Gaya Hidup post authorPatrick Sorongan 03 September 2021

Cewek-cewek Modis Demo: Para Pejuang Taliban pun Gugup!

Photo of Cewek-cewek  Modis Demo: Para Pejuang Taliban pun Gugup!

PARA pejuang Taliban termangu-mangu,  membisu, gugup, dan saling memandang, ketika lebih selusin wanita cantik berdandan Islami nan modis, galak berdemo di depan Istana Kepresidenan Afghanistan di Kabul, ibu kota negara itu, usai Sholat Jumat, 3 September 2021.

Maklum, sebagian besar pejuang Taliban ini adalah anak-anak muda polos dari pedesaan. Di mata mereka, sebagaimana dilansir The Associated Press, Kabul 'satu-satunya kota erbesar dan termodern di dunia'. Mereka dibesarkan dalam tatanan Syariat Islam yang sangat ketat, sehingga selama ini hanya melihat wanita yang mengenakan burka dan gaun menjuntai hingga ke kaki. Cuma mata yang terlihat.

Makanya, mereka pun  terlongong-longong ketika melihat pemandangan yang 'asyik-asyik sedap nan haram' di depannya: Wanita-wanita cantik berdandan modis, dan...galak, dan judessnya alamak!

Sabar demi Janji Longgarkan Syariat Islam

Mereka juga tunduk pada perintah pimpinan Taiban, yang sudah berjanji  untuk tak lagi memberlakukan Syariat Islam yang sangat ketat,  sebagaimana ketika Taliban memerintah Afghanistan pada 1996-2001.

Para pejuang ini pun hanya bisa memandang asi demo dari para wanita ini. Beberapa di antara pendemo mengenakan kacamata hitam gaul, bercelana bluen jeans  ketat, dan bersepatu kets, menandakan bahwa mereka sudah terbiasa dengan gaya hidup Barat selama pasukan AS dan koalisinya ditempatkan di negara itu pada 2001-2021, pasca menggulingkan pemerintahan Taliban.

Berdiri di luar kompleks istana kepresidenan, wanita-wanita pendemo ini begitu galak: Mendesak pemimpin baru Taliban untuk menegakkan hak-hak perempuan yang telah dicapai di Afghanistan selama di bawah perlindungan Barat, dan memasukkan perempuan dalam pemerintahan mendatang.

Mereka mengangkat halaman kertas kecil bertuliskan: 'Kabinet heroik dengan kehadiran wanita'. Selain itu para pengunjuk rasa juga meneriakkan slogan-slogan yang menegaskan hak asasi manusia, dan menyatakan tidak ingin kembali ke masa lalu.

Tuntut Hak Penuh Perempuan

Sebuah dokumen yang diedarkan oleh pengunjuk rasa, menuntut agar perempuan Afghanistan diberikan hak penuh atas pendidikan, kontribusi sosial dan politik di masa depan negara itu, serta kebebasan umum termasuk kebebasan berbicara.

Sementara itu, dari Dubai, Ibu Kota Uni Emirat Arab dilaporkan bahwa jaringan televisi swasta paling populer di Afghanistan, secara sukarela mengganti sinetron dan acara musik Turki yang dinilai bersifat cabul.

Program-programnya disesuaikan dengan keinginan penguasa baru Taliban di negara itu, yang telah mengeluarkan arahan yang tidak jelas bahwa media tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam,  atau merugikan kepentingan nasional.

Namun, stasiun-stasiun berita independen Afghanistan tetap menyiarkan pembawa acara perempuan. Media-media elektronik ini menguji batas kebebasan Taliban, yang kaum militannya telah membunuh wartawan di masa lalu,  tetapi belakangan menjanjikan sistem yang terbuka dan inklusif sejak berkuasa pada Minggu, 15 Agustus 2021.

Perlakuan Brutal terhadap Jurnalis

Saat dunia mengamati dengan seksama petunjuk tentang bagaimana Taliban akan memerintah, perlakuan mereka terhadap media akan menjadi indikator kunci, bersama dengan kebijakan terhadap perempuan.

Ketika memerintah Afghanistan pada 1996-2001, Taliban memaksakan interpretasi Syariat Islam yang keras versinya: Melarang anak perempuan dan perempuan dari sekolah dan kehidupan publik, dan secara brutal menekan perbedaan pendapat.

Sejak itu, rakyat Afghanistan menyaksikan proliferasi media dan wanita, membuat beberapa langkah dalam pembatasan masyarakat yang sangat konservatif.  

Kini, sebagai tanda pertama bahwa Taliban sedang mencoba melunakkan reputasi ekstremisnya, salah seorang pejabat Taliban tiba-tiba masuk ke studio milik stasiun televisi swasta Tolo News, dua hari setelah pasukannya menguasai Kabul.  

Si pejabat kemudian duduk untuk diwawancarai oleh seorang host wanita, Behishta Arghand. Pembawa acara berusia 22 tahun itu menyatakan kepada The Associated Press bahwa dia gugup ketika melihat pejabat itu memasuki studio, tetapi perilakunya,  dan bagaimana si pejabat menjawab pertanyaan telah membuatnya agak tenang. 

“Saya hanya berkata pada diri sendiri,  ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan kepada seluruh dunia, bahwa wanita Afghanistan tidak ingin kembali (ke masa lalu). Mereka ingin ... untuk maju,”katanya. 

Ketakutan kalangan jurnalis ketika Taliban berkuasa di Afghanistan telah memacu Arghand, seorang jurnalis terbaik di negara itu melarikan diri ke Qatar, menyatu dengan 100 ribu warga negara senasib.

Arghand tidak mau mengambil risiko, sekalipun Taliban berjanji untuk memberikan keterbukaan yang lebih besar terhadap media massa.  

Adapun wawancara Behishta dengan pejabat Taliban itu menandai perubahan penting sejak pertama kalinya para militan ini berkuasa pada masa lalu. Ketika itu, perempuan harus menutupi diri dari kepala sampai kaki serta dirajam sampai mati di depan umum karena kasus perzinahan dan dugaan pelanggaran lainnya.

Edarkan Video Gadis-gadis Bersekolah

Kali ini, Taliban membagikan video tentang gadis-gadis yang pergi ke sekolah di provinsi-provinsi. Taliban juga telah mengadakan konferensi pers setelah menguasai Kabul, dan menjawab pertanyaan dari media lokal serta internasional. 

Saad Mohseni, CEO dan Ketua Moby Group, pemilik Tolo News, menyatakan yakin bahwa Taliban menoleransi media karena Taliban memahami bahwa media harus memenangkan hati dan pikiran, serta meyakinkan lembaga politik untuk memainkan peran,  dan mengkonsolidasikan kekuasaan mereka.

“Media penting bagi mereka, tetapi apa yang mereka lakukan terhadap media dalam waktu satu atau dua bulan mendatang, masih harus dilihat,” katanya dari Dubai, kantor pusat Moby Group.

"Meskipun gagal menciptakan demokrasi yang stabil di Afghanistan, AS dan sekutunya berhasil menciptakan pers yang berkembang," kata Steven Butler, Koordinator Program Asia untuk Committee to Protect Journalists di situs web COJ.  "Pemerintah AS menghabiskan sejumlah besar uang untuk proyek sebagai dasar demokrasi."  

Hibah awal AS membantu meluncurkan Tolo, yang dimulai sebagai stasiun radio pada 2003 kemudian dengan cepat berkembang menjadi stasiun televisi. Penyiarannya  berbahasa Pashto, mempekerjakan 500 orang,  kemudian menjadi jaringan televisi yang paling banyak dilihat di Afghanistan.

Terkenal dengan program berita dan hiburannya, menurut Mohzeni, Tolo News memutuskan sendiri untuk menghapus acara musik dan sinetron dari siaran karena tidak dapat diterima oleh rezim baru.

Drama percintaan telah digantikan oleh serial televisi Turki di era Ottoman yang para bintang wanitanya berpakaian lebih sederhana. Stasiun televisi Pemerintah Afghanistan, RTA, telah menarik presenter wanita dari siaran sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Zan TV yang dikelola oleh sekelompok wanita independen telah berhenti menayangkan program baru. 

Saluran berita Ariana,  yang dikelola secara pribadi, bagaimanapun, telah membuat host wanitanya tetap mengudara.  

Sedangkan Tolo News  memiliki pembawa acara wanita di acara sarapannya setiap Kamis, dan juga memiliki satu pembawa berita wanita,  serta beberapa reporter wanita. 

Kebebasan Pers di Era AS

Sejak mengambil alih, ada laporan tentang pemukulan dan ancaman Taliban terhadap wartawan. Dalam satu kasus yang diketahui, penyiar Jerman Deutsche Welle (DW) menyatakan bahwa gerilyawan Taliban pergi dari pintu ke pintu untuk memburu salah satu wartawannya.

Taliban kemudian  menembak dan membunuh seorang anggota keluarganya, dan melukai yang lain secara serius. 
“Kita harus memastikan bahwa jurnalisme Afghanistan tetap hidup karena orang akan membutuhkannya,” kata Bilal Sarwary, seorang jurnalis lama di Afghanistan yang beberapa karyanya telah tayang di BBC

Meskipun meninggalkan Afghanistan bersama keluarganya, Sarwary menegaskan bahwa generasi jurnalis warga lebih berdaya dari sebelumnya. 

“Jika kita tidak bisa pergi (kembali), bukan berarti kita akan menyerah pada Afghanistan. Kami akan bekerja di Afghanistan dari mana pun kami berada. ... Konektivitas global adalah normal baru,” kata Sarwary. 

Sementara itu, Taliban mengizinkan wartawan memasuki Afghanistan dari Pakistan, dan juga mengizinkan media untuk terus beroperasi di Kabul, meskipun di bawah pedoman yang tidak menyenangkan.

Taliban telah menetapkan bahwa laporan berita tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan tidak boleh menantang kepentingan nasional.

Aturan yang tidak jelas seperti itu,  biasa terjadi di negara-negara otoriter di Timur Tengah dan Asia Tengah, di mana aturan itu digunakan untuk membungkam dan menuntut jurnalis.

Agar dapat beroperasi, media lokal mungkin harus mempraktikkan swasensor untuk menghindari dampak.  

Afghanistan telah lama berbahaya bagi wartawan. Pihak CPJ menyatakan, 53 wartawan tewas di Afghanistan sejak 2001 dan 33 di antaranya sejak 2018. Pada Juli 2021, seorang fotografer pemenang Hadiah Pulitzer dari Reuters, terbunuh saat meliput bentrokan antara Taliban dan pasukan keamanan Afghanistan.

Pada 2014, seorang jurnalis Agence France-Presse (AFP), istri, dan dua anaknya termasuk di antara sembilan orang yang dibunuh oleh kelompok bersenjata Taliban, saat mereka makan di sebuah hotel di Kabul. 

Hampir dua tahun kemudian, 2016, seorang pembom bunuh diri Taliban menargetkan karyawan Tolo News di sebuah bus, menewaskan tujuh dari mereka,  dan melukai sedikitnya 25 orang.

Taliban mengaku bertanggung jawab atas serangan itu, menyebut Tolo sebagai alat pengaruh Barat yang dekaden.  

Mohseni sendiri mengaku khawatir ketika Taliban menyerbu Kabul.

“Tapi, saya hanya berpikir: 'Baiklah, mari kita tunggu dan lihat saja. Mari kita lihat seberapa ketatnya mereka'. Tidak diragukan lagi,  mereka akan membatasi. Pertanyaannya adalah seberapa restriktif."

 

Sumber: The Associated Press

 

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda