Internasional post authorAju 04 Januari 2022

Daya Ledak Senjata Nuklir Sekarang Jauh Lebih Berbahaya dari Bom Atom AS di Jepang 1945

Photo of Daya Ledak Senjata Nuklir Sekarang Jauh Lebih Berbahaya dari Bom Atom AS di Jepang 1945 Pengamat pertahanan dan militer Universitas Jenderal Ahmad Yani Bandung, Dr Connie Rahakundini Bakrie

BANDUNG, SP – Pengamat pertahanan dan militer Universitas Jenderal Ahmad Yani Bandung, Dr Connie Rahakundini Bakrie, mengatakan, daya ledak senjata nuklir sekarang jauh lebih dahsyat dan berbahaya dari bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Jepang dalam Perang Dunia II, 1941 – 1945, yaitu Hiroshima, 6 Agustus 1945 dan Nagasaksi, 9 Agustus 1945.

            “Penyataan bersama China, Jepang, Inggris, Perancis, dan Rusia, Senin, 3 Januari 2022, untuk menghentikan produksi senjata nuklir, bukan ide atau hal baru. Jadi masalahnya juga masih sama, yang utama ada pada kesadaran akan kesederajatan negara-negara di dunia,” kata Connie Rahakundini Rakrie, Selasa siang, 4 Januari 2022.

            Conni Rahakundini Bakrie, menanggapi China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, membuat pernyataan bersama dalam kapasitas sebagai Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto, Senin, 3 Januari 2022.

            Di saat Resolusi Majelis Umum PBB tahun 2013, sudah dinyatakan  ‘Hari Internasional Penghapusan Total Senjata Nuklir’, saat itu intinya melarang senjata ini berdasarkan ‘prinsip limitasi’ Hukum Humaniter (Hukum Perang).

            Pada kenyataannya senjata nuklir terus dikembangkankan oleh Amerika Serikat dan aliansinya. Sudah tentu China dan Korea Utara yang berurusan dengan  Amerika Serikat juga ikut-ikutan mengembangkan. Ini di mata mereka adalah masalah kesederajatan. 

            Dikatakan Connie Rahakundini Bakrie, bom atom atas Nagasaki dan Hiroshima tidak ada apa-apanya  tahun 1945, dibanding  beberapa negara dengan teknologi kekinian yang telah mengembangkan dan memiliki senjata nuklir modern yang daya hancurnya jauh lebih dahsyat daripada bom atom konvensional era Perang Dunia II, 1941 – 1945, meliputi Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, China, India, Pakistan, Korea Utara dan Israel.

            “Pertanyaannya sekarang,” kata Connie Rahakundini Bakrie, “Jujurkah mereka semua tentang jumlah hulu ledak nuklir aktif  mencapai 65.000 dan sangat mungkin sudah lebih? Karena banyak hulu ledak nuklir hanya dinonaktifkan, sehingga sewaktu-waktu dapat diaktifkan kembali. Jadi ini fakta bahwa tidak terjadi pengurangan/penghapusan senjata nuklir.”

            Padahal di tahun 2017 , PBB berhasil mengesahkan Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons atau Traktat Larangan Senjata Nuklir, yang ditandatangani dan diratifikasi sejak  2017dan isinya sdh mengarah pada penghapusan total senjata nuklir.

            “Tapi, ini paling sedikit wajib diratifikasi 50 negara untuk dapat berlaku sebagai instrumen hukum internasional yang mengikat,” ujar Connie Rahakundini Bakrie. 

            Masalahnya, negara-negara pemrakarsa yang memiliki senjata nuklirlah yang harus dituntut untuk meratifikasi dan berjanji tidak lg mengembangkan dan memiliki senjata nuklir.           “Indonesia bisa ambil peran aktif mendorong tercapainya jumlah 50 ratifikasi agar traktat tersebut dapat segera berlaku. Karena kita punya kemampuan itu dengan contoh yang kita buat terhadap Reaktor Trigamark, kita,” ungkap Connie Rahakundini Bakrie.

            “Jadi, menurutku yang terpenting PBB harus mampu lebih mengutamakan ‘negosiasi damai berdasar prinsip kesederajatan dan keadilan’, kalau ini tidak bisa dilakukan, ya kita hanya basa-basi saja dari terhindarnya dunia dari bahaya perang nuklir,” kata Connie Rahakundini Bakrie.

Konsekuensi luas dampak negative senjata nuklir

"Kami menegaskan bahwa perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh diperangi," bunyi pernyataan dalam versi Bahasa Inggris, dari Rusia, China, Perancis dan Inggris, Senin, 3 Januari 2022.

            "Karena penggunaan nuklir akan memiliki konsekuensi yang luas, kami juga menegaskan bahwa senjata nuklir - selama mereka terus ada - harus melayani tujuan defensif, mencegah agresi, dan mencegah perang."

            Wakil Menteri Luar Negeri China, Ma Zhaoxu, mengatakan pernyataan bersama itu dapat membantu meningkatkan rasa saling percaya dan "menggantikan persaingan di antara negara-negara besar dengan koordinasi dan kerja sama," menambahkan bahwa China memiliki kebijakan "tidak menggunakan pertama" pada senjata nuklir, kantor berita negara Xinhua melaporkan.

            Prancis merilis pernyataan itu, menggarisbawahi bahwa lima kekuatan menegaskan kembali tekad mereka untuk kontrol senjata nuklir dan perlucutan senjata. Mereka akan melanjutkan pendekatan bilateral dan multilateral untuk pengendalian senjata nuklir.

            Pernyataan dari apa yang disebut kelompok P5 datang ketika hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Moskow telah jatuh ke titik terendah sejak berakhirnya Perang Dingin, sementara hubungan antara Washington dan China juga berada pada titik terendah karena berbagai ketidaksepakatan.

            Pentagon pada bulan November 2021, secara tajam meningkatkan perkiraannya tentang proyeksi persenjataan senjata nuklir China selama beberapa tahun mendatang, dengan mengatakan Beijing dapat memiliki 700 hulu ledak pada tahun 2027 dan mungkin 1.000 pada tahun 2030.

            Washington telah berulang kali mendesak China untuk bergabung dengannya dan Rusia dalam perjanjian pengendalian senjata baru.

            Ketegangan geopolitik antara Moskow dan negara-negara Barat telah meningkat karena kekhawatiran tentang pembangunan militer Rusia di dekat negara tetangga Ukraina. Moskow mengatakan dapat memindahkan pasukannya di sekitar wilayahnya sendiri jika dianggap perlu.

            Kamis, 30 Desember 2021, Presiden Amerika Serikat, Josef R Biden, mengatakan kepada mitranya Presiden Rusia, Vladimir Putin, bahwa kemungkinan langkah di Ukraina akan menarik sanksi dan peningkatan kehadiran Amerika Serikat di Eropa.

            Pejabat Amerika Serikat dan Rusia mengadakan pembicaraan keamanan pada 10 Januari untuk membahas kekhawatiran tentang aktivitas militer masing-masing dan menghadapi meningkatnya ketegangan di Ukraina, kata kedua negara.

            Sebuah konferensi tentang perjanjian nuklir besar yang akan dimulai pada hari Selasa, 4 Januari 2022, di Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ditunda hingga Agustus 2022, karena pandemi Covid-19.*

Sumber: reuters/the jerusalem post

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda