Nasional post authorAju 11 Mei 2021

Pembersihan KPK-RI, Komplotan Novel Baswedan Terpental

Photo of Pembersihan KPK-RI, Komplotan Novel Baswedan Terpental Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) di Jakarta.

JAKARTA, SP – Sebanyak 75 dari 1.351 karyawan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) yang tidak lulus Test Wawasan Kebangsaan (TWK), 18 Maret – 9 April 2021, berstatus non-aktif, terpental.

Surat Keputusan Ketua KPK-RI, Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri, Nomor 652 Tahun 2021, tanggal 7 Mei 2021, memerintahkan kepada pegawai yang tidak memenuhi syarat itu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.

Salinan Surat Keputusan Ketua KPK-RI ditandatangani Pelaksana Tugas Biro Sumber Daya Manusia, Yonathan Demme Tangdilintin.

Bagi karyawan dan penyidik KPK-RI yang lulus TWK, dilantik menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) bertepatan dengan Peringatan Hari Lahir Pancasila di Jakarta, Selasa, 1 Juni 2021.

Di antara 75 karyawan dan penyidik KPK-RI yang tidak lulus TWK, Novel Baswedan, Ambarita Damanik, Budi Agung Nugroho, Andre D. Nainggolan, Budi Sukmo, Rizka Anung Nata, dan Afief Julian Miftah. Ada pula satu Kasatgas penyelidik, yakni Iguh Sipurba.

Beberapa pejabat struktural KPK-RI masuk daftar nama tidak lolos TWK, Deputi Bidang Koordinasi Supervisi (Korsup) Hery Muryanto, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi, Giri Suprapdiono.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko, serta Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum Rasamala Aritonang, Pengurus Inti Wadah Pegawai (WP) KPK seperti Yudi Purnomo Harahap (ketua) dan Harun Al Rasyid (wakil ketua).

Data intelijen

TWK KPK-RI diselenggarakan Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia (BKN-RI), bersama Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Analisa Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS TNI), dan Dinas Psikologi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.

TWK bisa pula diasumsikan sebagai pembersihan besar-besaran di dalam, seiring semakin santernya berkembang di luar tentang berbagai dugaan pemerasan calon tersangka.

Ini dilihat dari dua penyidik KPK-RI ditangkap pengamanan internal, setelah menggadaikan emas sitaan 1,9 kilogram, dan satunya lagi terbukti menerima suap Rp1,4 miliar.

Apabila komplotan Novel Baswedan tidak segera dikeluarkan, dikhawatirkan KPK-RI terus-terusan menjadi alat politik, terutama saling jegal di alam menghadapi Pemilihan Umum Presiden tahun 2024.

Sementara kasus dugaan korupsi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Anies Baswedan, tentang Formula E Championship dan Dana Pendahuluan (DP) rumah nol persen, sama sekali tidak disentuh.

Kondisi yang dialami KPK-RI sekarang, membuktikan, bahwa sudah lama lembaga anti rasuah ini, disusupi banyak kepentingan, di samping ada kelompok Taliban bersemanyam di dalamnya.

Kemudian, penyidik dari Kelompok Polisi India, asumsi geng penyidik dari kalangan Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Peneliti Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, merupakan pihak pertama kali mengungkapkan kerusakan wawasan kebangsaan di lingkungan internal KPK-RI, dalam rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Selasa, 10 September 2019.

Saat itu, Komisi III DPR-RI, tengah menjaring 5 calon anggota KPK-RI periode 2019 – 2023, dimana sekarang dikomandani Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri, bersama Nawawi Pomolango (hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali), Lili Pintauli Siregar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Nurul Ghufron (Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember), Alexander Marwata (Komisioner KPK petahana sekaligus mantan Hakim Tindak Pidana Korupsi).

Konsolidasi dua tahun

Jika dilihat dari rentang waktu, Komisioner KPK-RI, periode 2019 – 2023, membutuhkan waktu konsolidasi selama dua tahun, untuk melakukan persiapan pembersihan komplotan Novel Baswedan yang selama ini menjadi duri dalam daging.

Berbagai data intelijen dikumpulkan, dan kemudian ketika wawancara tentang TWK, berbagai informasi yang berkembang, tapi dengan nada santun, dikonfirmasi tim pewawancara secara tidak langsung dengan pihak-pihak yang diwawancarai.

Kepada karyawan dan penyidik, kemudian ditanyakan konsekuensi menjadi Aparatur Sipil (ANS) dimana harus patuh kepada pimpinan, setia kepada pemerintahan yang sah, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tentang: ASN.

Ini sebagai tindaklanjut dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK-RI, dimana seluruh karyawan beralih status menjadi ASN, dengan berbagai konsekuensinya.

Tapi lagi-lagi, jawaban dari komplotan Novel Baswedan, selalu menunjukkan pihak luar sama sekali tidak tahu apa-apa.

Padahal data valid yang diperoleh tim cukup lengkap, karena sebelumnya sudah dikonfirmasi dengan para narapidana yang pernah ditangani penyidik KPK-RI, sehingga apapun jawaban pihak yang diwawancarai menjadi catatan penting.

Romli Atmasasmita, pakar hukum pidana, mengatakan, kasus dugaan suap Wali Kota Tanjungbalai dan dugaan yang sama di kasus Wali Kota Cimahi, justru terbuka kepada publik pada masa KPK-RI di era kepemimpinan Firli Bahuri.

“Seharusnya diapresiasi karena konsisten pada prinsip-prinsip dan asas-asas pimpinan KPK-RI dalam melaksanakan tugas dan wewenang secara independen antara lain transparansi, akuntabilitas, dan integritas,” kata Romli Atmasasmita.

Menurut Romli Atmasasmita, tugas pimpinan KPK-RI selain sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK-RI, maka  KPK-RI bertanggung jawab atas loyalitas dan tanggung jawab anggota pimpinan pegawai kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945.

Penyesatan kosa kata independen

Hal ini merupakan konsekuensi dari Aparatur Sipil Negara sesuai Undang-Undang Nomor  5 Tahun 2014, tentang: Aparatur Sipil Negara, suka atau tidak suka.

Romli Atmasasmita, mengatakan, penyesatan kosa kata independen dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK-RI, bukan dalam arti seluruh pegawai, tetapi untuk pimpinan dan penyidik dan penuntut dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

“Tidak ada suatu lembaga negara independen 'terpisah' dan berdiri sendiri bebas dari sistem pemerintahan dan kelembagaan negara,” kata Romli Atmasasmita.

“Asumsi bahwa perubahan status pegawai KPK-RI menjadi ASN, menjadi tidak independen adalah pendapat yang keliru dan menyesatkan,” ungkap Romli Atmasasmita.

Kasus-kasus korupsi besar semasa Firli Bahuri yang libatkan dua menteri dalam tempo dua minggu merupakan bukti nyata tidak benarnya pandangan tersebut yang semasa kepimpinan KPK-RI terdahulu tidak terjadi.

Halusinasi belaka

Dalam konteks ini, ujar Romli Atmasasmita, anggapan status ASN pegawai KPK-RI menjadi tidak independen, hanya sebatas halusinasi semata.

Dikatakan Romli Atmasasmita, menatap KPK-RI ke depan seharusnya kita termasuk para Guru Besar Ilmu Hukum membaca kembali perubahan-perubahan strategis tugas dan wewenang KPK-RI yang dicantumkan dalam Pasal 6 dan seterusnya dengan cermat yang harus dilihat secara hierarkis, dimana tugas penyidikan dan penuntutan KPK-RI ditempatkan pada nomot urut kelima.

Tugas KPK-RI dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, harus menjalankan prinsip 'proporsionalitas' dan 'balanced probability principle' dalam menjalankan strategi pencegahan dan penindakan.

“Dengan putusan Mahkamah Konstitusi, terbaru, Selasa, 4 Mei 2021,  dimana ditiadakan ketentuan kewajiban meminta izin Dewan Pengawas (Dewas) dalam hal penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, maka KPK-RI kembali kepada posisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang: KPK-RI, sehingga menjadi tidak beralasan bahwa KPK-RI, tidak independen,” ungkap Romli Atmasasmita.

Kolumnis dan analis politik, Anton DH Nugrahantara, mengatakan, pemerasan terhadap berbagai pihak yang terlibat tindak pidana korupsi ditangani KPK-RI, patut diduga melibatkan elemen penyidik Novel Baswedan.

Aksi pemerasan oknum KPK-RI terhadap target tersangka, Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang direkayasa dan dipaksa menjadi OTT bahkan ada informasi ‘konsorsium perlindungan hukum’ yang melibatkan seluruh elemen penyidik Gang Novel, yang meminta imbalan bagi mereka yang berperkara hukum.

Jual-beli kasus di KPK-RI

Menurut Anton, perdagangan hukum sudah menjadi biasa, akibat kerusakan sistem integritas KPK-RI setelah berbagai proyek politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014, dilakukan.

Trasaksi jual beli kasus diduga banyak terjadi di KPK-RI, hitungan oknum KPK-RI dalam transaksi gelap kasus, bukan lagi rupiah, tapi “jutaan dollar” hal ini harus diungkap tim penyelidik kepolisian dan kejaksaan.

“Contoh nyata dari bekerjanya Konsorsium Hukum ini adalah lolosnya Azis Syamsudin, Wakil Ketua DPR-RI, berdasarkan keterangan saksi di bawah sumpah di pengadilan, menerima dana Rp80 miliar dalam kasus Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung, tetapi tidak ada tindak lanjut,” kata Anton.

Anton mengatakan, “Setelah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dicopot dari jabatan komisioner KPK-RI, justru peran KPK-RI tidak lagi berpusat di tangan para komisionernya, namun berada di tangan para penyidik level menengah utamanya Novel Baswedan.”

“Komisioner seperti Agus Rahardjo, 2016 – 2019, sangat terlihat tunduk pada Novel Baswedan dan faksi-nya di KPK-RI,” ujar Anton. 

Sementara itu pembelahan politik di Indonesia sangat besar antara kubu Joko Widodo dan kubu anti Presiden Joko Widodo. Setelah Prabowo Subianto, dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), masuk ke dalam kabinet Joko Widodo, maka posisi kubu anti Joko Widodo digerakkan oleh Anies Baswedan yang digadang-gadang menjadi Calon Presiden Republik Indonesia pada tahun 2024.

Menurut Anton, di balik Anies Baswedan ada Jusuf Kalla (Wakil Presiden Indonesia, 2004 – 2009 dan 2014 – 2019) yang memang sejak Pemilihan Kepala Daerah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 2017 menjadi sponsor utama Anies Baswedan.

Anies Baswedan sepupu Novel

Anton mengatakan, hubungan antara Anies Baswedan dan Novel Baswedan sangat dekat karena mereka saudara sepupu.

Ditambah masuknya Chandra Hamzah, Bambang S Widjojanto dan Adnan Pandu Praja, jadi juru bicara kampanye Anies Baswedan – Sandi Salahuduin Uno, membuktikan mereka tidak bersih dalam permainan politik karena pengaruh para mantan komisioner KPK-RI di internal KPK-RI, sangat kuat.

“Jadi sangat sulit menghindarkan kesan bahwa Novel Baswedan tidak terkait dengan kepentingan Anies Baswedan, Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, di mana Jusuf Kalla di baliknya,” kata Anton.

Apalagi ada pembiaran kasus oleh KPK-RI terhadap Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yaitu keterlibatan Menteri Perdagangan periode kabinet Joko Widodo pertama Enggartiasto Lukito dan juga kasus impor buah kementerian pertanian yang menteri-nya dari Nasdem dan melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari fraksi Nasdem.

“Hal itu terjadi,” kata Anton, “Karena Nasdem mendekat ke Anies Baswedan. Kesan permainan politik dan ikut campurnya kepentingan politik sangat kentara.” 

Dengan melihat kasus-kasus yang diduga melibatkan banyak kepentingan di luar KPK-RI menjadikan KPK-RI tidak steril dari pengaruh kepentingan politik.

Untuk itulah Presiden Joko Widodo melakukan undang-undang revisi KPK-RI supaya KPK-RI kembali ke khittah-nya, melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2021.

KPK-RI dibentuk masa pemerintahan Megawati di tahun 2002. Lembaga ini berbentuk ad hoc yang artinya didirikan untuk satu tujuan dan dalam waktu tertentu saja. Saat itu lembaga kepolisian dan kejaksaan dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah korupsi bahkan di tubuh mereka sendiri.

Awalnya KPK-RI bertugas sangat baik, cepat dan mampu membongkar kasus kasus besar korupsi lalu mendapatkan apresiasi masyarakat luas. Namun belakangan banyak sekali kepentingan-kepentingan politik yang mengintervensi keadaan di dalam KPK-RI ditambah drama-drama yang ditambahkan dalam proses penangkapan.

Sehingga apa yang dilakukan KPK-RI lebih pada “Drama Korea” ketimbang upaya menyeluruh membereskan kasus korupsi.

Di masa Megawati KPK-RI bekerja secara konsisten namun setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi Presiden (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2024), barulah campur tangan politik bermain saling berkelindan di internal KPK-RI. 

Kriminalisasi Antasari Azhar

Masuknya kekuasaan secara jelas dalam KPK-RI sebenarnya sudah mulai dari kasus Cicak-Buaya tahun 2009 yang diikuti rekayasa kriminalisasi Antasari Azhar oleh rezim SBY.

Adanya tuduhan dari pengacara OC Kaligis bahwa ada aliran dana masuk kepada komisioner KPK-RI, salah satunya Chandra Hamzah dalam kasus Masaro.

Testimoni dari Antasari Azhar juga menyebutkan bahwa adanya oknum KPK-RI yang menerima aliran dana Masaro, namun kasus ini di-deponering oleh kejaksaan diduga deponering ini ada kesan bau tawar menawar antara rezim SBY dengan KPK-RI untuk menjatuhkan Antasari. 

Di sisi lain Antasari Azhar menyeret besan SBY yang bernama Aulia Pohan dalam kasus dana korupsi Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 milyar.

Antasari kemudian dijebak dalam pusaran kasus yang melibatkan caddy golf dan adanya penembakan kepada Nasrudin Zulkarnaen yang membawa Antasari ke penjara dan menjatuhkan Antasari dari jabatannya sebagai Ketua KPK-RI.

Sebelum dijatuhkan Antasari sedang menangani kasus korupsi Informasi Teknologi Komisi Pemilihan Umum (IT KPU) Pemilu 2009 yang menurut Antasari salah satu putera SBY bernama Eddy Baskhoro (Ibas) terlibat dalam kasus ini dan bila ini terbongkar maka kejahatan dan kecurangan Pemilu 2009 akan muncul ke permukaan publik untuk itulah Antasari harus dihabisi.  

Ironisnya digulungnya Antasari diduga melibatkan Bambang S Widjojanto dan Abraham Samad yang kemudian duduk dalam komisioner baru KPK-RI.

Bambang Widjojanto dan SBY

Hubungan dekat antara Bambang S Widjojanto dengan SBY terkuak setelah kasus rebutan Demokrat muncul di mana Bambang Widjojanto menjadi pengacara Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Masa kepemimpinan Abraham Samad dibuka dengan kasus Anas Urbaningrum banyak orang menduga kasus Anas adalah pesanan SBY untuk menjegal Anas menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.

Bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Anas Urbaningrum, diduga adanya indikasi permainan antara SBY dengan komisioner KPK-RI. Abraham Samad dan Bambang Widjojanto juga diduga melindungi Ibas dalam kasus Nazarudin dan menyebutnya sebagai “teman” di depan saksi kunci Yulianis. 

Jelang Pemilu 2014, Abraham Samad mulai cari muka dengan kubu Joko Widodo melakukan tawar menawar politik dengan petinggi Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) untuk menjadi Calon Wakil Presiden Republik Indonesia, namun hal ini kemudian di depan publik tidak diakuinya, sungguh ironis ketika sedang menjabat Ketua KPK-RI, justru mengincar jabatan Wakil Presiden (Wapres).

Ancaman Abraham Samad

Setelah dirinya gagal menjadi Calon Wakil Presiden, dan kabinet Joko Widodo, terbentuk, Abraham Samad, Ketua KPK-RI, sempat-sempatnya mengancam di sela-sela seminar nasio di Auditorium Universitas Negeri Solo di Solo, 14 Agustus 2014, “Kalau Abraham jadi Menteri, nanti siapa yang menangkap Menteri dan Presiden?”

“Sebenarnya ini pesan terselubung bahwa Presiden bisa ditangkap KPK-RI lewat rekayasa kasus.” 

Lalu muncullah kasus Calon Kepala Polisi Republik Indonesia, Budi Gunawan (BG) yang digagalkan oleh Abraham Samad dan Bambang S Widjojanto untuk jadi Kapolri, sprindik sengaja dibocorkan dan muncul di majalah TEMPO, lalu publik heboh.

DPR-RI membatalkan persetujuan BG menjadi Kapolri dan meminta Presiden mengajukan nama baru. Rekayasa kasus BG ini juga kental aroma berbau politik yang melibatkan banyak kepentingan.

Tapi ada satu kecurigaan ini dikarenakan dendam Abraham Samad tidak dipilih menjadi Calon Wakil Presiden Joko Widodo, hal ini dibaca oleh Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang menyatakan Abraham Samad menemui dirinya untuk menawarkan dirinya sebagai Calon Presiden dari Joko Widodo.

Hal ini dibantah, namun Hasto Kristiyanto mengungkapkan fakta bahwa Abraham Samad benar-benar menemui dirinya dan petinggi PDIP lainnya dan ‘menjual’ jabatan ketua KPK-RI demi menjadi Calon Presiden dari Joko Widodo, Hasto Kristiyanto, bersumpah dia berdiri di atas kebenaran dan mengungkap aksi jual beli KPK-RI untuk kekuasaan.

“Kasus Abraham Samad adalah pelanggaran etik berat dan bisa jadi masuk ke dalam ranah pidana. Namun entah kenapa, kasus ini tidak dilanjutkan,” ujar Anton.

Menurut Anton, pengungkapan Hasto Kristiyanto terhadap Abraham Samad menjadi awal terbongkarnya banyak permainan-permainan di dalam KPK-RI, sampai sekarang. *

 

Sumber: tempo.co/pepnews.com/jawapos.com/antaranews.com

 

 

Redaktur: Aju

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda