Nasional post authorAju 23 Juni 2021

Vaksinasi Nasional Menguras Keuangan Negara, Utang Luar Negeri Masih Terkendali

Photo of Vaksinasi Nasional Menguras Keuangan Negara, Utang Luar Negeri Masih Terkendali Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Indonesia

JAKARTA, SP – Pegiat media sosial, pelaku bisnis dan pengamat politik, Erizely Bandaro, mengatakan, kebijakan vaksinasional secara gratis di dalam menghentikan pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19), tentu akan menguras keuangan negara.

“Karena itu, Indonesia membutuhkan pinjaman luar negeri. Tapi rasionya masih terkendali,” kata Erizely Bandaro, Rabu, 23 Juni 2021.

Erizely Bandaro mengatakan, cara kerja Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, sangat jenius. Mengapa? Tidak ada yang tahu pasti kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.

Sri Mulyani tahu bahwa di saat pandemi, suku bunga pasti akan naik, karena tingkat resiko juga tinggi. Likuiditas juga rendah. Bayangkan kalau tapering the Fed benar terjadi, akan semakin sulit dapatkan dana dan bunga akan jauh lebih tinggi.

Makanya sejak tahu 2020 Menteri Keuangan berusaha menarik pinjaman di atas defisit. Salah? Tidak. Itu dasar hukumnya jelas yaitu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, tentang: Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease-19.

“Total pinjaman tahun 2020 adalah sebesar Rp1.225,9 triliun, sementara defisit  Rp947,70 triliun. Jadi kita ada kelebihan dana sebagai sikap jaga-jaga,” kata Erizely Bandaro.

Sementara pembiayaan valas lebih diarahkan kepada sumber dana multilateral, seperti World Bank. Maklum vaksin dan alat kesehatan masih impor.

Jauh lebih baik hutang dengan Bank Dunia,  berbunga murah dan lunak daripada menguras cadangan devisa. Penggunannya sesuai amanah Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yaitu program vaksinasi gratis untuk menjangkau seluruh penduduk dewasa Indonesia.

Pembiayaan ini untuk membantu sistem kesehatan Indonesia menjadi lebih tangguh, termasuk surveilans genomik untuk varian baru.

“Tapi kita lihat. Indikator rasio utang terhdap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita jatuh semua dan bahkan mengkawatirkan sekali,” ungkap Erizely Bandaro. 

Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperingatkan, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara, yang dikhawatirkan Pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.

Dikatakan Erizely Bandaro, di tengah situasi pandemi ini tidak bisa menjadikan referensi International Monetery Fund (IMF) dan atau International Debt Relief (IDR) sebagai indikator layak atau tidak layak.

World Bank International Debt Statistics (2021) menyebutkan kira kira 70% negara-negara berpenghasilan menengah ke atas (tidak termasuk Indonesia, yang masuk menengah bawah).

“Menarik hutang untuk bayar utang. Artinya mereka sudah tidak mampu bayar utang dari pendapatan negara.  Semua indikator seperti rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan, rasio utang terhadap penerimaan. Semua sudah terlewati jauh dari ambang batas IMF. Itu sudah  terjadi sebelum ada pandemi. Dan mereka baik baik saja.”

Dikatakan Erizely Bandaro, utang itu diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Selagi produksi terus terjadi dan konsumsi domestik terjaga dengan baik, daya tahan ekonomi tetap terjaga aman.

Nanti setelah proses recovery dimulai, masalah utang itu akan tercover oleh pertumbuhan ekonomi. Saat sekarang, tidak ada negara yang benar-benar tumbuh ekonominya selain China dan Vietnam. Sabar saja sampai pandemi berlalu.

Pertanyaan kemudian, ujar Erizely Bandaro, mengapa tidak lakukan penjadwalan utang.  Bukankah World bank ada program penjadwalan hutang atau pilih opsi debt SWAP (transaksi pertukaran dua valas melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka, atau penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka).

Walau penjadwalan hutang itu adalah fasilitas World Bank, namun tetap saja tidak populer. Mengapa? karena negara yang masuk katagori boleh ikut program pejadwalan adalah negara yang dianggap gagal.

Artinya kalaupun dapat penjadwalan pastilah ada program penyesuaian. Dan itu jelas sangat politik. Itu sama saja  menyerahkan kedaulatan negara kepada kreditur. Tidak sehat. Sama seperti dulu 1998 ketika kita di bawah pengawasan IMF. 

“Mengenai debt to SWAP, juga tidak mudah. Karena butuh audit lingkungan yang rumit dan lama. Selama proses itu kita jadi bulan-bulanan lembaga swadaya masyarakat sebagai negara lemah dan tidak becus. Tidaklah. Indonesia sangat jauh untuk dianggap negara lemah sehingga perlu debt to SWAP,” kata Erizely Bandaro.

Diungkapkan Erizely Bandaro, paling tahu kondisi utang itu mengkawatirkan atau tidak, ya kreditur.

“Mana ada kreditur bego. Nah, menurut Standard and Poor's (S&P), Sovereign Credit Rating Indonesia pada investment grade atau BBB. Selain itu, Lembaga pemeringkat global asal Jepang, Rating and Investment Information, Inc. (R&I) juga mempertahankan peringkat Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB+/outlook stabil (Investment Grade) pada 22 April 2021,” ungkap Erizely Bandaro. 

Itu artinya, lanjut Erizely Bandaro, negara masih punya magnit besar menarik sumber daya keuangan. Karenanya proses menuju recovery selama pandemi bisa terus berlangsung sampai kita bisa melwati batas resesi untuk bangkit lagi. Tentu dengan syarat utama adalah utang harus dikelola dengan baik. Ya, patokannya undang-undang.

Erizely Bandaro, tidak melihat Pemerintah Indonesia melanggar Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Rasio utang Indonesia masih di kisaran 44% dari Product Domestik Bruto (PDB). Itu di bawah pagu rasio utang berdasarkan undang-undang Keuangan Negara yaitu 60%.

“Kalau dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih lebih baik. Debt rasio Singapura di 150%, Malaysia 62%, Filipina 54%. Apalagi dibandingkan dengan Amerika Serikat 78%, Jepang 256%. Indonesia akan baik-baik saja,” ungkap Erizely Bandaro.

Sumber: fb erizely bandaro

 

Redaktur: Aju

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda