Info Anda post authorKiwi 16 Oktober 2021

Kisah Pilu Mantan Kajati Kalbar, Baharuddin Lopa

Photo of Kisah Pilu Mantan Kajati Kalbar, Baharuddin Lopa

PARA menteri dan 'pengusaha hitam' Indonesia sangat cemas selama mendiang Profesor Dr Baharuddin Lopa menjabat Jaksa Agung RI pada 2001. Begitu pula ketika Lopa masih meniti karier sebagai kepala kejaksaan di sejumlah daerah termasuk di Provinsi Kalimantan Barat.

Begitu  menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalbar pada 1987, misalnya, Lopa langsung mengusut kasus-kasus penimbunan beras,  bahkan melakukan penangkapan-penangkapan, Akibatnya, terjadi  gesekan menyangkut gengsi di Jakarta, antara  Menteri Koperasi/Kabulog Bustanil Arifin SH dengan Jaksa Agung Ismail Saleh, atasan Lopa. 

Bustanil dalam buku 70 Tahun H Ismail Saleh SH menulis tentang bagaimana kerasnya Baharuddin Lopa. ”Ketika Baharuddin Lopa menjadi Kajati Kalimantan Barat, saya bersinggungan dengan Ismail Saleh. Waktu itu,  tuduhan korupsi kepada Kepala Dolog Kalbar," tulisnya.

Kala itu, tulisnya lagi: "Saya lihat, manusia yang namanya Baharuddin Lopa ini, orangnya  sangat keras sekali. Saya mendengar Baharuddin Lopa memeriksa, menginterogasi para penyalur beras, karena harga beras naik di Kalbar. Mereka ada yang ditahan. Sebagai Kabulog,  saya risau waktu itu. Saya tanya teman-teman perihal Baharuddin Lopa."

"Katanya, Lopa itu memang orang yang keras dan jujur. Rumahnya sederhana. Karena kejujurannya, dia tidak mau kompromi,  dan tidak ada toleransi atas penyelewengan yang terjadi. Sebagai Kabulog saya minta Ismail Saleh untuk memindahkan Pak Lopa dari Kalbar," tulisnya.

 Bustanil menulis lagi: "Tapi, Ismail Saleh tidak mau begitu saja memindahkan anak buahnya. Beliau malah menawarkan untuk memindahkan juga Kabulog Kalbar. Akhirnya kita sepakat:  Lopa dipindah,  dan Kadolog juga dipindah dari Kalbar."  

"Di Sulsel, ternyata Lopa masih keras juga. Dolog dan Puskud mengeluh. Saya berusaha mengenalnya. Kepada Pak Ismail Saleh, saya bilang ingin mengenalnya. Pak Ismail bersedia memperkenalkannya. Nah, pada suatu kesempatan saat makan siang, Rapat Jaksa Tinggi Se-Indonesia, saya dikenalkan kepada Lopa. Astaga…., ternyata, Lopa itu orangnya halus, tidak segalak tindakannya. Kulitnya bersih dan rapih,” kenang Bustanil.

Sepak Terjang Tingkat 'Dewa' Mafia Tanah Kalbar

Toh nama harum Lopa sama sekali tak berarti di kalangan gerombolan sindikat penjahat  mafia tanah di Kalbar. Maklum, sepak terjang sindikat ini sudah 'tingkat dewa': nekat, bahkan nyaris tak tersentuh hukum. Bahkan, tanah tiga hektar milik Lopa di Pontianak sekalipun, disikat!

Peristiwa yang mengagetkan publik ini mencuat secara nasional lewat cuitan puterinya, Masyita di Twitter, Selasa, 12 Oktober 2021: "BPN...tolong bantu kembalikan tanah HAK orang tua kami Alm. BAHARUDDIN LOPA yg diincar dan digarong mafia2 tanah di Pontianak." Tweet ini pun terus bergulir dan menasional setelah ditanggapi oleh Dr Sofyan A Djalil SH MH MALD, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR).

Ketika menjabat Kajati Kalbar, Lopa  sempat membeli tiga hektar tanah di Jalan Perdana, Pontianak, Ibukota Kalbar. Belakangan, tanah yang dititip Baharuddin kepada  seorang anak buahnya di Kejati Kalbar, sudah berganti nama di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pontianak, suatu masalah 'klise' di Kalbar dan khususnya di Pontianak terkait ribetnya sepak terjang mafia tanah yang 'mustahil teratasi'. Perkara yang melilit tanah milik Lopa ini mengejutkan publik nasional, apalagi sepak terjang mafia tanah di Pontianak dan umumnya di Kalbar dikenal bagai untouchable (tak  tersentuh hukum).  

Jadi, jangankan milik rakyat biasa, tanah milik seorang mantan Dirjen Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Jaksa Agung RI sekaliber Lopa, yang disebut oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai 'tiang bumi Indonesia', pun sanggup diembat oleh sindikat ini.  

Lahir Mandar, Sulawesi Selatan (Mandar sejak awal 2000-an menjadi Polewali-Mandar, Ibukota Provinsi Sulbar yang dimekarkan dari Sulsel, Red),  27 Agustus 1935, Lopa dikenal sebagai seorang jaksa yang keras dalam menegakkan keadilan.   

Hal ini, antara lain, diakui oleh Djokomoelyo,  seorang profesor riset, mantan Kajati Jawa Tengah, mantan Penasihat Jaksa Agung yang juga teman kuliah Lopa semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Cabang Makassar, Sulawesi Selatan, 1955, Hasanuddin, sebagaimana tulisannya di Pinisi edisi 25 Juni 2021. 

Pembawaan Lopa diakui sederhana, polos apa adanya, dan  gaya bicaranya khas,  'ceplas ceplos'.’ Djoko-panggilan akrab si penulis- mengenal Lopa sejak masih berusia muda saat mereka kuliah.   Di antara teman seangkatan mereka, Lopa, Ahmad Paga, Andi Hamzah termasuk yang cepat lulus.

Setelah lulus ’Candidat II’ atau Sarjana Muda Hukum (SMHK/1957), mereka  berpisah. Lopa praktek jaksa di daerah asalnya, sedangkan Djoko  menjadi jaksa di Pati, Jawa Tengah. Karier Lopa selanjutnya adalah menjadi Bupati Majene, Kajati Aceh, Kajati Kalimantan Barat, Kajati Sulawesi Selatan dan Staf Ahli Menteri Kehakiman.  

Terakhir oleh Presiden Gus Dur, Baharuddin Lopa diangkat menjadi Jaksa Agung untuk membersihkan nama baik  dan meningkatkan kinerja korps Adhyaksa. Selama menjabat Jaksa Agung, dapat dipastikan bahwa tidak semua pejabat simpati pada langkah Lopa dalam pemberantasan korupsi, terutama mereka yang tidak konsisten pada janji dan sumpah jabatannya. 

"Saat Baruddin Lopa menjadi Kajati di Aceh pada 1971,  saya menjadi anak buahnya, sebagai Asisten Pembinaan (Asbin) Kejati Aceh. Saya sendiri yang menjemput Lopa pada saat dia hendak mulai bertugas di Aceh. Di lapangan terbang Blang Bintang Banda Aceh, saat turun dari pesawat, dia menyapa dengan cara khasnya, agak teriak dan dengan logat Makasar: ”Hai Djoko, kau di sini? Saya dengar kau pindah jadi tentara, bantu saya ya.”  Saya hanya tersenyum dengan sikap sempurna menghormatnya sebagai pimpinan. Ya walau dulu kami teman kuliah di Makassar (Ujung Pandang), toh saya tetap menghormati sekaligus mengaguminya. Sebagai anak buah, saya siap menjalani semua perintah dan arahannya. Saya ingin mengimbangi kebiasaannya yang dikenal disiplin dan selalu kerja keras.  Di dalam mobil saya lapor bahwa sang calon Kajati baru sudah dipersiapkan penginapan di hotel terbagus. Beliau menolak lalu minta agar menginap di rumah dinas saja! ”Agar menghemat anggaran,” ujarnya. 

Serah terima jabatan Kajati Aceh dengan pejabat lama Mohammad Salim SH berlangsung lancar. Pak Salim menerima mutasi promosi sebagai Kajati di Medan. Dalam briefing-nya kepada para asisten dan para kajari, Lopa mengatakan bahwa pada minggu pertama, ia sudah harus bisa menguasai peta lokasi penyelundupan di Aceh dan bulan kedua harus selesai mengunjungi semua kantor kejari sekaligus berkunjung ke para bupati dan muspida lainnya.

Dia mengatakan dirinya mau cek apakah para kajari dekat dengan pimpinan daerah setempat. Di Aceh, Lopa melihat banyak pengusaha melakukan perdagangan barang antar-pulau yang dibawa dari Sabang atau pulau-pulau lain atau oleh inang-inang ke Medan. Barang-barang itu umumnya tanpa dilengkapi dokumen dengan kedok usaha koperasi.  

Kajati Lopa kemudian memerintahkan agar semua barang di atas truk,  diperiksa termasuk truk bahan bakar. Sebab,  sering terjadi kamuflase, ada penyelundupan,  dan barang yang tidak jelas atau yang diselundupkan,  harus disita. 

Koperasi TNI yang Mencurigakan pun Disikat

Awalnya,  pengusaha di Aceh heboh, termasuk koperasi-koperasi milik tentara. Panglima Kodam Iskandar Muda,  Brigjen Teuku Hamzah setelah menerima laporan beberapa dandim, langsung memerintahkan Pakehdam (Perwira Kehakiman Kodam) Kolonel Mohammad Haji, agar menemui Kajati Lopa untuk berunding mencari jalan keluar yang ’sejuk.’  

Pakehdam yang juga menantu Mayor Jenderal (Tituler) Abu Daud Beureuh (mantan pemberontak GPK Aceh) ini akhirnya sadar dan setuju karena Kajati Lopa tegas,  dan tidak kenal kompromi.  Lopa juga tidak kenal dengan para pengusaha yang membandel. Kapal-kapal mereka yang tidak dilengkapi dokumen atau ketahuan menyelundupkan barang, langsung disita, diproses hukum, dirampas untuk negara, dilelang dan hasilnya disetor ke kas negara.  

Banyak pihak senang dan salut kepada Kajati Lopa yang tegas dan berani. Kapolda, pangdam hingga gubernur juga ikut senang,  karena mereka kebagian premi, yakni imbalan jasa dari pemerintah atas jasa-jasanya.  Kajati Lopa resmi menyerahkan premi dari pemerintah tersebut kepada yang berhak, yakni mereka yang membantu informasi sampai terbongkarnya kasus tersebut, dan diumumkan di surat kabar.    

Saya juga sempat terkejut,  ketika saya yang sudah pindah tugas ke Manado pada 1972 sebagai Asisten Pengawasan (Aswas). Waktu itu,  saya menerima kiriman dana premi dan jasa saat saya menjadi pimpro pembangunan kantor Kejati Aceh. Rejeki nomplok sebesar Rp 150.000 kami syukuri. Saya langsung mengucapkan terima kasih kepada Pak Lopa. Ismail Saleh, Mantan Jaksa Agung, saat sudah menjadi Menteri Kehakiman,  ikut senang melihat cara kerja Lopa sebagai kajati di beberapa tempat termasuk di Aceh. Karena cara kerja dan gayanya yang seperti itu, Lopa kemudian diangkat menjadi Staf Ahli Menteri Kehakiman. Lopa juga akhirnya berani menertibkan para hakim dan pejabat lembaga pemasyarakatan yang membandel. 

Bob Hasan Gunakan HP, langsung 'Dinusakambangankan'!  

Saya juga sempat mengadakan penelitian ke LP Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah, terkait kasus Tommy Suharto,  dan mantan Menteri Mohammad 'Bob'  Hasan yang saat itu menghuni LP Batu. Bagaimana galaknya Lopa diceritakan oleh Bob Hasan, putra angkat Jenderal Gatot Subroto, kepada saya.  

”Yaa, beginilah Pak Djoko nasib saya. Selama kasus saya diproses, saya masih belum menjadi narapidana. Saat saya masih ditahan di LP Cipinang, saat dia (Lopa) melihat saya sedang telpon pakai HP, dia langsung memerintahkan kepada kepala LP Cipinang, agar saya dipindahkan ke Nusakambangan," kenang Bob Hasan.

Lopa yang menjadi pejabat tinggi departemen kehakiman itu hidup sederhana: Tinggal di rumah angsuran, persis di sebelah penjara wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur. Tak ada perabot yang mewah. Di bagian depannya, ada wartel sebagai tambahan pendapatan. 

Tak Pilih Kasih Selama di Sulsel

Dalam sidang di Pengadilan Negeri, Ujung Pandang, 12 Agustus 1985, terdakwa kasus korupsi atas nama  Toni Gozal alias Go Tiong Kien, tiba-tiba diputuskan bebas oleh majelis hakim sekalipun Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntutnya 17 tahun penjara dan denda Rp 30.000.000.  Atas putusan tersebut,  Kajati Lopa terkejut dan sangat marah.

Kejaksaan kemudian banding hingga kasasi. Pada 31 Oktober 1986,  MA memutuskannya bersalah. Sidang yang dipimpin langsung Ketua MA Ali Said menghukum Gozal tujuh tahun penjara dan denda Rp 25.000.000. Saat menjadi Kajati Sulsel (1982-1986), langkah tak pilih kasih juga dibuktikan kepada pimpinan tertinggi pemerintahan di daerah bumi Anging Mamiri. Gubernur Sulsel pada masa itu,  yang diduga korupsi, diprosesnya. Sayang, ketika sedang memproses, Lopa dimutasi.    

Menteri Kehakiman Ismail Saleh yang memegang jabatan itu setelah menjabat Jaksa Agung, terus memantau karier Lopa. Ketika Lopa menjadi Dirjen Pemasyarakatan (Lapas), Lopa melakukan gebrakan, antara lain: koruptor kakap dan napi kaya raya,  seperti Tommy Soeharto, Bob Hasan dan lainnya, dipindahkan ke Nusakambangan,  dan itu menyakitkan mereka.  

Tetapi belakangan, Tommy, Bob Hasan dan lainnya, justru lebih merasakan kenyamanan dan banyak hal positif yang dilakukan di Nusa Kambangan, antara lain beramal. Mereka mengundang dosen dari Cilacap untuk kuliah bagi karyawan LP dan para napi, menyumbang televisi, dan dipasang di masing-masing blok. Mereka juga kemudian membangun masjid, hingga mendorong dan memfasiliitasi napi untuk berwiraswasta, mengerjakan usaha batu mulia dan batu akik. Batu mulia dan akik hasil gosokan napi LP Nusakambangan itu dipasarkan oleh Bob Hasan melalui internet, dan hasilnya lumayan. Para napi bisa menabung, dan saat bebas dari LP membawa tabungannya.

Pada 1993, ketika saya bertugas sebagai Kajati Jawa Tengah, Dirjen Lapas Lopa  menelepon saya dari Jakarta bahwa akan inspeksi ke Kanwil Kehakiman Jateng di Semarang,  dan berjanji mampir ke rumah dinas saya. Karena teman baik, saya bertanya: ’Mau makan Soto Semarang atau lumpia?’ Ternyata,  dia menolak semuanya, hanya mau ikan bakar. Kegemarannya adalah makan ikan bakar panas-panas, dengan bumbu sambal kecap.

Menjabat Jaksa Agung, Kehendak Tuhan 

Pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengangkatnya menjadi Jaksa Agung. Banyak pihak yang senang dengan pengangkatannya menjadi jaksa agung, tetapi banyak pula yang tidak senang, termasuk pejabat-pejabat tinggi negara. Maklum, karena kepribadiannya yang tidak mengenal warna abu-abu, kecuali warna hitam dan putih.  Menurut saya, pengangkatan Lopa sebagai Jaksa Agung, benar-benar kehendak Tuhan, karena begitu menjabat, Lopa langsung menggebrak. Dibantu sahabat-sahabatnya sebagai staf ahli, seperti Prof Dr Andi Hamzah, Prof Dr Ahmad Ali, Jaksa Agung Lopa menggerakkan, dan menghidupkan lembaga kejaksaan, sebagai lembaga penegak hukum yang sesungguhnya.  

Kejaksaan ketika itu benar-benar disegani.  Lopa antara lain mencekal Marimutu Sinivasan ke luar negeri; mengancam Sjamsul Nursalim yang berada di Jepang; meminta Prayogo Pangestu di Singapura yang sedang berobat untuk segera pulang; memproses kasus Ketua DPR Akbar Tandjung dan kasus Nurdin Halid.  Aksi-aksi memburu koruptor kelas kakap oleh kejaksaan waktu itu dilakukan ketika Presiden Abdurahman Wahid menghadapi dugaan keterlibatannya dalam kasus Bulogate dan Bruneigate. Ketika itu,  Presiden Wahid terus dirongrong oleh DPR RI.  

Pada saat pihak kejaksaan sedang semangat menangani kasus-kasus tersebut, Tuhan rupanya punya kehendak lain. Orang yang jujur, tegas dan pemberani itu justru dipanggil-Nya: Lopa wafat pada 3 Juli 2001 di Riyadh, ketika sedang melakukan umroh. Jadi,  hanya 1,5 bulan menjadi jaksa agung.  Indonesia berduka. Presiden Abdurrahman Wahid yang pada saat itu sedang membuka Jambore Nasional Pramuka di Baturaden, spontan mengajak anggota Pramuka untuk mengheningkan cipta dan berdoa untuk Lopa, sedangkan Wakil Presiden Megawati yang sedang memimpin sidang kabinet, mengajak para menteri untuk doa bersama.  

Jenazah Lopa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di dekat pusara para pahlawan besar seperti Jenderal Besar AH Nasution bersama ibu, Jenderal Sudharmono, Jenderal Rudini, Jenderal Poniman, Jenderal Saleh Basarah, Jenderal Eddy Sudrajat, Jenderal Ibnu Sutowo, Prof DR A Baramuli (mantan jaksa tinggi yang pertama kali mendidik almarhum sebagai jaksa di Kejaksaan Makassar tahun 1957 dan ketika itu jaksa agung-nya adalah R. Soeprapto).  

Beberapa tahun setelah sahabatku Lopa wafat,  saya sempat silaturahmi kepada Ibu Indra Wulan, istri almarhum yang setia, selalu ceria dan tabah, yang tinggal di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Di situ, dia  hidup bahagia bersama anak dan belasan cucu.  Kita semua berharap semoga perjuangan Lopa diteruskan, pemerintah konsisten dan jujur dalam menegakkan hukum. Semoga semangat, kejujuran, kesederhanaan, ketegasan, keberanian, kepahlawanan Lopa menjiwai seluruh aparat penegak hukum di negeri ini terutama para jaksa, generasi saat ini dan masa mendatang.  

Gus Dur: Tiang Langit Bumi Indonesia!

Lopa dikenal sebagai seorang pendekar sejati di ranah hukum Indonesia. Pada Selasa, 3 Juli 2001 malam, sebagaimana dilansir Suara Pemred dari Tirto,  hujan deras disertai kilat menyambar-nyambar langit. Presiden Abdurrahman ;Gus Dur' Wahid tersentak. Gus Dur mengunci diri dalam kamarnya di Istana Negara, Jakarta, dan menangis tersedu. Ketika tangisnya agak reda, Gus Dur berucap lirih: “Malam ini, salah satu tiang langit bumi Indonesia telah runtuh!”  Gus Dur telah mendapatkan suatu penglihatan yang menyedihkan, tapi tak seorang pun yang paham maksudnya. Apalagi, tidak biasanya cucu dari Hadratussyaikh Hasyim Ashari itu menangis sedu-sedan.  

Tangis dan ucapan Gus Dur baru terjelaskan ketika panggilan telepon berdering pukul 11 malam dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh, Arab Saudi. Berita yang disampaikan sang penelepon telah menggenapi penglihatan Gus Dur sambil mengantarkan duka ke seluruh penjuru tanah air: Jaksa Agung Baharuddin Lopa telah dipanggil Penciptanya!  

Berita meninggalnya Lopa,  yang baru dilantik sebagai Jaksa Agung pada 5 Juni 2001, memicu keterkejutan sekaligus duka yang mendalam. Ketika berita meninggalnya Lopa tercetak di surat kabar, almarhum Jakob Oetama bersaksi dalam Tajuk Rencana Harian Kompas edisi 5 Juli 2001 bahwa seorang penelepon yang menghubungi redaksi Kompas untuk menyampaikan dukacita sampai berujar tentang sebuah tamsil tentang kepergian Lopa: “Cahaya di tengah gelap gulitanya penegakan hukum itu telah padam.”  

Dua peristiwa kecil di atas,  masih dilansir dari Tirto, setidaknya menjelaskan tentang siapa Baharuddin Lopa. Sosoknya tidak hanya terkenang sebagai penegak hukum yang lurus dan bersahaja, tetapi juga keberaniannya berjuang sendiri.  

Prinsip jalan pedang yang dianut Baharuddin Lopa ini,  terkandung dalam kata-katanya yang seringkali dikutip: “Banyak yang salah jalan, tapi merasa tenang,  karena banyak teman yang sama-sama salah. Beranilah menjadi benar,  meskipun sendirian!” Lopa meninggal mendadak.

Keberangkatannya ke Arab Saudi dilatari panggilan tugas sebelumnya sebagai Duta Besar RI untuk Arab Saudi. Sesudah ditunjuk Gus Dur sebagai Jaksa Agung, Lopa harus menyerahterimakan tugas duta besar kepada Wakil Duta Besar KBRI Riyadh, Kemas Fachruddin.  

Setelah acara serah terima selesai, Lopa menyempatkan diri bertolak ke Makkah lewat perjalanan darat selama 10 jam untuk melaksanakan ibadah umrah.  Pada Selasa pagi, 3 Juli 2001, Lopa mual-mual, dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Al-Hammadi, Riyadh. Tak berapa lama, maut menyongsongnya. Lopa, barangkali, menjadi eksemplar terakhir penegak hukum yang benar-benar tegak di atas karang kejujuran.

 “Tidak mengherankan,  ketika ia meninggal dunia, kantor berita The Associated Press di Amerika Serikat lewat edisi 4 Juli 2001 memberitakan: ‘Indonesia’s Anti-corruption Crusader has Died' (Pendekar Antikorupsi Indoensia telah Wafat).  Crusader adalah pendekar yang teguh dalam perjuangan, dan Baharudin Lopa pantas untuk disebut sebagai pejuang nomor wahid yang menentang korupsi,” tulis Rosihan Anwar dalam Petite Histoire Indonesia Jilid 5: Sang Pelopor, Tokoh-Tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa (2012: 219).  

Kepergian Baharuddin Lopa yang mendadak telah mematahkan harapan akan proses hukum sejumlah kasus korupsi besar yang tengah dibedah. Putra Mandar, Sulawesi Selatan itu,  tak mau pilih-pilih. Kepada wartawan yang menemuinya di Ruang Adhi Wicaksana Kejaksaan Agung sesudah dilantik, Lopa pernah berkata: “Saya tidak boleh memilih-milih. Kasus yang belum selesai, diselesaikan. Bagi saya, itu semua prioritas.”  Sebagian merupakan kasus yang tak selesai di bawah penanganan Jaksa Agung Marzuki Darusman, sedangkan sebagian lagi adalah perkara baru. Lopa tak cuma mengobral lip service. Beberapa hari setelah dilantik, ia mengutus Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Chalid Karim Leo, untuk melacak keberadaan tersangka mark-up Hutan Tanaman Industri, Prajogo Pangestu.  

Prajogo, yang sudah beberapa kali diperiksa dalam kasus mark-up hutan tanaman industri melalui PT. Musi Hutan Persada di Sumatra Selatan, yang merugikan negara sekitar Rp 331 miliar dan penyalahgunaan dana reboisasi senilai Rp 1 triliun lebih, ketika itu mengaku sedang berobat di Singapura. Ragu akan klaim Prajogo, Baharddin Lopa tancap gas: mengaktifkan kembali status tersangka Prajogo yang sudah lama dipetieskan,  karena jejaknya yang misterius.  

Sambil menelusuri jejak Prajogo, Baharuddin Lopa juga menguber bos Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim, tersangka kasus penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia,  yang menilap uang negara hingga Rp 7,28 triliun.   Sjamsul,  yang ketika itu mengaku tengah berobat ke Jepang, membuat Lopa penasaran: “Mengapa harus di Jepang kalau di Indonesia bisa diobati?" Karenanya, Lopa mewanti-wanti anak buahnya agar tersangka kasus kakap jangan sampai lolos.  

Kasus besar lain yang juga dibuka Lopa adalah penggelapan dana non-neraca Badan Urusan Logistik (Bulog),  yang melibatkan nama politikus Partai Golongan Karya, Akbar Tandjung. Dana senilai hampir Rp 90 miliar itu diduga bocor,  dan masuk ke kas partai berlambang beringin,  ketika Bulog dikepalai Rahardi Ramelan.  Rinciannya, Rp 71 miliar keluar selama Rahardi menjabat,  dan disusul pengeluaran lain senilai Rp 19 miliar. Perintah penarikan dana turun pada 27 Agustus 1998, hanya sehari sesudah Rahardi dilantik sebagai Kepala Bulog.  

Ketika membedah kasus yang melibatkan bekas partai penguasa ini, Lopa mendapati penarikan lebih intensif pada bulan-bulan kampanye,  jelang pemilihan umum, yakni  antara Maret-Juni 1999.  Lopa sampai berkirim surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk memeriksa Arifin Panigoro, Nurdin Halid, dan Akbar Tanjung. Esoknya, Gus Dur langsung menurunkan lampu hijau bagi Lopa.  Toh tak selamanya mulus: Lopa dihadapkan pada pertentangan sengit di lingkungan kejaksaan ketika hendak mencabut Surat Perintah Penghentian Perkara (SP-3) kasus utang macet Rp 9,8 triliun atas nama Marimutu Sinivasan ke BRI dan BNI 46,  yang semua utangnya diserahkan ke BPPN.   

Sebagian anak buahnya menilai kasus yang melibatkan dua engineering milik Sinivasan, Polysindo Eka Perkasa dan Texmaco Perkasa itu,  tak cukup bukti. Pandangan ini serta-merta diserang oleh jaksa lain yang telah mengumpulkan bukti sangat kuat untuk menjerat Sinivasan.  Panas dingin Sinivasan ini dikabarkan sampai menyebabkan bos Texmaco itu mengajak Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Rachman SH menghadap Gus Dur di Istana Merdeka,  dan meyakinan Presiden bahwa kasus Texmaco lemah bukti.  

Sayangnya, meski telah membentuk empat tim jaksa untuk mengusut sejumlah kasus-kasus kakap ini, Lopa terpaksa meninggalkan semua berkas perkara yang hendak dibukanya,  ketika Sang Khalik memanggilnya.  Lopa 'hanya'  menyaksikan pemeriksaan Nurdin Halid yang terkait kasus dana Simpanan Wajib Khusus Petani (SWKP) Cengkeh, suatu mengebohkan yang menghancurkan perekonomian di wilayah-wilayah  sentra cengkeh Indonesia terutama di Provinsi Sulawesi Utara, di mana Nurdin Halid divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Ujung Pandang (kini Makassar) pada 1999.

Kisah Lopa Memburu Soeharto  

Dari sekian kasus besar yang lekas dibedah Lopa semasa menjabat Jaksa Agung, ada satu kasus paling ambisius yang membuatnya gemas sejak semula: mengusut kekayaan mantan Presiden HM Soeharto.  Sesuai hasil penelusuran Transparency International pada 1998, keluarga Soeharto ditaksir telah membegal uang negara hingga 30 miliar olar AS selama memerintah. Maka itu, alih-alih hendak memidanakan, Baharuddin Lopa memilih mengejar Soeharto untuk diganjar sanksi perdata.  Kegemasan Lopa terlihat dari tulisan-tulisannya di media massa yang kemudian diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas berjudul Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (2001). Salah satunya, ketika Baharuddin Lopa mencecar kejaksaan yang mengulur-ulur pengusutan korupsi keluarga Cendana.  

“Saya ingin bertanya kepada Jaksa Agung, sudahkah diteliti betul-betul pemberkasan kasus Soeharto itu? Apakah saksi-saksinya sudah cukup dan memberi keterangan yang berarti? Sudah adakah barang bukti yang akan diajukan? Sudahkah dilakukan penyitaan sementara terhadapnya?” (2001, hlm.119).  Lebih lanjut, Lopa memaparkan: “Yang kita inginkan ialah berjalannya proses pidana yang fair, terbuka, dan tidak menyimpang dari asas peradilan yang adil. Sebab, yang dicita-citakan dari proses penyidangan perkara itu, ialah suatu putusan yang adil, bukan menghukum orang yang tidak bersalah, tetapi bukan juga membebaskan orang yang bersalah,” (2001, hlm. 121).  

Dalam tulisan lain, Baharuddin Lopa menyayangkan semua pihak yang masih berkutat dan menyoal berapa uang negara yang dikorupsi Soeharto dan anak-anaknya.  Bagi Lopa, perdebatan tentang nominal yang dicoleng keluarga Soeharto,  bukan soal yang terlalu mendesak. Sebab menurutnya: “Yang penting bagi rakyat, adalah agar kekayaan yang seluruhnya atau sebagiannya diperoleh secara tidak wajar, segera disita, dirampas,  dan digunakan untuk menolong kehidupan rakyat dalam memenuhi kebutuhan bahan pokok. Aset itu berasal dari rakyat. Karena itu, harus pula kembali kepada rakyat” (2001, hlm. 112).   

Di luar ranah penegakan hukum, banyak pihak menilai Lopa mempunyai daya tawar yang mampu mengatrol wajah kabinet Persatuan Nasional,  yang hari-hari itu tengah lesu akibat ketidakcocokan dengan DPR RI; seringnya perombakan kabinet; serta langkah-langkah politik Gus Dur lain,  yang kerap diolok sebagai 'Jurus Dewa Mabok'.  Nilai besar Lopa sebagai aset kabinet sempat disayangkan oleh Amien Rais, Ketua MPR RI ketika itu. Amien menilai, jika Gus Dur sejak awal memasukkan Lopa ke jajaran pembantunya, maka wajah Kabinet Persatuan Nasional akan lebih segar,  dan didukung masyarakat.  

“Lopa masuk kabinet,  ketika wajah pemerintahan Wahid berada dalam teka-teki. Karenanya, meninggalnya Pak Lopa membuat wajah kabinet kembali suram,” ujar Amien seperti dicatat dalam obituari Spekulasi Setelah Lopa Pergi yang dimuat Tabloid Masa no. 08/Th. I, 9-15 Juli 2001. Senada dengan pandangan Amien Rais, Aisyah Amini, anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan ketika itu, mengaku bahwa dirinya telah memberikan usul kepada Gus Dur supaya Baharuddin Lopa masuk kabinet.  Sayangnya, Gus Dur baru memperhitungkan usulan itu,  ketika kabinetnya dihantam badai besar yang membuatnya kewalahan. “Siapapun merasa sedih dan kehilangan atas kepergian Pak Lopa. Tapi, bagi Gus Dur, rasa kehilangannya lebih lagi. Sebab, Lopa adalah primadona di kabinetnya,” ujar Aisyah, dalam obituari yang sama.   

 Lopa Wafat, Gus Dur Digulingkan SI MPR

Hanya saja, sejarah masa lalu bersaksi bahwa langkah politik Gus Dur semakin tidak terkendali sesudah Lopa berpulang. Kendati telah mempersiapkan 'kompromi politik', dengan sejumlah pimpinan partai politik, Gus Dur gagal bertahan di kursi RI-1.  

Alhasil, tepat 20 hari sesudah Baharuddin Lopa meninggal, Gus Dur pun digulingkan lewat Sidang Istimewa (SI) MPR RI, yang serta-merta melantik Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden V, tanpa lebih dulu mendengar laporan pertanggungjawaban Gus Dur selama memerintah.   

Kepergian Lopa yang mendadak telah memantik spekulasi. Sejumlah kejanggalan menjadi desas-desus. Banyak keterangan berbeda tentang kematiannya. Menteri Luar Negeri Alwi Shahab menjelaskan Lopa mual dan mengalami muntah-muntah sebelum dibawa ke Rumah Sakit Al-Hammadi, Riyadh.    

Masih menurut Tirto, dalam pemeriksaan, diketahui ada satu pembuluh darahnya yang menyempit. Namun, dalam diagnosis intensif, didapati tiga pembuluh darah menyempit sehingga Lopa harus dioperasi.  Sempat ada tanda-tanda akan sembuh, keadaan Lopa malah memburuk, koma, dan mengembuskan napas terakhirnya sebelum Tim Dokter Kepresidenan memeriksanya.  

Keterangan Alwi jelas membuat publik tertanya-tanya, apa hubungannya mual dan sakit jantung? Rasionalisasi sakit jantung sedikit banyak memang dapat diterima, karena Lopa adalah perokok berat,  dan dalam membedah kasus-kasus besar yang lama dideponir  di laci,  dapat diasumsikan bahwa Lopa kurang beristirahat.  Hanya saja, kaitan mual dan sakit jantung dinilai terlalu dihubung-hubungkan. Bola liar desas-desus semakin menjadi,  ketika keterangan Alwi Shahab tak cocok disandingkan dengan penjelasan Basri Hasanuddin,  yang berpidato dalam pemakaman Lopa sebagai perwakilan keluarga.  

Basri menyebut Lopa mengeluh sesak napas—bukan mual-mual—sebelum dokter mendapati penyakit jantung. Juru Bicara Kepresidenan, Adhie M Massardi pun menambah riuh bola liar teka-teki saat menjawab pertanyaan publik seputar penunjukan Soeparman sebagai pelaksana tugas Jaksa Agung. 

Adhie menyatakan, penunjukan tersebut sesuai dengan rekomendasi Lopa. Pertanyaannya: kapan Baharuddin Lopa sempat memberi rekomendasi? Sebelum berangkat ke Riyadh? Sebelum umrah? Atau sebelum dia koma?  Lopa sendiri sempat memberi umpan teka-teki kepada Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, yang sempat bertemu dengannya di Makkah ketika melaksanakan ibadah umrah. 

Lopa menyatakan, ada tiga orang yang mendesaknya mundur dari jabatan Jaksa Agung.  Ungkapan senada pernah diutarakan Baharuddin Lopa kepada mantan mahasiswanya, Achmad Ali SH MH “Terlalu banyak orang yang ketakutan jika saya diangkat menjadi Jaksa Agung, sehingga logis jika orang ramai-ramai memotongi saya agar tidak menjadi Jaksa Agung.”  

Tetapi, Lopa tetaplah Lopa. Prinsipnya sebagai penegak hukum yang menentang kebatilan,  begitu tegas,  dan jelas, “Walau umur dunia tinggal sehari, hukum harus ditegakkan!”   

Tak Kenal Takut

Kelahiran Mandar, Provinsi Sulawesi Selatan (kini Ibukota Provinsi Sulawesi Barat pasca pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan), 27 Agustus 1935.  ini juga adalah mantan Duta Besar RI untuk Arab Saudi. Dikutip dari situs web resmi kejaksaaan, Lopa hampir tidak memiliki rasa takut, kecuali kepada Allah SWT.Sepanjang berkarier di kejaksaan, Lopa pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan, dan juga mengepalai  Pusdiklat Kejaksaan Agung di Jakarta. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur, tapi Baharuddin Lopa bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung. Lopa  bersama staf ahlinya Dr Andi Hamzah dan Prof Dr Achmad Ali serta staf lainnya biasa bekerja hingga pukul 23.00 setiap hari. Meski menjabat Jaksa Agung hanya 1,5 bulan, Lopa berhasil menggerakkan Kejaksaan Agung untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi dan mencatat deretan panjang konglomerat dan pejabat yang diduga terlibat KKN, untuk diseret ke pengadilan. Ketegasan dan keberaniannya jadi momok bagi para koruptor kakap dan teladan bagi orang-orang yang berani melawan arus kebobrokan.*** 

Penulis & Editor: Dismas Aju & Patrick Sorongan

Sumber: Buku '70 Tahun H Ismail Saleh SH Tirto', Buku 'Petite Histoire Indonesia Jilid 5: Sang Pelopor, Tokoh-Tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa',  Pinisi, Tajuk Rencana Harian Kompas 5 Juli 2001, Wikipedia, berbagai sumber

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda