RAKYAT Jepang lewat para wakilnya di Kokai, nama bikameral legislatifnya, sedang mencari solusi terkait penerus Tahta Krisan, Tahta Kekaisaran Jepang. Panel yang dibentuk pemerintah di bawah undang-undang (UU) tindakan khusus tahun 2017, terus bekerja keras. Hasilnya akan diajukan ke Kokai.
UU ini memungkinkan pengunduran diri Kaisar Akihito, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan untuk bagaimana mengatasi tantangan terkait suksesi kekaisaran yang stabil, sekaligus mempertimbangkan kehadiran Kaisar Jepang dari kalangan wanita.
Penentuan bagi siapa saja yang berhak menjadi kaisar Jepang setelah Kaisar Naruhito -termasuk apakah dari kalangan pria atau wanita- masih ditangani pihak Kokai, yang terdiri dari majelis rendah atau DPR (Shugiin) dan Majelis Atas (Sangiin).
Kaisar Akihito resmi mundur dalam usia 86 tahun pada Selasa, 30 April 2019. Berkuasa selama 30 tahun dan hidup era Heisei, Akuhito adalah kaisar pertama yang memilih turun tahta setelah Kaisar Kokaku melakukan hal sama di era Edo, 200 tahun lalu.
Sejak pertama kali mengumumkan pengundurannya pada 2016, rakyat Jepang pun terkejut. Kaisar Akihito menyebut dua faktor utama yang mendasari keputusannya: usia dan kondisi kesehatan. Dilansir dari Channel News Asia, Akihito pernah dirawat di rumah sakit karena kanker prostat dan mengalami bedah jantung.
Upacara pengunduran diri ini diberi nama Taiirei Seidan no Gi yang digelar di ruang Matsu no Ma atau Ruang Negara di Istana Bersama. Akihito menyatakan, putra sulungnya, Naruhito sebagai kaisar baru Jepang, yang beristrikan Permaisuri Michiko.
Kaisar Naruhito adalah anggota pertama keluarga yang membesarkan Jepang yang lahir pasca Perang Dunia II. Naruhito juga menjadi anggota keluarga pertama yang dibesarkan oleh orang tua langsung atau tanpa pembantu.
Dilansir dari Asahi Shimbun, Selasa, 27 Juli 2021, terus dilakukan diskusi tentang perluasan jumlah penerus Tahta Krisan. Hanya saja, proposal terkait upaya membuka jalan bagi wanita untuk menjadi kaisar, tidak dibahas setidaknya untuk saat ini.
Hadir pula sebuah panel ahli pemerintah yang bekerja untuk menyusun laporan tentang cara-cara untuk memastikan suksesi kekaisaran yang stabil. Panel memutuskan untuk tidak mengadakan pembicaraan mengenai masalah tersebut dalam pertemuan terakhir pada Senin, 26 Juli 2021.
Pertemuan terakhir menetapkan arah diskusi dalam beberapa bulan mendatang. Panel diharapkan melaporkan proposalnya pada musim gugur ke Kokai atau setelah pemilihan Majelis Rendah, serta menahan diri untuk memperluas kelayakan calon pewaris takhta guna menghindari harus berurusan dengan banyak masalah.
“Jika panel masuk ke dalamnya, mau tidak mau harus membahas masalah memungkinkan perempuan dan laki-laki dari garis perempuan menjadi kaisar,” kata seorang pejabat senior pemerintah. “Masalah seperti itu akan terlalu berat untuk ditangani pada tahap ini.”
Sebagai gantinya, debat panel berpusat pada dua masalah: mengizinkan anggota keluarga kekaisaran dari kaum wanita untuk mempertahankan status kerajaan.
Bahkan, ini jika si wanita telah menikahi rakyat jelata serta memungkinkan pria dari mantan cabang keluarga kekaisaran untuk mendapatkan kembali status kekaisaran melalui adopsi oleh keluarga kekaisaran.
Dipimpin oleh Atsushi Seike, mantan Presiden Universitas Keio, panel tersebut telah menggelar lima dengar pendapat sejak April 2021 untuk menerima masukan dari 21 pakar suksesi kekaisaran.
Hukum Rumah Kekaisaran 1947
Hukum Rumah Kekaisaran yang ditetapkan pada 1947, menyatakan bahwa hanya laki-laki dalam garis keluarga laki-laki yang dapat menjadi pewaris takhta. Berdasarkan hukum ini maka hanya tersisa tiga keluarga anggota yang memenuhi syarat untuk menggantikan Kaisar Naruhito.
Ketiganya: adik laki-laki kaisar, Putra Mahkota Fumihito (55); Putra Fumihito, Pangeran Hisahito (14); dan Pangeran Hitachi (85) tahun dan paman dari Naruhito dan Fumihito.
Adapun garis suksesi takhta yang ada menempatkan putra mahkota pertama, sebagai Kaisar Jepang, yakni Hisahito dan Pangeran Hitachi.
Anggota panel bertukar pandangan tentang bagaimana mengamankan jumlah yang cukup dari anggota keluarga kekaisaran untuk menjadi pewaris takhta, ketika Hisahito, satu-satunya anggota laki-laki yang tersisa di garis suksesi, sambil mempertahankan premis melestarikan urutan suksesi saat ini.
Panel diharapkan memperdalam diskusi terkait mengizinkan anggota perempuan untuk mempertahankan status kekaisaran serta laki-laki dari bekas cabang kekaisaran untuk memulihkan status kerajaan melalui adopsi oleh keluarga kekaisaran.
Tetapi, sebagai opsi ketiga yang potensial untuk memperluas keluarga kekaisaran, panel juga akan mempertimbangkan untuk mengizinkan pria dari bekas cabang kekaisaran untuk menjadi anggota keluarga kekaisaran melalui hukum, selain adopsi.
PM Jepang Bersikeras Kaisar tetap Lelaki
Anggota konservatif dari Partai Demokrat Liberal yakni Perdana Menteri (PM) Jepang Yoshihide Suga sangat menganjurkan supaya Hukum Rumah Kekaisaran dipertahankan. Suga juga mendikte bahwa hanya laki-laki dalam garis keluarga laki-laki yang dapat berhasil naik takhta.
Kubu Suga menentang proposal untuk mengizinkan anggota keluarga kekaisaran dari kaum perempuan dan laki-laki dari garis keluarga perempuan untuk naik takhta, serta menentang pendirian rumah kekaisaran yang dipimpin oleh anggota keluarga perempuan.
Sebagai pemimpin rumah kekaisaran, wanita diizinkan mempertahankan status kerajaan, bahkan setelah mereka menikahi rakyat jelata.
Seorang pejabat senior di kantor PM Jepang menegaskan bahwa panel akan membutuhkan waktu untuk sepenuhnya memperdebatkan masalah ini ‘dalam lingkungan yang tenang’ serta ‘menghindari perdebatan verbal’.
Delapan Kaisar dalam Sejarah Jepang
Josei Tenno adalah istilah yang merujuk pada Kaisarina (kaisar wanita) Jepang. Terdapat delapan wanita yang memerintah sebagai kaisarina sepanjang sejarah Jepang. Dua di antaranya memerintah selama dua periode.
Kaisarina berbeda dengan Joo, Nyoo, Ohi maupun Kogo. Dalam konteks penguasa monarki, Joo dimaknai sebagai ratu. Ini karena tingkatan kekaisaran lebih tinggi daripada kerajaan sehingga kedudukan kaisarina lebih tinggi ketimbang ratu.
Dalam konteks keluarga kekaisaran Jepang, Joo adalah gelar bagi wanita yang merupakan kerabat jauh kaisar, yang silsilahnya masih tersambung dengan kaisar dari jalur laki-laki. Dengan kata lain, Joo dimaknai sebagai ‘putri’ dalam konteks ini.
Kogo adalah gelar bagi permaisuri kaisar. Permaisuri bertindak sebagai istri utama di antara pasangan kaisar yang lain. Ohi adalah gelar bagi pasangan O. Jika O diartikan sebagai raja, maka berarti Ohi bermakna sebagai permaisuri raja.
Karena kedudukan kaisar lebih tinggi daripada raja, maka kedudukan permaisuri kaisar juga lebih tinggi dari permaisuri raja. Dalam konteks keluarga kekaisaran Jepang, O bermakna pangeran atau laki-laki, yang merupakan kerabat jauh kaisar.Silsilahnya tersambung dari jalur laki-laki, sehingga dalam konteks ini, Ohi bermakna putri.
Di Jepang, istilah lain yang dapat merujuk pada kaisarina adalah Jotei atau Nyotei, sedangkan kaisar pria adalah Kotei.
Keduanya dapat digunakan untuk merujuk pada kaisar-kaisarina non-Jepang, berbeda dengan Tenno, yang hanya khusus merujuk pada kaisar-kaisarina Jepang.
Sepanjang sejarah, terdapat delapan wanita yang memerintah Jepang sebagai kaisarina. Delapan di antaranya memerintah pada masa awal sejarah Jepang, sedangkan dua di antaranya pada Zaman Edo.
Walaupun status mereka diakui, para penerus mereka tetap merupakan orang yang silsilahnya tersambung dengan keluarga kekaisaran dari jalur laki-laki.
Daftar Kaisarina Jepang
Kaisarina Jingu (memerintah 201–269). Pada masa Meiji, Jingu masih dimasukkan dalam daftar para Kaisar Jepang, tetapi kemudian dikeluarkan dari daftar pada abad ke-19.
Nukatabe memerintah sebagai Kaisarina Suiko pada 593–628.
Takara memerintah sebagai Kaisarina K?gyoku pada 642–645 dan sebagai Kaisarina Saimei pada 655–661.
Unonosarara memerintah sebagai Kaisarina Jito pada 690–697.
Abe memerintah sebagai Kaisarina Genmei pada 707–715.
Hidaka, memerintah sebagai Kaisarina Gensho pada 715–724.
Abe, memerintah sebagai Kaisarina Koken pada 749–758 dan sebagai Kaisarina Shotoku pada 764–770.
Oki-ko memerintah sebagai Kaisarina Meisho pada 1629–1643.
Toshiko, memerintah sebagai Kaisarina Go-Sakuramachi pada 1762–1771.
Wanita sebagai Pewaris Tahta
Pada awalnya, seorang pewaris dapat dipilih dari kalangan laki-laki maupun perempuan, asalkan silsilah sang pewaris bersambung dari jalur laki-laki dengan Jimmu, yang disebut sebagai Kaisar Jepang pertama.
Tetapi, setelah Restorasi Meiji, Jepang mengadopsi sistem pewarisan tahta Prusia, yang mengeluarkan para putri dari daftar pewaris. Pelarangan sistem poligami juga diberlakukan atas pengaruh modernisasi dan westernisasi.
Pasca Perang Dunia II, dibentuk Undang-undang 1947, yang lebih memberikan batasan ketat dalam masalah pewarisan tahta. Hanya keturunan resmi dari Kaisar Yoshihito yang dapat menjadi pewaris tahta serta mengabaikan garis keturunan lain di luarnya.
Atas segala pembatasan ini, sistem ini dianggap tidak mungkin bertahan dalam jangka waktu lama lantaran tak selalu terdapat kelahiran laki-laki yang dapat menjadi pewaris.
Di masa Kaisar Akihito, Jepang dihadapkan pada masalah ketiadaan pewaris tahta. Putra pertama Kaisar Akihito, Putra Mahkota Naruhito, dan istrinya, Putri Masako, hanya memiliki seorang anak perempuan, Putri Aiko, setelah delapan tahun pernikahan.
Bahkan dikabarkan, Putri Masako sulit melahirkan. Putra Akihito yang lain, Pangeran Fumihito, juga hanya memiliki dua orang anak perempuan.
Dua cabang lain dari keluarga istana juga hanya memiliki anak perempuan.
Dua sepupu Akihito, Pangeran Norihito dan Pangeran Tomohito juga hanya memiliki anak perempuan.
Tidak ada pewaris laki-laki yang lahir selama 41 tahun.
Permasalahan ini memunculkan perdebatan di kalangan parlemen. Asahi Shimbun pada Mei 2006 mengeluarkan tajuk wacana bahwa sistem pewarisan tahta yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi.
Dalam survei yang dilakukan pada Maret 2006, Asahi Shinbun menyatakan bahwa 82 persen responden mendukung diperbolehkannya wanita menjadi pewaris tahta.
Ketika itu, wacana tersebut mendapat dukungan dari Perdana Menteri Junichir? Koizumi. Bibi Kaisar Akihito, Putri Kikuko, juga menyatakan pandangan yang serupa melalui majalah setelah kelahiran Putri Aiko.
Namun, sebagian kalangan konservatif menilai perdebatan ini masih terlalu dini. Pangeran Tomohito juga menolak gagasan itu, dan menyatakan bahwa anggota pria dari keluarga kekaisaran harus mengambil istri selir, walaupun kemudian Tomohito menyatakan bahwa gagasan yang dia lontarkan hanya sebatas gurauan.
Upaya penyelesaian lain adalah kembali memasukkan cabang keluarga kekaisaran yang dikeluarkan dari daftar pewaris tahta sejak tahun 1947.
Pada 6 September 2006, istri Pangeran Fumihito, Putri Kiko, melahirkan seorang anak laki-laki, Pangeran Hisahito, yang kemudian menempati urutan ketiga dalam jalur pewarisan tahta setelah paman dan ayahnya.
Walaupun begitu, pendapat publik untuk melakukan perubahan sistem pewarisan tahta masih berkisar 68 persen.
Monarki Turun-temurun Tertua di Dunia
Jepang adalah monarki turun-temurun tertua di dunia. Dalam banyak arti yang sama seperti Mahkota Inggris , Tahta Krisan adalah konsep metonymic abstrak yang mewakili raja dan otoritas hukum untuk keberadaan pemerintah.
Tidak seperti di Inggris, konsep monarki Jepang berkembang secara berbeda sebelum 1947, ketika misalnya tidak ada pemisahan yang dirasakan antara properti negara-bangsa dari orang dan kepemilikan pribadi kaisar.
Menurut legenda, monarki Jepang didirikan pada 660 SM oleh Kaisar Jimmu. Naruhito adalah raja ke-126 yang menduduki Tahta Krisan.
Catatan sejarah yang ada, hanya mencapai ke Kaisar Jin, yang dianggap telah memerintah hingga awal abad IV.
Pada 1920-an, Putra Mahkota Hirohito sebagai wali selama beberapa tahun pemerintahan ayahnya karena , kaisar tidak dapat memenuhi syarat.
Namun, pangeran ini berstatus bupati sehingga tidak memiliki kekuatan simbolis takhta, kecuali setelah kematian ayah.
Arus Konstitusi Jepang menganggap kaisar sebagai simbol negara dan kesatuan rakyat. Kaisar modern adalah raja konstitusional .
Makna metonimik Tahta Krisan mencakup monarki modern dan daftar kronologis raja-raja legendaris dan bersejarah di Jepang.***
Sumber: Asahi Shimbu, Channel News Asia, Wikipedia, berbagai sumber