JAKARTA, SP - Peraturan Pemerintah (PP) No.28 tahun 2024 tentang Kesehatan yang diturunkan ke dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, terutama pada pasal-pasal terkait Industri Hasil Tembakau, jelas tidak memihak kepada rakyat; petani, industri kecil, pedagang kecil, dan para pekerja di pabrik rokok yang jumlahnya mencapai jutaan orang di seluruh Indonesia. Padahal, saat ini kondisi ekonomi tidak sedang baik-baik saja, banyak pemutusan hubungan kerja atau PHK dan banyak industri yang tutup.
"Rokok kretek itu merupakan identitas nasional. Kalau tidak memiliki keperpihakan di tengah industrialisasi dan sulitnya lapangan kerja, banyak orang ramai-ramai mencari suaka, nasionalisasi, lalu negara mau ngapain? Jadi, industri ini jamgan asal melarang. Dan, tembakau ini paket komplit; ada petani, ekosistem, industri, pedagang kecil dan lain-lain. Kita bayar pajak besar dan rokok memberikan kontribusi Rp213 triliun untuk APBN, maka dalam membuat kebijakan itu harus berpihak pada pertumbuhan ekonomi rakyat," tegas Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya.
Hal itu disampaikan politisi NasDem itu pada acara
diskusi Forum Legislasi “Menilik Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau” bersama Yahya Zaini Anggota Komisi IX DPR RI (Fraksi Golkar), Nurhadi Anggota Komisi IX DPR RI (Fraksi NasDem), Abidin Fikri Anggota Komisi IX DPR RI (Fraksi PDIP), Sudarto AS Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (SPSI), dan Fabianus Bernadi (Ketua Umum Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Rabu (18/9/2024).
Nurhadi menilai RPMK Kemenkes itu off side, keluar dari keperpihakan pada rakyat dan tumpang tindih antara kesehatan dan ekonomi (over laping). Ada beberapa aturan yang seharusnya bukan wewenang Menkes tapi diatur Menkes Seperti design kemeasan rokok, mekanisme jarak penjualan rokok dari pusat pendidikan dan lain-lain. "RPMK itu justru bikin gaduh. Kediri sebagai kotanya rokok PT Gudang Garam dan merupakan kota yang paling bahagia di Indonesia, akan kena imbas RPMK ini dan jutaan rakyat akan menjadi korban," ungkapnya.
Yahya Zaini mengungkapkan hal.yang sama kalau RPMK itu diterapkan, maka yang akan menjadi korban bukan industri besar, tapi industri hasil tembakau (IHT) yang kecil. Seperti petani, pedagang asongan, warung kecil pinggir jalan, buruh pabrik dan lain-lain. Sememtara rokok telah memberikan kontribusi besar untuk APBN Rp213 triliun, itu jauh lebih besar dari BUMN.
Yahya mengaku sudah memperjuangkan petani tembakau ini selama 10 tahun, dan ia menyayangkan PP 28 itu tidak ada perlawanan dari industri rokok besar. "Padahal dampaknya sangat besar bagi rakyat. Untuk meminimalisir dampak itu dan sebelum RPMK diterapkan asosiasi petani tembakau harus membangun opini agar tidak dikuasai kelompok yang anti tembakau, lobi politik tingkat tinggi bersama pemilik industri rokok besar, dan menggugat ke Mahkamah Agung (MA)," jelad Yahya.
Sememtara itu Abidin menggambarkan Bung Karno yang banyak berfoto dengan pimpinan dunia sambil merokok. Itu wujud bahwa Bung Karno berpihak pada petani tembakau. Komisi IX DPR sendiri sejak dulu satu barisan dan kompak membela petani tembakau dan buruh. Tapi, PP 28 ini justru bikin kegaduhan baru. Meski merupakan kewenangan Menkes RI, harusnya dikomunikasikan dengan DPR RI karena menyangkut hajat hidup rakyat.
"Juga tidak fair. Cukainya diambil dan naik terus setiap tahun, tapi tidak memberi tempat bagi pertumbuhan ekonomi rakyat kecil. Buktinya asosiasi petani tembakau, padagang kecil, industri kecil tidak diajak membahas RPMK itu. Yang diajak malah pemilik industri rokok besar, berarti ada sesuatu yang disembunyikan. Apalagi ditarget selesai sebelum 30 September 2024," jelas Abidin.
Sudarto AS mengancam akan melakukan mogok kerja nasional dan atau menggugat ke MA, jika RPMK itu diterapkan. Menurutnya PP 28 itu dibahas secara ugal-ugalan, yang justru membahayakan petani tembakau dari hulu ke hilir. Padahal, rokok merupakan identitas kedaulatan Indonesia dan legal, yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. "Menumbuhkan ekonomi rakyat, sehingga isu mengganggu kesehatan itu terlalu didramatisir," tambahnya.
Fabianus menilai PP 28 mengakibatkan penghasilan iklan di luar griya menurun drastis. Perusahaan yang terdampak mencapai 86% dan penghasilan berkurang 50 sampai 100%. "Jadi, dampaknya sangat besar, sehingga mengakibatkan terjadinya pemgangguran," jelasnya.(nif)