normal baru (new normal) terkait pandemi sudah menjadi bagian dari tren busana 2022 dunia.
Ironisnya, hasil studi Departemen I Psikologi Umum dan Metodologi Universitas Bamberg di Kota Bamberg, Jerman, menuding, masker cenderung menjadi manipulator terkait interaksi sosial selama masa pandemi.
Adapun tren tersebut kian kencang sejak awal 2022 ini di berbagai kota di Indonesia. Termasuk di Pontianak, di mana masker wajah yang modis, tak hanya semakin banyak dijual di mal, minimarket dan pertokoan, melainkan juga merambah ke pasar tradisional dan warung kelontong pinggir jalan, yang tentunya dipatok dengan harga lebih miring, dan kalah kualitas dibandingkan yang dijual di mal atau toko.
Dengan berbagai corak yang trendy, maka mengenakan masker wajah seperti ini akan membuat seseorang menjadi cantik, menawan, atau gagah.
Bahkan, ada masker yang modelnya serba horor: semisal warna putih bercorak gigi runcing, yang bisa membuat orang penakut lari terbirit-birit jika bertemu pemakainya pada malam hari.
Toh di sisi lain, ketika mengenakan masker wajah sudah menjadi kebiasaan, maka di sinilah kerap terjadi manipulasi dalam berinteraksi antarmanusia, terutama bagi pasangan yang baru berkenalan.
Di era milenenium ini, masker telah menyebabkan banyak pasangan yang saling memanipulasi wajah aslinya saat perkenalan pertama.
Apalagi, ketika interaksi lewat media sosial (medsos), ditambah kecanggihan perangkat telpon selular (ponsel), maka hasil editan bisa 'mengecoh lawan'.
Jangankan penampilan wajah: Seseorang bermasker pun akan lebih gagah, menawan, cantik, dan percaya diri saat tampil atau berkenalan lewat medsos.
Kacaunya Wajah sebagai Kunci Identitas
Secara krusial, menurut Klaus-Cristian Carbon, psikolog dari Departemen I Psikologi Umum dan Metodologi Universitas Bamberg di Kota Bamberg, Jerman, masker dapat mempengaruhi interaksi sosial.
"Wajah kita memberikan informasi kunci identitas pribadi; informasi sosial penting tambahan, seperti kepercayaan, daya tarik, usia, dan jenis kelamin," lanjut Carbon yang bekerja di Grup Riset II Universtas Bamberg untuk Ergonomi, Estetika Psikologis, dan Gestalt.
Dilansir Suara Pemred dari Frontier s in Psychology, 25 September 2020, Carbon mengakui, masker wajah adalah salah satu cara penting untuk mencegah penularan penyakit pernapasan tertentu seperti penyakit coronavirus 2019 (Covid-19).
Demi menjaga interaksi yang normal antarsesama, menurut Carbon, masker wajah sebaiknya dipakai dalam konteks klinis, ketika terinfeksi oleh penyakit pernapasan tertentu. Juga selama masa pandemi atau epidemi di mana risiko potensi penularan melalui saluran udara harus dikurangi.
Sejak awal pandemi pada 2020, WHO telah menyebarkan masker sebagai strategi utama untuk mengurangi penyebaran virus tersebut. Masker wajah atau masker komunitas, seperti yang biasa dipakai selama pandemi, menutupi sekitar 60–70 persen area wajah, yang notabene bagian itu relevan untuk ekspresi emosi. Dengan demikian, pembacaan emosi seseorang dan juga wajah aslinya -jika baru pertama kali bertemu- akan sulit dipastikan.
"Kita hanya bisa mengandalkan perkiraan kasar, karena area wajah indikatif, berbeda dari orang ke orang," kata Carbon. Masker wajah telah menutupi area wajah yang sangat penting untuk komunikasi nonverbal yang efektif dari keadaan emosional.
Meskipun penelitian khusus tentang dampak masker wajah ke pengenalan emosional belum ada, namun ada beberapa indikasi dari penelitian tentang pengaruh berbagai jenis oklusi wajah. Sumber data yang penting adalah apa yang disebut paradigma 'Bubbles', yang menggunakan teknik umum yang dikembangkan oleh Gosselin dan Schyns.
Teknik ini memungkinkan untuk mengidentifikasi informasi visual spesifik yang paling relevan dengan kinerja kategorisasi manusia, misalnya, informasi yang dibutuhkan untuk mengekspresikan dan membaca emosi. Relevansi khusus mengenai teknik Bubbles adalah temuan yang secara khusus membahas bagian wajah tertentu, yang paling menunjukkan ekspresi emosional tertentu. Misalnya, mengungkapkan pentingnya pemrosesan daerah mulut.
Bahkan ada bukti bahwa menutupi sebagian wajah, dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik, karena menghalangi informasi yang tidak relevan atau menipu di wajah Orang awam, misalnya, lebih akurat dalam mendeteksi penipuan oleh orang yang mengenakan niqab dibandingkan yang tidak.
Masker wajah dapat memperumit interaksi sosial karena mengganggu pembacaan emosi dari ekspresi wajah. Namun, ini tidak boleh dianggap sebagai alasan atau alasan untuk tidak mengenakan masker dalam situasi di mana masker tersebut digunakan untuk keperluan medis.
Kebutuhan yang Berkembang jadi Trendy
Dilansir dari BBC News, 16 Mei 2020, masker wajah telah menjadi kebutuhan selama wabah koronavirus, dan sekarang dunia mode memastikan bahwa mereka menjadi trendi.
Dan dengan masker yang disarankan untuk masa mendatang, orang menemukan cara untuk mengikutkannya sebagai bagian dari asesoris busana. "Semuanya, termasuk desainer. Ini adalah pernyataan mode yang diperlukan saat ini," kata Angel Obasi yang menjalankan akun Instagram, Styleconnaisseur.
Obasi memposting gambar masker wajah dan setelan jas yang serasi yang dikenakannya ke pernikahan secara Zoom, ketika pandemi dimulai. Lebih dari 100.000 orang menyukai gambar pakaiannya di Twitter. Kepada BBC News, Obasi mengaku telah masker wajah memakai beberapa kali, karena itu dinilainya 'terbaik untuk gayanya, dan jelas untuk menjaga keamanan'.
Obasi bukan satu-satunya orang yang memastikan dirinya tetap aman dan modis. Tokoh-tokoh terkenal dunia, juga mulai mencocokkan masker wajah dengan pakaian mereka.
Ketua DPR AS Nancy Pelosi, yang dijuluki Pemimpin Mayoritas DPR yang senada dengan warna masker wajah-ke-celana oleh Hillary Clinton. Pelosi sempat memakai sejumlah ansambel yang serasi selama sebulan, sehingga seorang pengguna medsos menjulukinya sebagai 'corona modern'.
Dengan tren yang meningkat, banyak perancang busana yang mencermatinya, kemudian menciptakan mode busana yang serasi. Givenchy bahkan merilis kombo masker wajah dan topi mereka sendiri seharga £ 425 (£ 514). Sementara seorang desainer di Italia sempat menjadi berita utama, ketika dia menciptakan Trikini, nama dari satu set bikini dan masker wajah yang serasi. Sang disainer, Tiziana Scaramuzzo, pemilik Elexia Beachwear, menyatakan membuat Trikini sebagai lelucon, tetapi setelah memposting gambar dari set tersebut di media sosial, dia pun dibanjiri pesanan.
Room Shop Vintage di AS, mulai menjual masker wajah yang serasi dan set teratas, ketika kepala manufakturnya mengirimkan gambar sampel. "Melihat sampelitu, benar-benar memicu sesuatu dalam diri saya, dan saat itulah kami melanjutkan ide itu," kata salah satu pendiri Room Shop Vintage, Shelly Horst kepada BBC News.
"Penerimaan untuk atasan atau set masker kami yang serasi benar-benar luar biasa. Pelanggan kami menyukai tampilan yang serasi," lanjutnya.
"Memiliki masker yang cocok dengan atasan mereka, membuat masker menjadi lebih menyenangkan dan aneh untuk dipakai, sesuatu yang penting seperti saat-saat serius dan menakutkan," tambah Hornst. Horns berharap bahwa tren ini akan terus berlanjut."Ke depan," katanya: "Orang-orang akan membutuhkan banyak masker secara bergiliran, terutama saat segala sesuatunya mulai terbuka kembali."
"Memiliki masker yang sama persis, adalah langkah mode yang menyenangkan, tetapi pencocokan mengenai warna juga akan mulai terjadi," ujar Hornst. Mempertimbangkan masker apa yang akan dipakai nantinya, inilah bagian dari perencanaan pakaian kami," tambahnya.
Bukan hanya set yang cocok yang menjadi populer. Desainer lain membuat masker seglamor mungkin.Disainer Sefiya Sjejomaoh mengaku kepada kantor berita Reuters bahwa pandemi tidak boleh menghalangi selera gayanya. "Ketika kamu keluar dengan masker yang bergaya atau dengan aksesori seperti ini, sepertinya kita tidak sedang berperang, dan sepertinya lebih menyenangkan," kata Hornst.
Masker Gaul Indonesia yang Saingi Kelas Impor
Demi beradaptasi dengan kewajaran baru , maka masker menjadi bagian dari fashion, yang tentunya juga sejalan dengan standar dan aturan kesehatan.
Berbagai label desainer lokal pun menghadirkan berbagai desain masker yang menarik dan unik sesuai dengan tren terkini.
Masker wajah tak lagi dalam bentuk dan warna standar. Berbagai warna, motif dan bahan, diubah menjadi masker 2-3 ply (tiga lapis) untuk menjaga kesehatan sekaligus tampil modis.
Rata-rata hampir semua brand saat ini mengeluarkan produk masker yang didesain sesuai dengan ciri khas mereka dengan harga yang cukup terjangkau, tergantung bahan, material, dan desain.
Berikut beberapa label desainer lokal dengan masker modis non medis yang bisa jadi pilihan untuk aktivitas keseharian Anda di era new normal, sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia.
Ferry Sunarto
Desainer yang berfokus pada batik ini baru saja meluncurkan koleksi terbarunya termasuk masker. Ferry merancang dua koleksi masker kain dengan mengangkat identitas Indonesia.
Koleksi pertama adalah masker kain berwarna merah putih dengan logo Burung Garuda yang melambangkan Republik Indonesia untuk mengingatkan untuk lebih mencintai Indonesia. Tersedia dua pilihan warna logo, yaitu merah dan emas.
Koleksi kedua adalah masker kain dengan menggunakan keindahan wastra Nusantara yang telah diakui oleh dunia, yaitu kain batik dalam beragam pilihan motif, mulai dari klasik hingga kontemporer.
Kain batik yang digunakan merupakan hasil kerjasama dengan generasi penerus Ondomohen Batik, brand batik Jawa Timur yang berkualitas dan telah berdiri sejak 1952.
Menurut Ferry, Indonesia kaya akan budaya. Batik sebagai warisan budaya Indonesia yang telah mendapatkan apresiasi dunia harus dikembangkan, bukan hanya sebagai busana.
"Melainkan bermacam produk pendukung fashion, seperti masker. Dengan membuat masker, kami berharap dapat memberikan dampak yang positif terhadap the new normal yang selalu mewajibkan penggunaan masker sebagai protokol kesehatan," ungkap Ferry.
Biyan
Desainer Biyan juga membuat masker dengan sentuhan etnik. Masker yang terinspirasi dari koleksi Sumba dengan tenunan aneka warna dan corak membuat tampilannya terlihat 'Indonesia' dan elegan.
Ali Charisma
Ali Charisma membuat berbagai koleksi masker dengan warna dominan hitam dan berbagai embelishment di atasnya. Koleksi masker ini merupakan koleksi terbatas dengan sentuhan 3D yang setiap bagiannya dijahit.
Gerakan Masker untuk Indonesia
Masker untuk Indonesia adalah nama gerakan yang diinisiasi oleh kumpulan relawan dari pelaku industri kreatif tanah air.
Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan penggunaan masker kain non-medis serta membantu keberlangsungan UMKM yang terlibat.
Menurut Kevin Osmond, salah satu relawan penggerak Masker untuk Indonesia, pihaknya bergerak untuk membantu mewujudkan misi pemerintah dan memfasilitasi ketersediaan masker kain non-medis untuk semua orang.
"Karena kami sadar ketersediaan dan pemahaman memakai masker kain non-medis masih terbatas di masyarakat. Kami juga ingin memberikan akses kepada siapa saja untuk berbagi masker pada sesama. Dalam prosesnya, kami merangkul seniman dan UMKM untuk berkolaborasi." lanjut Kevin.
Dengan memesan satu masker kain, maka pemesan bisa sekaligus berbagi tiga masker kain lainnya kepada yang membutuhkan.
Masker untuk Indonesia saat ini juga bekerjasama dengan berbagai merek, seperti F&B, seniman seperti Darbotz, Ykha Amelz, Kamengski, Heimlo, Rinaldy Yunardi dan juga fashion infuencer Indonesia.
Bukan hanya Soal Bergaya
Vaksinasi saja tidak lagi cukup melindungi. Untuk melindungi diri sendiri, maka siapa saja perlu menjaga jarak, meningkatkan ventilasi, dan... mengenakan masker.
Sejak awal 2022, dilansir dari Wired, 26 Januari 2022, Pusat Pengendalian Penyakit AS memperbarui panduan maskernya bahwa masker dan respirator N95 menawarkan perlindungan terbesar.
Organisasi pengujian bahan ASTM International juga baru-baru ini menerbitkan standar manufaktur pertama tentang apa yang merupakan penutup wajah yang baik.***
Penulis & Editor: Patrick Cornelis Oktavianus Sorongan-van Gobel
Sumber: Frontier s in Psychology, Wired, CNN Indonesia, BBC News,