Nasional post authorAju 22 Juni 2021

Dr Haidar Alwi: Anies Baswedan Picu Keributan Politik di Pemilu Presiden 2024

Photo of Dr Haidar Alwi: Anies Baswedan Picu Keributan Politik di Pemilu Presiden 2024 Joko Widodo, Presiden Indonesia (20 Oktober 2014 - 20 Oktober 2024).

JAKARTA, SP – Direktur Eksekutif Haida Alwi Institute (HAI), Dr R Haidar Alwi, mengatakan, Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Anies Baswedan, akan menjadi pemicu keributan politik di dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden tahun 2024.

“Karena Aniews Baswedan, akan didukung kalangan sumbu pendek, dengan meniupkan isu suku, agama, ras dan antar golongan, sebagai suasana hiruk-pikuk pada Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tahun 2017,” ujar Haidar Alwi di Jakarta, Selasa, 22 Juni 2021.

Anies Baswedan, akan mengulangi teknik busuk ketika mengalahkan petahana Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017, pada Pemilu Presiden tahun 2024.

Diungkapkan Haidar Alwi, salah satu paling sederhana namun efektif untuk mencegah polarisasi ekstrem pada Pemilu Presiden 2024 mendatang adalah dengan tidak mengusung Anies Baswedan dan figur lain yang sejenis.

Akan tetapi hal itu tidaklah mudah, karena popularitas dan elektabilitas Anies Baswedan yang tinggi menjadi daya tarik yang sulit diabaikan oleh partai politik.

Kecuali, partai politik mampu menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan kelompoknya.

Konon, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Nasdem dikabarkan telah menunjukkan ketertarikannya untuk mengusung Anies sebagai Calon Presiden (Capres) di 2024.

"Asalkan partai politik kompak tidak mengusung Anies atau figur lain yang sejenis, maka polarisasi ekstrem seperti yang terjadi pada Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Jakarta tahun 2017 dan Pemilu Presiden 2019 tidak akan terulang di 2024 nanti,” kata Haidar Alwi.

Karena saat ini Anies Baswedan merupakan satu-satunya bakal Capres terkuat yang berpotensi besar ditunggangi kelompok ekstrem radikal yang mengatasnamakan agama.

Mereka menilai Anies Baswedan adalah sosok yang paling merepresentasikan kelompoknya.

“Jika Prabowo Subianto, saja yang nasionalismenya luar biasa bisa disusupi di 2019, apalagi Anies Baswedan. Bisa-bisa polarisasi di tahun 2024 nanti jauh lebih ekstrem dari sebelumnya," ujar Haidar Alwi.

Solusi ini dilontarkannya dalam rangka menanggapi ide Seknas Jokpro yang berniat menyandingkan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto untuk mencegah polarisasi ekstrem pada Pemilu Presiden 2024.

Terlepas dari apa motif sebenarnya dan siapa yang ada di belakangnya, keinginan mencalonkan kembali Joko Widodo sebagai Presiden di 2024 membutuhkan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Sebab, konstitusi yang berlaku saat ini membatasi jabatan presiden maksimal hanya dua periode. Selain itu, memperpanjang masa atau periodisasi jabatan presiden dikhawatirkan menyeret Indonesia ke masa lalu seperti pada zaman orde baru yang hanya menguntungkan lingkaran oligarki.

Meskipun peluang amandemen UUD 1945 terbuka lebar karena koalisi pemerintah sangat kuat, ide menyatukan Joko Widodo dan Prabowo tidak akan efektif untuk mencegah polarisasi ekstrem di Pemilu Presiden 2024.

Sejak bergabungnya Prabowo ke dalam pemerintahan, ide tersebut sebenarnya sudah tidak relevan lagi. 

"Karena yang berbahaya itu sesungguhnya bukan pendukung murni Prabowo Subianto, tapi kelompok radikal yang menungganginya,” ungkap Haidar Alwi.

Jadi, memasangkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto, tidak akan efektif kalau kelompok tersebut memiliki alternatif lain seperti Anies Baswedan atau figur lain sejenis yang dianggap merepresentasikan mereka.

Begitupula dengan ide memunculkan lebih dari dua Pasangan Calon (Paslon) yang memungkinkan Pemilu Presiden digelar dua putaran.

Jika salah satu Paslon tidak mampu menang 50 persen dengan sedikitnya 20 persen suara setidaknya di separoh jumlah provinsi yang ada, ujung-ujungnya akan ada dua Paslon teratas yang berlaga di putaran ke-dua.

"Pemilu Presiden dua putaran ini biayanya mahal, kestabilan politik dalam negeri juga menjadi terganggu. Jadi, ini juga bukan solusi efektif untuk mencegah polarisasi ekstrem di Pemilu Presiden berikutnya,” kata Haidar Alwi.

Karena masalah utamanya bukan berapa jumlah pasangan calon tapi lebih kepada siapa calonnya. Kalau di antaranya ada figur yang merepresentasikan kelompok radikal, percuma saja ada tiga atau lima calon misalnya.

“Tetap saja bisa ditunggangi, apalagi kalau sampai jadi Presiden. Bisa hancur bangsa kita ini. Mau seperti di Timur Tengah? Naudzubillahi Minzalik," kata Haidar Alwi.*

 

Wartawan: Aju

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda