Nasional post authorBob 10 Oktober 2020

Pengusaha Tak Mau Jokowi Terbitkan Perppu Cipta Kerja, Dinilai sebagai Kemunduran

Photo of Pengusaha Tak Mau Jokowi Terbitkan Perppu Cipta Kerja, Dinilai sebagai Kemunduran Pengusaha Tak Mau Jokowi Terbitkan Perppu Cipta Kerja*Dinilai sebagai Kemunduran

JAKARTA, SP - Pengusaha menilai tuntutan berbagai pihak agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk membatalkan UU Omnibus Law Ciptaker adalah sebuah kemunduran.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan, Bob Azzam, mengaku menyayangkan tuntutan tersebut. Pasalnya, Omnibus Law yang sudah lama digodok ini dinilai sebagai reformasi sistem bisnis dan investasi secara keseluruhan.

Ia menilai lewat UU Ciptaker, para buruh justru mendapat lebih banyak manfaat. Bob meminta buruh untuk melihat desain UU sebagai sebuah reformasi.

Sehingga, tak dapat dilihat poin per poin, melainkan tujuannya secara keseluruhan. Dia mencontohkan pemangkasan pesangon yang selama ini menjadi penolakan.

Menurutnya, meski pesangon dipangkas, namun pemerintah memberikan kompensasi jaminan sosial lewat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang tujuannya melindungi korban PHK.

Ia menyebut, sudah seharusnya buruh memiliki beberapa macam perlindungan, tak hanya dari pesangon saja.

"Jangan sampai lah (menerbitkan Perppu), sekali jalan masa terus mundur lagi? Tinggal yang kurang diperbaiki saja, kalau Perppu kan jalan mundur," katanya, Jumat (9/10).

"Harus dilihat secara keseluruhan dan sebagai sebuah transformasi, berubah dong masa perlindungan buruh pesangon aja," imbuhnya.

Lebih lanjut, ia meminta buruh untuk melihat manfaat Omnibus Law Ciptaker secara lebih luas, tak hanya mengatur soal ketenagakerjaan. UU juga disebutnya dapat mempermudah masuknya investasi sehingga akan lebih banyak penyerapan tenaga kerja.

"Omnibus Law kan bukan melulu soal tenaga kerja, tapi soal penyederhanaan perizinan. Masa di-Perppu-in, itu kan bagus bagi kita semua," tutur Bob.

Minta Tidak Egois

Sepaham, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan, Antonius J Supit, menyebut Perppu hanya dapat dikeluarkan jika terjadi kegentingan yang mendesak.

Dalam hal ini, Anton menyebut jika masih bisa dievaluasi atau dikaji baik lewat perundingan dengan pemerintah atau meminta judicial review dari Mahkamah Konstitusi (MK), maka tak dapat dikatakan mendesak hingga Perpu harus diterbitkan.

Ia meminta buruh untuk bersikap lebih bijaksana dalam tuntutannya.

"Apakah ini genting? Menurut saya, ini genting atau tidak melihat dari titik mana. Apakah upaya untuk mengevaluasi sudah tertutup peluang? Masih ada MK, kok kita sudah begitu, tidak mau mengkaji?" ucapnya.

Lebih lanjut, ia juga meminta buruh untuk menengok data yang terpapar di dalam UU soal tingginya kebutuhan pekerjaan yang hingga saat ini belum terpenuhi. Mengutip UU, disebutkan bahwa jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja masih cukup tinggi, yaitu sebesar 45,84 juta.

Rincinya, 7,05 juta pengangguran, 8,14 juta setengah penganggur, 28,41 juta pekerja paruh waktu, dan 2,24 juta angkatan kerja baru. Jumlah ini sebesar 34,3 persen dari total angkatan kerja.

Sementara penciptaan lapangan kerja masih berkisar sampai dengan 2,5 juta per tahunnya. Sedangkan, jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 70,49 juta orang atau 55,72 persen dari total penduduk yang bekerja.

Data ini cenderung menurun dengan penurunan terbanyak pada status berusaha dibantu buruh tidak tetap. Anton menilai, manfaat dari UU Ciptaker, salah satunya menyerap tenaga kerja, jauh lebih besar dari poin tertentu seperti pemangkasan pesangon yang selama ini dikeluhkan.

"Jangan egois lah, masih banyak saudara kita yang butuh kerja. Pesangon kita itu juga salah satu yang tertinggi di dunia, dipangkas juga masih tinggi itu," ujarnya.

Baik Bob mau pun Anton, menilai distorsi informasi dan pemahaman yang sepotong-potong menjadi pokok pemicu penolakan dari buruh. Oleh karena itu, mereka yakin jika kalangan buruh mau memahami Omnibus Law secara keseluruhan dan mengkaji bersama, maka akan dapat dicapai kesepakatan.

"Reformasi di Jerman saja butuh waktu 3 tahun kok, diundangkan, diperbaiki lagi sambil berjalan. Kalau kita tidak menjalani, lalu gimana tahu masalahnya?" tutup Bob. (cnn/lha)

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda