Ketapang post authorKiwi 12 Mei 2024

Sekda; Tidak Malu dan Bangga dengan Adat

Photo of Sekda; Tidak Malu dan Bangga dengan Adat Peluncuran buku Sumpah Kedaulatan Dayak Patih Jaga Pati, Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua.

KETAPANG,SP - Sekretaris Daerah Kabupaten Ketapang, Alexander Wilyo, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas peluncuran buku Sumpah Kedaulatan Dayak Patih Jaga Pati, Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua. Buku tersebut ditulis oleh Masri Sareb Putra dan Thomas Tion, dan dicetak oleh Lembaga Literasi Dayak (LLD) di Jakarta.

Peluncuran buku tersebut ditandai dengan serah-terima buku dari pihak penerbit kepada penulis, kemudian dari penulis buku diserah-terimakan kepada Sekda Ketapang yang juga bergelar Patih Jaga Pati. Buku tersebut kemudian ditandatangani dengan tinta emas.

"Atas nama pribadi, saya Patih Jaga Pati Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua, menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang berkontribusi atas ditulis dan diterbitkannya buku ini," ucap Alex beberapa hari lalu.

Dia menjelaskan, terkait dengan Laman Sembilan Domong Sepuluh, merupakan sebutan atau silsilah yang menunjukkan wilayah adat Kerajaan Hulu Aik atau Kerajaan Tongkat Rakyat yang memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Tanjungpura Kuno, termasuk dengan Kerajaan Majapahit.

"Jadi, memang ada kaitan erat dengan asal-usul dengan Prabu Jaya, karena dulu dikisahkan bahwa Prabujaya dari Kerajaan Majapahit menikah dengan Dayang Putong, puteri Raja Hulu Aik, yang menurunkan raja-raja Tanjungpura kuno, sampai sekarang, setelah era Islam Majapahit berganti menjadi Demak," jelas Alex.

Dia menegaskan, orang Dayak di bawah Raja Hulu Aik tetap memegang teguh adat yang dulu diwariskan. "Sampai sekarang orang Dayak masih kuat memegang tradisi-tradisi itu. Saya dinobatkan sebagai Patih Jaga Pati juga memberi tugas untuk menjaga, menegakkan adat, budaya, dan tradisi," ungkapnya.

Dengan demikian, tidak hanya adat, budaya, tradisi Dayak, tetapi juga adat, budaya, tradisi seluruh suku bangsa, yang harus dijaga, dirawat, dipertahankan dan dilestarikan secara bersama-sama. "Oleh karena itu, saya mengundang semua untuk meneguhkan hati kita dalam menjaga, memelihara adat, budaya, tradisi suku apapun," ajaknya.

"Sehingga dengan demikian, tidak ada salahnya jika kita menyatu, bersatu, bangga dengan adat, budaya, tradisi kita sebagai jati diri kita, sebagai harga diri kita sebagai bangsa, satu bangsa, bangsa Indonesia," lanjutnya.

Alex kembali menegaskan, sampai hari ini masyarakat adat Laman Sembilan Domong Sepuluh tetap eksis menjaga adat, bukan menjaga wilayah kekuasaan politik, bukan menjaga wilayah kekuasaan pemerintahan. Karena wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh itu melewati batas-batas dan sekat-sekat administtasi pemerintahan. Mulai dari Desa Darat Pantai Kapuas, Labai Lawai, Simpang Sekayok, Laor-Jokak, Bihak-Krio, Kayong-Gerunggang, Tolak Sekayok, Pesaguan Sekayok, Jelai Sekayok, Kendawangan Seakaran, bahkan sampai ke Kalteng.

"Yang menyatukannya adalah pusaka, yang sampai hari ini masih tetap dijaga, dirawat, dan setiap tahun diadakan ritual mencuci pusaka, yang dinamakan adat Meruba, yakni mencuci pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat. Inilah satu-satunya bukti eksistensi, bukti supremasi Kerajaan Hulu Aik, pemegang pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat, yang orang Dayak manapun tahu dengan itu," paparnya.

Dia mengucapkan terima kasih kepada DR. Masri Sareb Putra, penulis Buku Kedaulatan Dayak, karena dia yang mendorong dirinya agar membukukan jejak-jejak Kepatihan Jaga Pati. Mulai dari seluruh peristiwa, acara adat, ritual-ritual adat dan menularkan semangatnya kepada seluruh masyarakat, agar suku apapun tidak malu dengan eksistensinya, dengan adat, budaya, dan tradisinya.

"Saya kira, itulah yang dimaksud dengan makna berdaulat secara budaya. Artinya kita tidak malu, kita bangga dengan adat, budaya, tradisi kita. Kita masih menjaganya, masih memeliharanya, masih mempertahankannya di manapun dan kapanpun," tukasnya. (Teo)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda