Nasional post authorAju 10 Juni 2021

Petrus Selestinus: Tepat Tjahjo Kumolo Dukung KPK Tidak Penuhi Panggilan Komnas HAM

Photo of Petrus Selestinus: Tepat Tjahjo Kumolo Dukung KPK Tidak Penuhi Panggilan Komnas HAM Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia, Tjahjo Kumolo.

JAKARTA, SP – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus, mengatakan, sudah tepat sekali sikap Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo.

Tjahjo Kumolo mendukung sikap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri bersama 4 komisioner lainnya, tidak memenuhi panggilan Komisi Nasional Hak Azasi Manusi (Komnas HAM) di Jakarta, Selasa, 8 Juni 2021.

Komplotan Novel Baswedan berjumlah 75 orang melapor ke Komnas HAM, karena tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) diselenggarakan Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Analisa Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, Dinas Intelijen dan Dinas Psikologi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, 18 Maret – 9 April 2021.

“Pernyataan Tjahjo Kumolo, Menteri Pendayagunaan Apartur Negara, yang mendukung sikap KPK tidak memenuhi panggilan Komnas HAM, terkait TWK dan Pemberhentian 75 Pegawai KPK, adalah pernyataan yang sangat beralasan hukum,” kata Petrus Selestinus di Jakarta, Kamis, 10 JUni 2021.

Permasalah TWK itu masuk dalam domain Eksekutif, dimana kewenangan itu berada pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, BKN-RI, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Kepala Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tentang: Aparatur Sipil Negara (ASN).

Koalisis Masyarakat Sipil Antokorupsi, ujar Petrus Selestinus, melihat permasalahan 75 Pegawai KPK yang diberhentikan hanya pada perspekstif HAM secara sepotong-sepotong, mereka tidak melihat permasalahan HAM sebagai Pembatasan HAM dan Larangan demi melindungi HAM orang lain.

Karena itu sikap “Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi" yang mendesak agar Presiden Indonesia, Joko Widodo, memanggil, meminta klarifikasi, dan mengevaluasi Tjahjo Kumolo, karena pernyataannya yang mendukung sikap Pimpinan KPK tidak memenuhi panggilan Komnas HAM, adalah sikap yang offside, tidak tahu soal dan politicking.

Dikatakan Petrus Selestinus, sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, sangat berkepentingan dengan persoalan TWK, karena nasib Bangsa Indonesia bergantung kepada pelaksanaan tugas 4 (empat) juta lebih ASN sebagai Abdi Negara, Pelayan Publik.

Karena itu dalam diri setiap ASN harus melekat Nilai Dasar, Kode Etik dan Kode Perilaku dan lain-lain yang nilainya jauh lebih tinggi, karena menyangkut kepentingan strategis nasional, yang berada di pundak Tjahjo Kumolo (Menpan, BKN, LAN, PPK, KASN), dan di pundak Pimpinan KPK, yang wajib dikedepankan, ketimbang nasib 75 Pegawai KPK Nonaktif. 

Jika persoalan tuntutan 75 Pegawai KPK nonaktif, agar tidak dirugikan akibat alih status kepegawaian KPK menjadi ASN, menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka masalahnya bisa saja persoalan tidak dirugikan itu hanya masalah materiil dan imateriil, maka silakan gugat ke Pengadilan/Pengadilan Industrial atau ke MK.

Saat ini 75 Pegawai KPK menuntut hak yang dirugikan dengan Uji Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 20219, tenang: KPK ke MK.

Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) didirikan dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.  Kemudian, terbit Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, tentang: Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, tentang: Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Dikatakan Petrus Selestinus, lakukan upaya ke Mahkamah Konstitusi atau Pengadilan Tata Usaha Negara, merupakan upaya hukum yang tepat, ketimbang ke Komnas HAM, dan menurut ketentuan pasal 91 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, tentang: Hak Asasi Manusia, pemeriksaan kasus 75 Pegawai KPK tidak perlu dilanjutkan dan dihentikan, karena beberapa alasan.

Pertama, materi pengaduan bukan pelanggaran HAM.

Kedua, terdapat upaya hukum yang lebih efektif.

Ketiga, sedang berlangsung upaya hukum yang tersedia yaitu gugatan ke MK.

Koalisi Masyarakat Antikorupsi, harus paham bahwa, HAM yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan undang-undang HAM itu bukanlah sebuah cek kosong yang boleh diisi siapa saja.

Karena sesungguhnya ketika seseorang menunut HAM, maka seketika itu juga ia berhadapan dengan Pembatasan HAM sebagaimana diatur dalam pasal 28J UUD 1945 dan pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, tentang: HAM dan perundang-undangan lainnya.

Pembatasan HAM itu, dirumuskan dalam kebijakan Negara berupa Norma, Standar, Kriteria dan Prosedure, sebagaimana diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan termasuk dalam undang-undang ASN dan lain-lain,  yaitu kalau mau jadi ASN harus TWK, karena menyangkut Nilai Dasar dan Kode Etik dan Kode Perilaku yang menjadi prinsip profesi ASN.

Karena itu Tjahjo Kumolo tidak dapat bahkan tidak boleh disalahkan. Tjahjo Kumolo sangat paham dan tahu soal, mana yang menjadi domain Pimpinan KPK, mana domain BKN, LAN, Kemenpan, KSN dan PPK dan mana yang masuk domain Komnas HAM.

Maka pernyataan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahwa Tjahjo Kumolo terkesan anggap enteng dan mengabaikan fakta bahwa TWK tidak sesuai peraturan perundang-undangan, adalah pernyataan asal bunyi.

“Bukankah Koalisi Masyarakat Anti Korupsi dan Komnas HAM yang bersikap membesarkan soal-soal sepele di luar kompetensinya?” tanya Petrus Selestinus.*

 

Wartawan: Aju

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda