Info Anda post authorKiwi 17 Desember 2022

Bangkit dari Alam Baka! Sempat Mati Suri, Kadis Sosial Bengkayang ini Fasih Berdialog dengan Arwah

Photo of Bangkit dari Alam Baka! Sempat Mati Suri, Kadis Sosial Bengkayang ini Fasih Berdialog dengan Arwah

KEMATIAN sudah menjadi akhir kehidupan setiap manusia, yang bagi kebanyakan orang dianggap sebagai peristiwa mengerikan.

Dalam setiap agama Samawi diyakini bahwa kematian adalah takdir yang sudah ditulis oleh Allah sebagai akhir kehidupan setiap manusia untuk berpindah ke alam baka, baik ke surga atau neraka, tergantung dari amal dan dosa yang dilakukan oleh manusia semasa hidup.

Namun, walaupun kematian adalah takdir Allah, tapi tak sedikit manusia yang mengklaim hanya mengalaminya sesaat, kemudian dibangkitkan kembali dari alam kubur alias alam baka.

Beginilah setidaknya testimoni dari Damianus Lele SH, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, yang juga dikenal sebagai seorang praktisi religi Dayak Bakatik.

Lelaki asli Dayak ini juga memiliki kisah unik di dalam kehidupan di alam nyata, di mana dia dalam waktu-waktu tertentu bisa berkomunikasi dengan manusia dari alam gaib.

Adapun kisah tentang kematiannya terjadi pada 1992. Ketka itu, lelaki gagah kelahiran 10 Juli 1967 ini sudah dinyatakan wafat di Rumah Sakit Bethesda, Desa Serukam, Kecamatan Samalantan.

Karena menganut agama Roma Katolik, Pastor Donatus Segalong OFM Cap, sudah melakukan pemberkatan jenazah Damianus.

Bahkan, pihak keluarga pun, sudah mengikhlaskan untuk dipanggil oleh Allah, yang tentu saja disertai isak dan tangis yang memilukan.
Berita meninggalnya Damianus didengar oleh seorang pamannya, yang juga praktisi religi Dayak Bekatik di Kecamatan Lumar, Bengkayang.

Dalam suasana duka itu, sang paman yang tidak disebutkan namanya, menggelar Ritual Baliatn Bakatik, agar arwah Damianus bisa hidup kembali.

Ketika ritual digelar, jenazah Damianus yang sedang dalam persiapan untuk dipulangkan ke rumah duka, langsung diletakkan dengan posisi kepala ke arah Gunung Bawakng.

Dalam ritual tersebut, paman Damianus ini bermohon supaya arwah keponakannya jangan diterima di tempat bersemadi arwah leluhur Dayak Bakatik di Gunung Bawakng.

Damianus sendiri mengaku bahwa selama ritual itu, dia merasa seperti bermimpi: sedang mengendarai sepeda motor yang berbalik arah dari tujuan awalnya, Gunung Bawakng.

“Saya tiba-tiba disuruh pulang, dan mengendarai sepeda motor berlawanan arah,” kata Damianus kepada Suara Pemred di Bengkayang, Selasa, 29 November 2022.

“Juga di suatu tempat, saya mendapati ornag-orang sedang menangis. Saya kemudian terbangun, dan hidup kembali sampai sekarang,” lanjut Damianus.

Damianus sendiri mengakui tak tahu persis kenapa dirinya bisa bangkit dari kematian.

Namun, banyak kalangan tokoh adat Dayak setempat yang meyakini bahwa hal ini karena Damianus selama hidupnya, terus melakukan kebaikan.

Sejak itu pula, Damianus mengaku bisa berkomunikasi dengan arwah-arwah leluhurnya di Gunung Bawakng.

Hal ini terutama setiap kali digelar ritual sebagai syukuran selepas panen padi. Masalahnya, menurut Damianus, ritual tersebut bagi kalangan etnis Dayak bukanlah sekadar pesta semata.

"Tapi maknanya, mengundang arwah leluhur untuk bersatu dalam seluruh rangkaian ritual," tambahnya.

Adapun berdasarkan trilogi peradaban Dayak, semua warga suku senantiasa hidup berdampingan dengan leluhur dan alam semesta.

Trilogi peradaban Dayak sendiri adalah, pertama: hormat dan patuh leluhur; Kedua, hormat dan patuh kepada orangtua; Ketiga, hormat dan patuh kepada negara

Trilogi peradaban Kebudayaan Suku Dayak dimaksudkan untuk membentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak yang beradat, dengan empat parameter.

Parameter pertama, yakni berdamai dan serasi dengan leluhur; Kedua: berdamai dan serasi dengan alam semesta; Ketiga, berdamai dan serasi dengan sesama; Keempat, berdamai dan serasi dengan negara.

Pembentuk karakter dari jatidiri manusia Dayak yang beradat, lahir dari sistem religi yang bersumber dari doktrin legenda dan mitos suci Dayak, adat istiadat dan hukum adat Dayak.


Suku Dayak yang terdiri dari ratusan subsuku, sangat kaya akan berbagai jenis legenda suci dan mitos sucia yang diilustrasikan akrab dengan alam.

Di dalam legenda suci dan mitos suci Dayak Bakati dan Dayak Kanayatn di Kalbar, misalnya, diyakini bahwa setiap orang Dayak yang hidup di alam nyata memiliki lima saudara kembar.

Tiap Orang Dayak Dijaga Lima Kembar Gaib
"Empat saudara kembar ini selalu menyertainya selama hidup di alam nyata. Sementara satu saudara kembarnya, hidup bersemadi di alam gaib, seperti di bukit dan gunung," kata Damianus.

Khusus satu saudara kembar yang di alam gaib, hidup di dalam sejumlah situs pemukiman dan situs pemujaan, gunung, bukit, dan sejumlah kawasan hutan yang menjadi sumber resapan air.

Tugasnya saudara kembar ini adalah menjaga keselamatan saudaranya yang diutus hidup di alam nyata atau dunia.

“Saudara kembar inilah yang selalu membantu setiap orang Dayak yang masih hidup di alam nyata,” kata Damianus.

“Saudara kembar inilah yang menyuruh kembali ke alam nyata, saat arwah saya tiba di tempat bersemadi arwah leluhur Dayak Bakatik di Bukit Bawakng,” lanjut Damianus.

Membantu jika Saudaranya di Dunia Bermasalah!
Menurut Damianus, saudara-saudara kembar ini akan langsung turun membantu saudaranya di alam nyata saat menemui kesulitan atau jika terjadi gejolak sosial.

Lokasi bersemayam manusia di alam gaib, terpencar-pencar dan juga hidup sebagaimana halnya dalam kehidupan sosial manusia di alam nyata.

Ada tiga lokasi pemukiman atau tempat bersemadi manusia di alam gaib yang populasinya sangat besar se- Pulau Borneo alias Pulau Kalimantan.

Lokasi pertama berada di kawasan hutan belantara Tanjung Lokang, pehuluan Sungai Kapuas, yang merupakan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar.

Lokasi kedua, kawasan hutan belantara Puruk Mokorajak di Taman Nasional Puruk Mokorajak atau juga disebut Taman Nasional Bukit Baka atau Bukit Raya.

Juga lokasi ini tersebar ke Desa Lomukoi (Romukoi) di Kecamatan Sorabai (Serawai), Kabupaten Sintang, Kalbar dan juga di perbatasan Kalbar dan Provinsi Kalimantan Tengah.

Lokasi ketiga yakni hutan belantara Bukit Bawakng, Kecamatan Gunung Lembah Bawakng, Kecamatan Bengkayang, dan Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang.

Tiga pemukiman terbesar manusia alam gaib di Pulau Borneo ini kemudian terpecah-terpecah lagi mejadi ratusan, bahkan ribuan pemukiman manusia alam gaib.

Karena itu pula, menurut Damianus, gunung dan bukit menjadi kawasan sakral yang sangat disucikan dan dihormati bagi semua orang Dayak yang masih hidup di alam nyata.

Hal ini merupakan keyakinan dari Kaharingan, agama tradisional etnis Dayak, menurut Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) Palangka Raya, Ibukota Kalteng.

Menurut MAKI, paling tidak terdapat 30 bukit dan gunung yang disakralkan di seluruh Kalimantan, karena sebagai tempat bersemadi arwah para leluhur Suku Dayak.

Umumnya manusia di alam gaib yang bersemadi di Bukit Bawakng, Bengkayang, paling sering membantu kehidupan manusia di alam nyata. Ini terutama jika terjadi keributan atau konflik sosial antara etnis Dayak dengan etnis lainnya.

Jika konflik itu tidak mampu diatasi oleh orang Dayak maka manusia dari alam gaib di Bukit Bawakng bakal meminta bantuan lagi ke rekannya sesama manusia alam gaib di Puruk Mokorajak.

Tapi tetap saja konflik tersebut tidak mampu diatasi (dengan tolok ukur bahwa sudah banyak sekali orang Dayak yang hidup di alam nyata menjadi korban), maka kalangan manusia di alam gaib bersemadi di Tanjung Lokang, populasi terbanyak kehidupan manusia alam gaib se Pulau Borneo, kemudian turun tangan membantu.

Gunung Bawakng sendiri, selain dihormati dan disakralkan oleh kalangan Suku Dayak Bakatik, juga bagi kalangan etnisDayak Kanayatn.

Dalam legenda suci dan mitos suci Dayak Kanayatn, puncak Bukit Bawakng diyakini tempat bersemadi arwah para leluhur.

Gunung Bawakng memiliki tujuh tingkat di mana tingkat terakhirnya, yakni tingkat ke tujuh, merupakan lokasi bersemanyam Tuhan Yang Masa Kuasa.

Suku Dayak Kanayatn, menyebut Tuhan Yang Maha Esa yang bersemanyam di Puncak Bukit Bawakng tingkat ketujuh sebagai Pama.

Pengikut Tuhan Yang Maha Esa dinamakan Awapama, kemudian struktur di bawahnya disebut sebagai Pewarta Agama Dayak Bakatik yang bernama Pamane, sementara manusia di alam nyata disebut sebagai Talino.

Jadi, struktur tertinggi di dalam ritual Dayak Kanayatn terkait keberadaan Gunung Bawakng adalah bernama Pama, kemudian struktur di bawahnya bernama Awapama.

Pamane dan Talino (Manusia di Alam Nyata)
Gunung Bawakng memiliki tujuh struktur bukit, yang oleh masyarakat setempat menyebut ada tujuh gunung.
Masing-masing dari tujuh Bukit Bawakng memiliki nama, yandipercaya didiami oleh para Jubata atau Awapama.

Kata 'Jubata' sendiri belum tepat dengan pengertian sebagai Tuhan yang sebenarnya. Sebab yang dimaksud pengertian Jubata adalah sifat yang suka menolong.

Menurut Damianus, adapun para Jubata tersebut yakni pertama: Jubata Siru yang mendiami Gunung Buah Sodama; dan Kedua: Jubata Sanga yang mendiami Bukit Buah Lampar Pengat.

Ketiga: Jubata Jitat yang mendiami Bukit Buah Ampar Maro,; Keempat: Jubata Maniamas yang mendiami Bukit Buah Stande; dan Kelima: Jubata Selujatn yang mendiami Bukit Bawakng Begantung,

Keenam: Jubata Merabat Ampor yang mendiami Bukit Buah Selebar; Ketujuh: Jubata Selupo Nukat Bawakng yang mendiami Bukit Buah Selupo.

Adapun bukit-bukit tersebut dinamakan oleh masyarakat setempat sesuai dengan bentuknya. Misalnya, mirip buah, dan juga dikaitkan dengan sejarah yang pernah terjadi di bukit-bukit ini

Religi Dayak Bakatik menganut teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, menurut filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274).

Aquinas menegaskan bahwa seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Itu berarti bahwa sejak abad ke-13, etnis Dayak sudah diakui mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Kisah tentang Era Kerajaan Bawakng
Suku Dayak Banyuke adalah salahsatu sub-suku Dayak yang mendiami Kalbar. Sebutan 'Dayak Banyuke' diambil dari nama kota orang Banyadu pada masa lalu, Kota Banyuke.
Dilansir Wikipedia, inilah sebuah bandong (ibu kota atau pusat pemerintahan) orang Banyadu pada masa lalu, yang pada masa itu hanya berupa sebuah kampung yang terletak di Desa Samade, Kecamatan Banyuke Hulu.

Sedangkan sebutan 'Suku Dayak Banyadu' diambil dari istilah dalam bahasa mereka sendiri yakni asal kata 'Nyadu', yang artinya 'tidak'. Kata ini digunakan sebagai istilah pembeda dialek dengan dialek Dayak lainnya.

Berdasarkan cerita dan analisis terhadap bahasa etnis ayak ini, Dayak Banyuke atau Orang Banyadu adalah subsuku Dayak yang terbentuk dari asimilasi atau pencampuran antara Dayak Bidayuhik Bakati dengan Dayak Kanayatn.

Mereka adalah subsuku Dayak yang terbentuk dari percampuran antara anak cucu kakek Salutok Salunukng bersama pengikutnya dengan anak-cucu Kakek Lubish dan pengikutnya.

Salutok Salunukng adalah salah satu putra raja terakhir Dayak Bidayuh dari Kerajaan Sikukng (Sungkung). Raja Sikukng yang terakhir bernama Siang Nuk Nyinukng.

Kejadian ini terjadi beribu-ribu tahun, sebelum tahun masehi (sebutan untuk tahun kelahiran Yesus Kristus).

Awalnya, Salutok Salunukng bersama adiknya yang bernama Buta Sabangam (nenek moyang Dayak Bakati) beserta bersama para pengikut mereka, diutus oleh Ayahanda mereka untuk menempati tanah di bagian selatan Sungkung.

Dalam perjalanan Butag Sabangam tidak dapat melanjutkan perjalanan ke selatan, kemudian mereka berpisah. Pada saat berpisah sebagian besar pengikut mereka memilih menemani Buta Sabangam.

Salutok Salunukng bersama sebagian kecil pengikutnya, yang masing-masing membawa serta keluarganya, memilih melanjutkan perjalanan ke selatan.

Pada suatu masa, keturunan mereka yang masih berbahasa Dayak Bidayuh, berasimilasi dengan warga Dayak Bakati, yakni sub-suku Dayak keturunan Butag Sabangam dan pengikutnya.

Karena jumlah orang Bakati lebih banyak menyebabkan mereka ikut menggunakan bahasa Bakati, yakni varian baru dari bahasa Dayak Bidayuh.

Selama berabad-abad, mereka bercampur dan mendiami suatu kawasan, yang sekarang ini bernama Bengkayang. Mereka kemudian membangun kerajaan bersama yang diberi nama Kerajaan Bawakng.

Hingga pada suatu masa, warga Dayak Kanayatn dengan rombongan besar dari tanah asal mereka di kawasan pesisir barat, mendatangi Bawakng-Basawag, ibukota Kerajaan Bawakng.

Di sana, mereka tinggal bersama dengan orang Bakati. Kedatangan mereka terjadi di masa pemerintahan Raja Saapangko (Sepinggangku atau berarti 'setinggi pinggangku').

Inilah masa di mana Kerajaan Bawakng mulai jaya, yang disebut oleh orang Kanayatn sebagai masa 'Bawakng Nagari Subayatn (Bawakng artinya 'negeri surgawi').

Kejayaan Kerajaan Bawakng inilah yang membuat warga Dayak Kanayatn mendatanginya. Setelah warga Kanayatn tinggal, mereka berbaur dengan warga Bakati, bahkan banyak orang Kanayatn yang menikah dengan para pembesar kerajaan.

Bawakng Basawag (buah bertahunan) adalah ibu kota Kerajaan Bawakng yang terletak di Singakng (lereng) Gunung Bawang.

Istilah Bawakng adalah kosakata dalam bahasa Bidayuhik kuno sebelum digantikan dengan istilah 'bua' yakni kosakata serapan dari bahasa Dayak Kanayatn.

Dan kata 'basawag' sendiri terbentuk dari kata 'ba' yakni istilah imbuhan yang berarti 'ber'. Dan kata 'sawag' yakni kosakata dari bahasa Bidayuhik untuk menyebutkan 'tahun'.

Dengan demikian, Kota Bawakng-Basawag berarti 'buah bertahunan'm karena kawasan Kota Bawakng Basawag pada masa lalu menghasilkan beragam jenis buah tropis sepanjang tahun.

Selanjutnya, setelah beberapa abad kemudian, keturunan Salutok Salunukng yang telah berbahasa Bakati, yang tinggal disebelah selatan gunung panokng (Bukit Jamur Bengkayang), mulai berhubungan secara intensif dengan warga keturunan Kakek Lubish, yang bermukim disebelah barat daya gunung panokng.

Kakek Lubish dan keturunannya berbicara menggunakan bahasa Dayak Kanayatn (orang Bananag). Kakek Lubish adalah salah satu pemimpin dari warga yang berbahasa Kanayatn, yang meninggalkan Kota Bawakng Basawag.

Kakek ini bersama rombongannya hendak menuju Kerajaan Keokng-Kannakng milik Dayak Tobag-Mali, untuk menyebarkan agama Jubata.

Kepergiannya tidak dapat dilanjutkan karena jatuh sakit yang akhirnya memaksakan sang kakek dan pengikutnya untuk berhenti dan tinggal di selatan Gunung Panokng.

Lama-kelamaan terjadi proses asimilasi (percampuran) antara anak-cucu keturunan Salutok Salunukng yang telah berbahasa Bakati, dengan keturunan kakek Lubish yang berbahasa Dayak Kanayatn (orang Bananag). Percampuran bahasa mereka berkembang menjadi Varian bahasa baru yang dikenal dengan sebutan bahasa Banyadu.

Sebelum orang banyadu menyebar mendiami pedalaman daerah Landak, Bengkayang dan Sanggau Kapuas, orang Banyadu mendiami daerah asalnya di daerah Banyuke hulu di Kecamatan Banyuke Hulu, kini Kabupaten Landak.

Dahulu, sebelum menyebar, seluruh orang Banyadu mendiami sebuah kota atau kampung besar. Kota pertama yang dibangun oleh orang Banyadu bernama Banyuke. Kota Banyuke dijadikan pusat pemerintahan atau ibu kota.

Wilayah pemerintahan orang Banyadu ini dinamai Banua Satona, yang ibukotanya juga Banyuke.

Seringkali Kota Banyuke, yang merupakan bandong dari Banua Satona ini, hanya di sebut dengan nama Bandong Satona saja, tentu saja yang dimaksudkan adalah ibu kota atau pusat pemerintahan dari Banua Satona.

Sejak dimulainya masa Pengayauan di kalangan Bangsa Dayak, nenek moyang Dayak Banyadu mulai menyebar keluar dari Bandong Banua-nya.

Orang Banyadu yang menyebar pada masa itu dirintis oleh para prajurit Kayau, yang melakukan pengayauan serta penaklukan terhadap subsuku Dayak lain.

Karena itu, orang Banyadu (orang yang berasal dari Bandong Banyuke) pada masa lalu menjadi sangat terkenal, disegani, dan ditakuti oleh subsuku Dayak lain.

Meskipun terkenal dengan kegagahan dan keberaniannya, para prajurit Kayau Dayak Banyadu terkadang tidak berhasil menaklukkan subsuku Dayak lain.

Para prajurit kayau Dayak Banyadu yang tidak berhasil membawa kepala manusia, memilih tidak pulang.

Mereka kemudian menetap di daerah taklukannya,, membangun pemukiman baru, kemudian mengawini gadis-gadis di daerah taklukan.

Kepergian prajurit Kayau Dayak Banyadu pada zaman dulu umumnya melalui jalur sungai.

Dengan perahu, mereka menyusuri hilir sungai yang diberi nama sama, seperti nama bandong-nya yakni Sungai Banyuke.

Selain karena aktivitas Pengayauan, penyebaran orang Banyadu juga terjadi karena alasan perladangan, masyarakat pada masa itu mulai mencari daerah baru yang jauh dari bandong-nya untuk berladang.***

Reporter, Penulis & Editor: Dismas Aju, Patrick Waraney Sorongan
Sumber: Berbagai sumber

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda