Mempawah post authorKiwi 05 Desember 2022

YPKOT Nilai BPN Mempawah ‘Offside’ di Kasus Sengketa Lahan Makam

Photo of YPKOT Nilai BPN Mempawah ‘Offside’ di Kasus Sengketa Lahan Makam

Lampaui Keputusan MA, Bayar Ganti Rugi Lahan Makan Sebelum Putusan Kasasi

 

MEMPAWAH, SP – Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mempawah dikabarkan membayarkan uang ganti rugi kepada ahli waris yang tergabung pada Yayasan Pelayanan Kematian Orang Tionghoa (YPKOT).

Kabar pembayaran kerugian tersebar lewat surat pemberitahuan pembayaran ganti rugi makam Tionghoa yang terdampak pembangunan Pelabuhan Terminal Kijing di Kecamatan Sungai Kunyit. Pembayaran dilakukan pada ahli waris pada 1 Desember 2022.

Namun keputusan yang diambil oleh pihak BPN Mempawah tersebut disayangkan oleh pengurus YPKOT, Subandrio. Pasalnya saat ini, pihak yayasan masih menunggu hasil kasasi yang dilayangkan Yayasan Bakti Baru (YBB) di Mahkamah Agung (MA).

"Kita (YPKOT) saat ini masih menunggu hasil kasasi di MA, sebagai termohon. Karena kita taat dan mengerti hukum," katanya, Senin (5/12).

Seperti diketahui telah terjadi polemik antara YPKOT dan YBB terkait hak pembayaran ganti rugi lahan akibat dampak pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing di Kabupaten Mempawah oleh PT Pelindo.

Proses persidangan untuk menyelesaikan polemik telah dilakukan sebelum kasus ini sampai ke Mahkamah Agung. Sejumlah persidangan di tingkat Pengadilan Negeri Mempawah dan Pengadilan Tinggi telah digelar. Hasilnya YPKOT memenangi persidangan tersebut.

"Sesuai hasil keputusan hukum, baik dari PN Mempawah maupun Pengadilan Tinggi. Alas hak atas lahan, tanam tumbuh, jalan, pagar, gudang dan lainnya merupakan milik YPKOT Sungai kunyit," ujar Subandrio.

Meskipun YPKOT sudah memenangkan dua kali persidangan. Pihak yayasan masih mentaati proses kasasi yang sedang berjalan di MA. Akan tetapi disayangkan, pihak terkait dalam hal ini PT Pelindo, BPN Mempawah termasuk Pengadilan Negeri Mempawah malah melakukan pembayaran ganti rugi secara langsung ke para ahli waris.

"PN Mempawah dan PT Pelindo ini diduga tak menghargai proses kasasi yang masih berproses," sesal Subandrio.

Subandiro juga menilai keputusan pembayaran ganti rugi secara langsung kepada masing-masing ahli waris diduga dilakukan untuk menciptakan manajemen konflik antara pengurusan YPKOT dengan ahli waris.

"Ada dugaan manajemen konflik dan adu domba digulirkan terhadap ahli waris YBB dan YPKOT terkait pemakaman Tionghoa yang terkena dampak pembangunan Pelabuhan Kijing," nilainya.

Pengurus YPKOT, diyakinkan Subadrio, pada dasarnya ingin mempercepat penyelesaian pembangunan proyek strategis nasional Pelabuhan Internasional Kijing. Dia memastikan tidak ada niat pengurusa yayasan menghalangi pembangunan di Mempawah.

"Kita sangat mendukung pembangunan proyek strategis nasional, tidak ada niat untuk menghalangi, apabila semua (ganti rugi) dibayarkan, maka kami pindah, karena jika belum dibayar bagaimana kami akan menempatkan makam-makam tersebut," tegasnya.

Lanjut Subandrio, pihaknya juga pernah mendatangkan penerjemah yang mengerti bahasa Mandarin untuk mendata makam di tempat pemakaman, sesuai arahan BPN Mempawah terkait pendataan.

"Setelah semua terdata sekitar 200 lebih makam, dengan dilengkapi foto, data yang kita sampaikan di BPN Mempawah tidak digunakan. Karena data validasi yang dilakukan BPN Mempawah, ada yang tidak mengetahui namanya di makam. Jadi data mana yang digunakan BPN Mempawah," katanya.

Karena itulah, Subandrio menyarankan agar proses kasasi di MA diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembayaran ganti rugi ke ahli waris, agar tidak terjadi polemik baru terkait siapa yang berhak mendapatkan ganti rugi.

"Alangkah baiknya selesaikan dulu proses kasasi di MA, baru kemudian dilakukan proses pembayaran ganti rugi," tegasnya.

Sengaja Lampaui Putusan Kasasi MA

Kuasa hukum YPKOT, Fahrizal Siregar menuturkan hingga saat ini sengketa kepemilikan lahan makam Tionghoa di Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah  masih berproses kasasi di Mahkamah Agung.

 “Karena Pihak yang kalah masih menempuh upaya hukum kasasi, di mana sebelumnya YPKOT sebagai penggugat di PN Mempawah,” katanya, Senin (5/12).

Gugatan atas kepemilikan lahan pemakaman disidangkan pada tingkat kasasi yang sebelumnya YPKOT sebagai penggugat berdasarkan putusan Nomor 60/Pdt.G/2021/PN.Mpw Jo. No. 39/PDT/2022/PT PTK; YPKOT lah sebagai yayasan yang sah memiliki aset berupa tanah lahan pemakaman dan tanam tumbuh di atasnya.

“Sehingga YBB merasa keberatan terhadap putusan tersebut dan menempuh jalur hukum kasasi di tingkat Mahkamah Agung RI,” jelasnya.

Terkait pembayaran ganti rugi yang dilakukan oleh BPN Mempawah, Fahrizal mengaku juga mendengarnya. BPN Mempawah telah melaksanakan pembayaran kepada ahli waris makam yang dengan sengaja melampaui Putusan Kasasi Mahkamah Agung.

“Karena BPN Mempawah dan PT Pelindo menjadi turut tergugat, sehingga mustahil BPN Mempawah menutup mata masih adanya proses hukum yang sedang dilakukan oleh YPKOT maupun YBB,” katanya.

Kemudian yang menjadi persoalan saat ini menurut Fahrizal, apakah BPN Mempawah sudah mengetahui isi putusan tingkat kasasi di Mahkamah Agung, mengenai yayasan mana yang dinyatakan sah memiliki aset yayasan tersebut, apakah YPKOT atau YBB.

“Seharusnya pembayaran tersebut melalui yayasan yang sah di mata hukum berdasarkan putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat (Inkrach). Sehingga proses pembangunan terminal Kijing berjalan lancar, karena merupakan proyek strategis nasional,” tegasnya.

Lalu mengenai besaran pembayaran yang dilakukan BPN Mempawah mengenai ganti rugi kata Fahrizal juga relatif, karena memang hasil apresial setiap makam berbeda-beda nominal besarannya.

“Sekarang terjadi polemik di lapangan apakah besaran pembayaran yang dilakukan itu telah sesuai dengan nilai yang wajar. Bagaimana jika tidak wajar, sehingga masyarakat dipaksa harus menerima berapa pun besaran yang dibayarkan BPN Mempawah,” ungkapnya.

Karena itu, pembayaran ganti rugi sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum yang dilakukan BPN Mempawah, dinilai Fahrizal tidak efektif bahkan akan menimbulkan permasalahan baru nantinya dan mencedrai pihak yang mencari keadilan melalui proses hukum di pengadilan.

“Karenanya kami dari YPKOT akan melakukan langkah hukum terkait proses yang terjadi atas pembayaran lahan makam secara sepihak tersebut. Apakah yang di lakukan BPN Mempawah terdapat ketimpangan hukum atas putusan pengadilan atau tidak,” tukasnya.

Proses kasasi di Mahkamah Agung  terkait persoalan makam Tiongjoa juga diaminkan oleh kuasa hukum YBB, Henok Lapu. Meski tak menjawab lebih jauh terkait pertanyaan Suara Pemred mengenai pembayaran ganti rugi yang dilakukan BPN Mempawah, namun Henok memastikan bahwa persoalan lahan tersebut memang masih pada tahap berproses di Mahakamah Agung.

"Saat ini (kasus) sedang dalam upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung," singkatnya.

BPN Bungkam

Mengenai polemik ini, Suara Pemred telah berupaya melakukan konfirmasi ke pihak BPN Mempawah, namun Kepala BPN Mempawah, Wendi Isnawan enggan berkomentar dengan alasan ia bersama jajaran sedang berada di Kota Singkawang.

Awal Kasus

Kasus ini berawal dari perebutan uang ganti rugi kompleks pemakaman Tionghoa di Desa Sanggau, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah. Dua yayasan pemakaman Tionghoa, YPKOT dan YBB berseteru dalam hak penerima ganti rugi areal makam oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II. 

Awalnya, pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah memformulasikan solusi ganti rugi yang harus dibayarkan PT Pelindo II. Di mana kedua yayasan menerima ganti rugi dengan luas lahan yang dimiliki masing-masing. Solusi itu ditolak YBB.  

Perlu diketahui, kompleks lahan makam Tionghoa tersebut terkena proyek pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing. Sun Foh (Apoh) yang mewakili YBB, menegaskan, menolak solusi ganti rugi pemerintah. Ia mengakui mengetahui nilai ganti rugi itu dari PT Pelindo. Lewat pesan whatapp, Apoh menunjukkan surat kuasa dari Ketua YBB, Lim Tji Kong kepada Suara Pemred.

Demi menegaskan hal tersebut, Apoh juga bertandang ke Redaksi Suara Pemred. Ia tegas menyatakan,tidak ada dua yayasan. Antara YPKOT dan YBB merupakan dua yayasan yang sama. 

Belakangan, apa yang disampaikan Apoh dibantah Ridho Fathant yang saat itu menjadi pengacara YPKOT. Menurut dia, YPKOT berdiri berdasarkan akta pendirian tahun 1975 yang didirikan oleh lima orang. Di antaranya Lo Liat Djung (almarhum), Ng Kueng Ueng alias Kong Ti (almarhum), Lin Tjhin Tong, Tju Sun Hie (almarhum), dan Tju Sun On (almarhum). Lalu, akta YPKOT tersebut telah diperbarui pada Desember 2018. 

“Lin Tjhin Tong menyerahkan yayasan kepada Ng Kueng Ueng (sebagai Ketua Pembina/saat itu masih hidup),” ujar Ridho. 

Sementara itu, Ridho menyebutkan YBB berdiri dengan alas hukum akta Yayasan tahun 2014.

Menurut Ridho, permasalahan ganti rugi telah dibahas bersama Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) dan diserahkan sepenuhnya sesuai aturan hukum. Pembahasan tersebut dipimpin langsung oleh Kajati Kalbar.

Menindaklanjuti itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan surat pada 7 Mei 2019, bernomor A1.02/61.02V/2019, perihal Revisi Validasi VI terhadap daftar nominatif 79, 165 dan 166 yang ditujukan kepada Direktur Utama PT Pelindo.

Dalam surat bersifat segera itu, BPN mengelompokan penerima ganti rugi dan besaran ganti rugi dengan sebutan daftar nominatif nomor. Untuk Ng Kueng Ueng alias Kong Ti/YPKOT dengan daftar nominatif nomor 79 dan luas lahan 22.547 meter persegi, nilai ganti rugi dalam bentuk uang Rp23.110.545.228.

Lim Tji Kong/YBB daftar nominatif nomor 165 luas lahan 1.856 meter persegi, nilai ganti rugi dalam bentuk uang Rp585.811.958. Ng Kueng Ueng alias Kong Ti/YPKOT daftar nominatif nomor 166, luas lahan 1.334 meter persegi, nilai ganti rugi dalam bentuk uang Rp429.620.185.

Di butir terakhir (butir ketiga) surat BPN itu, menyatakan; Bahwa terhadap perbaikan validasi tersebut, kami harapkan PT Pelindo II (Persero) agar segera segera dilaksanakan pembayaran.

Ridho mengakui dalam penyelesaian lahan pengganti ini dengan saran PT Pelindo dilakukan melalui pemerintah yaitu Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat dan tata ruang, dan telah dikeluarkannya SK Bupati Mempawah untuk menunjuk lokasi pemindahan kompleks makam ke Desa Pasir, Mempawah.

“Uang ganti rugi untuk membeli lahan,” imbuh Ridho.

Atas sengketa ini, ganti rugi lahan pun belum bisa dilaksanakan oleh PT Pelindo. Berjalannya kasus ini, pada 6 Mei 2019, Ng Kueng Ueng alias Kong Ti meninggal dunia pada usia 82 tahun. Rencana keluarga memakamkan Kong Ti di rumah peristirahatan terakhir di kompleks pemakaman Tionghoa, Desa Tg Sanggau, tak dapat dilakukan.

Hal ini disebabkan, pasca appraisal (penilaian) lahan yayasan untuk diganti rugi oleh PT Pelindo. Penghentian pemakaian lahan yayasan untuk pemakaman guna mempercepat proses pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing. 

Pihak keluarga akhirnya memakamkan Kong Ti (pendiri) di Desa Wajok, Kecamatan Siantan, Mempawah. Mereka harus beli lahan dan jauh terpisah dari mendiang keluarga besar. Kong Ti bukan satu-satunya warga Tionghoa, Sungai Kunyit yang tidak bisa dimakamkan di lahan kompleks pemakaman YPKOT. (ben/mar/dok)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda