Nasional post authorAju 01 Maret 2021

DIO: Mandau Dayak Sakral Setara Samurai Jepang

Photo of DIO: Mandau Dayak Sakral Setara Samurai Jepang

PONTIANAK,  SP - Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes,  M.Si, mengatakan, mandau, senjata perang, dihormati dan disakralkan setara dengan samurai bagi masyarat di Jepang.

"Mandau di dalam religi Dayak yang lahir dari Kebudayaan Suku Dayak dan samurai di dalam religi Sinto yang lahir dari kebudayaan Jepang, merupakan benda yang dihormati sehingga dalam tataran tertentu disakralkan. Dua-duanya adalah senjata tajam," kata Yulius Yohanes, Senin, 1 Maret 2021.

Menurut Yulius Yohanes, kalau masih ada sementara pihak melihat mandau tidak lebih dari sebuah hiasan semata, apalagi dituding sebagai simbol budaya kekerasan, semata-mata lantaran tidak memahami apa itu kebudayaan Dayak yang berkarakter religius.

Posisi Mandau yang dihormati sehingga disakralkan, sebetulnya sama halnya dengan senjata tajam lainnya bernama keris yang memiliki makna religi di dalam religi Jawa yang lahir dari Kebudayaan Suku Jawa di Pulau Jawa. Keris juga memiliki makna religi, sehingga dihormati dan disakralkan dalam religi Suku Jawa yang lahir dari Kebudayaan Jawa.

Dikatakan Yulius Yohanes, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat di Benua Asia, aplikasi religi di dalam Kebudayaan Jepang dan Kebudayaan Dayak, memiliki kesamaan irisan.

Kesamaan irisan, bisa dilihat dari istilah kami di dalam doktrin Agama Sinto yang lahir dari Kebudayaan Jepang. Kami artinya memiliki kekuatan lebih. Benda hidup atau benda mati yang menyatu dalam kehidupan manusia, maka memiliki kekuatan lebih, kami.

Wujud kami di dalam Agama Sinto, lanjut Yulius Yohanes, benda mati mempunyai kemampuan bicara. Itulah sebabnya, samurai di dalam Kebuayaan Jepang, paling dihormati dan disakralkan.

Setiap prajurit Jepang yang gugur di dalam peperangan di luar negeri, di samping jasadnya harus dikembalikan, maka samurai yang menyertainya harus pula dikembalikan ke Jepang.

Dikatakan Yulius Yohanes, mandau peninggalan Pejuang Kemerdekaan Provinsi Kalimantan Barat, Mayor Mohammad Alianjang yang bisa bersuara layaknya seorang manusia di Pontianak, membuktikan ada kesamaan irisan dalam Kebudayaan Jepang dan Kebudayaan Dayak.

“Mayor Mohammad Alianjang, sejak kecil beragama Islam. Semua anak-anaknya  penganut Agama Islam yang taat. Tapi semua anak-anaknya mengakui, memang dalam periode tertentu mandau peninggalan ayah mereka, selalu mengeluarkan suara, layaknya suara manusia di alam nyata,” kata Yulius Yohanes.

Karena dihormati dan disakralkan, maka pada setiap rumah warga Suku Dayak, selalu ada mandau. Mandau bagi orang Dayak, bukan hiasan semata, tapi diyakini dalam waktu tertentu, sebagai salah satu sarana berkomunikasi dengan arwah para leluhur yang bersemadi di bukit, gunung dan hutan belantara.

Setiap digelar religi Dayak, selalu ada mandau. Itulah sebabnya setiap digelar pesta syukuran selepas panen padi yang disebut Naiki Dango di Kalangan Suku Dayak Kanayatn di Provinsi Kalimantan Barat, Gawai sebagai syukuran selepas panen padi di tingkat Provinsi Kalimantan Barat, serta religi isen mulang di Provinsi Kalimantan Tengah, erau di Provinsi Kalimantan Timur, peserta warga Dayak, selalu membawa mandau terhunus di pinggang sebelah kiri.

Yulius Yohanes mengingatkan, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Federasi Malaysia, untuk tidak semata-mata melihat keberadaan mandau di kalangan Suku Dayak, dari sudut pandang hukum negara, sudut pandang agama samawi (Islam, Katolik dan Kristen) yang dari kebudayaan masyarakat di Timur Tengah.

Kalau dipaksakan dilihat dari sudut pandang hukum negara dan agama samawi yang lahir dari kebudayaan Timur Tengah, tidak akan menyelesaikan masalah, karena nanti bisa saja dituding praktik menyembah berhala dan simbol budaya kekerasan.

Padahal Thomas Aquinas (1225 – 1274) dengan teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Karena itu sejak abad ke-13, orang Dayak sudah diakui memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Yulius Yohanes menghimbau untuk melihat Kebudayaan Dayak dari dalam secara jujur dan bermartabat. Kalau masih ada orang Dayak melihat Kebudayaan Dayak semata-mata dari sudut pandang hukum negara dan agama samawi yang dianutnya yang lahir dari Kebudayaan Timur Tengah, maka di situlah terjadi penghancuran Kebudayaan Dayak.

“Karena kita tidak akan mungkin mampu menjelaskan, bagaimana kerusuhan rasial di Sampit, Kalimantan Tengah, 18 – 21 Februari 2021, kalau kita tidak bisa menyelami Kebudayaan Dayak berkarakter religius.”

“Bagaimana kita bisa menjelaskan, seorang Dayak bersenjata mandau, tiba-tiba kebal, tidak makan dan minum berhari-hari, tapi memiliki kekuatan di luar batas kewajaran, setelah dirasuki arwah para leluhur, setiap kali terjadi kerusuhan rasial di Pulau Borneo, jika kita tidak paham akan Kebudayaan Dayak,” ungkap Yulius Yohanes.

Diungkapkan Yulius Yohanes, sebagai bagian integral Kebudayaan Asia, Kebudayaan Dayak menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan dimaksud, membentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

“Faktor pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, lahir dari system religi Dayak, dengan sumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban,” kata Yulius Yohanes. *

Wartawan: Aju

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda