Nasional post authorPatrick Sorongan 29 Januari 2023

Kuli Tiongkok Digaji Puluhan Juta di Indonesia: Bertaruh Nyawa ketimbang Kelaparan di China!

Photo of Kuli Tiongkok Digaji Puluhan Juta di Indonesia: Bertaruh Nyawa ketimbang Kelaparan di China! Ilustrasi pekerja asing (foto: Ist)

Konflik fantara pekerja Indonesia dan China di kompleks PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, menewaskan dua pekerja Indonesia, Sabtu, 14 Januari 2023, harus  menjadi pelajaran kepada pemerintah.

Di sebuah perusahaan tambang China di Morowali, misalnya, seorang pekerja kontruksi alias 'kuli', digaji senilai 10.000 yuan,  atau Rp  Rp 22.072.705,61.  Karena itu, keberpihakan pemerintah kepada pekerja dari bangsa sendiri, harus segera dilakukan. Serbuan pekerja China,  telah menimbulkan kesenjangan yang sangat jauh antara pekerja China dan pekerja anak bangsa termasuk di bidang marginal, sebagaimana laporan Patrick Sorongan dari Suara Pemred berikut ini.

 

KENYATAAN ini juga menimbulkan kecembruan di kalangan pekerja Indonesia. Apalagi, keberadaan perusahaan-perusahaan pertambangan  di Indonesia, yang didominasi investasi dari China, disebut-disebut  tak lepas pula dari klausul dari Pemerintah Tiongkok kepada Pemerintah Indonesia, agar warga negaranya diikutsertakan sebagai pekerja sekalipun di bidang marginal sekalipun.

Ledakan jumlah pengangguran di China, yang kian bertambah jumlahnya selama massa pandemi, membuat tak sedikit warga negaranya kelabakan, walaupun China mulai menjadi negara ekonomi terkuat di dunia.

Tingkat Pengangguran di Tiongkok dilaporkan sebesar 5,50  persen dari total populasinya yang sekitar 1,4 miliar jiwa pada 2022.

Data tingkat pengangguran di Tiongkok diperbarui secara triwulanan, dengan rata-rata 5.12  persen pada 2017-2022-09, dengan 23 observasi.

Data ini mencapai angka tertinggi sebesar 5.90 persen pada 2020-03 dan rekor terendah sebesar 4.80 persen pada 2018.

Data Tingkat Pengangguran Tiongkok tetap berstatus aktif di CEIC dan dilaporkan oleh CEIC Data. Data ini dikategorikan dalam Global Economic Monitor World Trend Plus.

Sementara di Tanah Air, dilansir dari Data Indonesia, Agustus 2021, jumlah pengangguran sebanyak 9,1 juta orang, dari total 270,2 juta jiwa penduduk.

Jika dibandingkan dengan total angkatan kerja yang sebanyak 143,72 juta orang, maka tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia terpantau sebesar 5,86 persen pada Agustus 2022.

Di Tiongkok sendiri, masih merajalelanya Covid-19 sejak awal 2020, telah menimbulkan ledakan jumlah pengangguran, yang membuat pemerintahnya pun kelabakan,  

Perusahaan-perusahan tambang di Indonesia sendiri-yang didominasi investasi Tiongkok- menjadi idola untuk lapangan kerja bagi bagi kalangan pekerja kelas marginal China,

Bagi Pemerintah Tiongkok, 'serbuan' warganya untuk bekerja di Indonesia, sekalipun menjadi pekerja kasar, merupakan solusi di bidang ketenagakerjaan. Sementara di Indonesia, pemerintah menyambutnya dengan berbagai 'kebijakan', alih-alih untuk kian meningkatkan perekonomian negara.

Banyak Korban Sindikat Perdagangan Manusia

Kongkalingkong antara agen tenaga kerja di China dan Indonesia yang melibatkan oknum, telah membuat banyak warga negara China bisa bekerja di Indonesia, walaupun hannya mengantungi visa bisnis.

Ledakan pengangguran di China membuat banyak warga negaranya yang mengincar Indonesia, tak peduli bagaimana bertaruh nyawa, sebagaimana dilansir Suara Pemred dari media China yang berbahasa Inggris, Sixth Tone milik Shanghai United Media Group, edisi 9 Januari 2022,

Seorang penduduk Tiongkok bernama Huang Guomeng, misalnya, mengaku kehabisan pilihan dan putus asa untuk bekerja. Huang kemudian meninggalkan kampung halamannya di Provinsi Henan tengah untuk mendapatkan pekerjaan yang baik di Indonesia.

Tapi,  begitu melapor untuk bekerja di sebuah kawasan industri nikel di Kabupaten Morowali,  harapannya berubah menjadi keputusasaan: Pihak erusahaan outsourcing di Indonesia yang merekrutnya, dan menjanjikan upah yang lebih baik,  menyita paspornya!

“Kami datang ke Indonesia dengan visa bisnis, bukan visa kerja, jadi kami tidak memiliki perlindungan hukum,” katanya.

“Kontrak kami juga merupakan ‘kontrak sepihak’ informal. Kami harus menandatangani selembar kertas yang mengatakan bahwa kami harus mematuhi pengaturan. Penyitaan paspor adalah hal biasa," lanjutnya.

Terpikat ke Indonesia, lelaki berusia 40-an ini bekerja di Sulawesi sejak Mei 2021,  dan mengaku masih menemui banyak kejanggalan selama kerja.

Huang bukan satu-satunya pekerja China yang terjebak di negara asing dengan sedikit dukungan dan tanpa paspor. Tetapi,  dibandingkan dengan lima saudaranya dari Henan, Huang yakin dia 'beruntung'.

Pada Maret 2021, Zhang Qiang, Zhang Zhenjie, Wei Pengjie, Guo Peiyang, dan Tian Mingxin, berangkat ke Indonesia dengan visa bisnis melalui perusahaan outsourcing, seperti yang dilakukan Huang, dua bulan kemudian.

Mereka juga mengerjakan proyek pertambangan nikel di Sulawesi, pertama di Kabupaten Morowali, kemudian di Kendari, Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara.

Namun, kelima pekerja itu segera menyadari bahwa mereka dibayar jauh lebih sedikit dari yang dijanjikan, selain beberapa kejanggalan lainnya.  Ketika mereka memutuskan untuk berhenti dan kembali ke China pada Juni 2021, mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki paspor.

Pada 2 September 2021, mereka meminta bantuan lewat akun publik China, WeChat, dalam upaya sia-sia untuk meyakinkan perusahaan mereka agar mengembalikan paspor mereka.

Kemudian, 19 September 2021, keluarga mereka menerima SMS bahwa kelima pria tersebut telah ditahan oleh militer Malaysia di lepas pantai Johor.

Putus asa untuk kembali ke rumah, kelima pria itu mendekati para pedagang manusia untuk menyelundupkan mereka keluar dari Indonesia dan kembali ke China.

“Mereka mempercayai para penyelundup yang berjanji akan membantu menyelundupkan mereka ke China melalui Malaysia,” kata istri Zhang Qiang, Wang Lan, kepada The Paper, media yang juga segrup dengan Sixth Tone. 

Dengan bantuan dari keluarga mereka dan pengacara hak asasi manusia Malaysia,  Lau Yi Leong, Pemerintah Malaysia memutuskan pada Oktober 20221untuk tidak menuntut kelima pria tersebut.

Mereka akan dideportasi sebagai gantinya. Wang Lan dan kerabat pria lain menggarisbawahi bahwa para pekerja yang terperangkap hanya mengambil tindakan ekstrem,  karena percaya bahwa mereka tidak punya cara lain untuk pulang. 

Pada Desember 2021, kelimanya dipindahkan ke Depot Imigrasi Pekan Nanas di Johor. Wei Pengjie terbang kembali ke Xiamen, sementara pekerja yang tersisa diperkirakan akan kembali ke China dalam kelompok dua orang.

Huang, bagaimanapun, memiliki sedikit harapan untuk kembali. Dia mengaku menyerah untuk kembali ke China sebelum Festival Musim Semi.

Terdampar

Bagi pekerja Tiongkok seperti Huang Guomeng dan lima orang yang menunggu deportasi, masalah dimulai pada 2020, ketika industri konstruksi di Tiongkok terhenti di tengah wabah Covid-19. 

“Saya sedang mencari pekerjaan pada tahun 2020 di ponsel saya,  dan bertemu dengan seorang perekrut di Beijing. Awalnya, saya tidak yakin. Perekrut telah memposting banyak pesan tentang bekerja di Indonesia pada momen WeChat-nya. Jadi,  saya percaya kepadanya,” kata Huang. 

Setelah bekerja di luar negeri dengan sukses di masa lalu, Huang mengaku lengah dengan perekrut Beijing, kepada siapa dia membayar biaya sebesar 4.000 yuan atau 630 dolar AS. 

Baru kemudian Huang menyadari bahwa agen tersebut tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan dan perusahaannya juga tidak memiliki lisensi.  

“Agen mengatakan kepada saya bahwa kondisi di Indonesia sangat bagus, dan dia berasal dari kampung halaman saya, jadi saya pikir dia tidak akan menipu saya. Saya memercayainya," keluhnya. 

Pada Mei 2021, Huang naik pesawat ke Indonesia.“Begitu saya turun dari pesawat, perekrut meninggalkan saya. Setiap kali saya memiliki masalah, dia hanya mengatakan kepada saya untuk berbicara dengan atasan saya dan itu bukan urusannya,” tuturnya.

Huang  bekerja hampir setiap hari, seringkali mulai pukul 06.00 hingga 17.30di proyek Tahap II di Delong Industrial Park di Kendari. “Kami tidak memiliki hari libur atau shift,” katanya.

Dijanjikan 14.000 yuan sebulan tetapi Huang hanya menerima sekitar 10.000 yuan alias Rp 22 juta lebih per bulan,  dan pembayaran pun sering tertunda.  

“Ketika saya menandatangani kontrak, saya diberi tahu bahwa saya akan dibayar setiap dua bulan. Sekarang, sudah dua bulan,  dan saya belum dibayar apa pun," tuturnya. 

Selain itu, pekerja yang mengambil hari libur akan dipotong uangnya dari gaji mereka, lebih dari 400 yuan setiap kali.  

“Pemotongan upah juga merupakan bentuk hukuman, dan pekerja dapat diskors jika tidak menyenangkan atasannya,” katanya.

Huang ingat merasa seperti berada di penjara. “Akomodasi saya seperti kabin dua lantai yang Anda temukan di lokasi konstruksi di China," ujarnya.  

"Ini sangat panas dan matahari sangat cerah. Kami makan nasi dan roti kukus, dan makanannya juga tidak enak. Jika ingin makanan yang lebih enak, Anda bisa membuat mie instan. Juga mahal untuk diminum untuk bersantai," lanjut Huang.

Delong Tahap II merupakan proyek peleburan terintegrasi di Indonesia,  yang dijalankan oleh PT Obsidian Stainless Steel.  

Perusahaan ini adalah perusahaan patungan antara dua perusahaan Tiongkok, Jiangsu Delong Nickel Co, Ltd. dan Xiamen Xiangyu Group, perusahaan besi dan baja skala besar,  yang mengintegrasikan produksi paduan nikel-besi dan peleburan baja tahan karat. Di Delong Tahap III di Kabupaten Morowali,

Li Junyang, yang berusia 50-an, dan berasal dari provinsi Hunan, menggemakan kesusahan Huang.  

“Suhunya 30 atau 40 derajat selcius, tapi kami harus mulai bekerja setelah makan siang pada pukul 12.30. Jika Anda terlambat 10 menit, upah Anda dikurangi satu jam. Jika Anda terlambat setengah jam, Anda merapat setengah hari, ”katanya. 

Pada April 2020, dia membayar agen 5.500 yuan untuk bekerja di Indonesia. “Sudah hampir delapan bulan dan mereka hanya memberi saya 10.000 yuan, termasuk deposit 5.500 yuan.

Mereka juga belum membayar uang kepada pekerja lain,” kata Li. “Saya bisa mendapatkan setidaknya 400 yuan sehari di Tiongkok. Agen mengatakan kepada saya bahwa itu tidak akan lebih rendah dari itu, jadi saya memutuskan untuk datang ke sini. Tapi sekarang saya hanya mendapat 350 yuan sehari," jelasnya. 

Protes pun Dianiaya Atasan Sesama China

Sejak akhir April-pertengahan Mei 2020, pekerjaan itu dapat ditanggung, tetapi mulai sekitar akhir Mei 2020, dia mengaku menjadi sasaran 'pelecehan fisik dan verbal, perilaku obstruktif, dan pemotongan gaji yang sewenang-wenang' dalam jangka panjang.

Ketika Li mengeluh kepada atasannya, mereka membalas dengan kekerasan. Dia mengingat sebuah insiden pada September 2020, ketika pekerja lain dipanggil untuk bekerja,  tetapi dia ditinggalkan sendirian di kamarnya, di mana tiga manajer menyerangnya. 

Li terbangun dengan berenang kesakitan dan menemukan dirinya di rumah sakit setempat. Dia dikirim kembali ke kawasan industri, hanya dua hari kemudian.

Setelah penyerangan itu, Li menderita sakit kepala kronis. Dia meminta perawatan tetapi sistem masuk-keluar taman yang ketat mencegahnya pergi.

Merasa sulit untuk bekerja, dia tidak punya pilihan selain hanya tidur dari rasa sakit.  “Ada penjaga keamanan Indonesia di pintu gerbang – kami tidak bisa keluar,” katanya.

Beberapa lainnya berbicara tentang bentrokan fisik serupa di tempat sebagai metode pengendalian.  

“Jika saya berani mengeluh tentang paspor saya yang ditahan atau pembatasan pergerakan, atasan saya mengancam akan melaporkan saya ke kantor polisi setempat untuk berkelahi,” kata Zhao Yaxin, yang sebelumnya bekerja di kawasan industri untuk perusahaan tambang nikel milik China lainnya di Sulawesi.  

Menurut Huang Guomeng, para penjaga di pintu gerbang meminta para pekerja untuk menunjukkan surat izin keluar.  

“Bahkan dengan mobil, butuh waktu 40 atau 50 menit untuk mencapai kota terdekat. Gunungnya curam, jadi saya tidak berani mengembara,” katanya.  

Karena kendala bahasa, Huang tidak dapat mengajukan laporan polisi. “Jika kami mengadu, pihak berwenang memanggil satpam Indonesia untuk mengancam atau mengurung kami," jelasnya.

Media China melaporkan pada Mei 2020 bahwa setelah wabah COVID-19 di Indonesia pada awal Maret 2020, proyek Delong Tahap II menerapkan kebijakan manajemen tertutup untuk 'memikul tanggung jawab sosial'.

Seorang mantan karyawan Delong mengatakan kepada The Paper bahwa sebelum pandemi, para pekerja bebas masuk-keluar di taman di luar jam kerja.

Tetapi,  langkah-langkah pencegahan tidak berlaku sama. Pekerja China mengatakan pekerja Indonesia diizinkan pergi setelah jam kerja mereka,  dan kembali ke akomodasi terdekat.

Wei Pengjie (31), termasuk di antara lima pekerja yang ditahan di Depo Imigrasi Pekan Nanas. Seperti orang lain yang bersamanya, dia pergi ke Sulawesi melalui perekrut.  

Menurut istrinya Zhang Yajie, suaminya pernah bekerja sebagai buruh di Provinsi Anhui, Hunan, dan Hubei.

“Upah sehari di China untuknya sekitar 300 yuan, tetapi perekrut mengatakan dia mendapat 500 yuan per hari di Indonesia, dan 10.000 yuan sebulan untuk biaya hidup,"  tuturnya.  

Awalnya, "Saya tidak ingin dia pergi karena situasi pandemi di luar negeri. Saya setuju hanya ketika dia memberi tahu saya bahwa perekrut telah meyakinkannya bahwa tidak ada virus corona di Indonesia."  

Tunjangan bulanan yang menggiurkan sebesar 10.000 yuan, bagaimanapun, berhenti setelah hanya dua bulan. Dan jam kerja mereka meningkat dari sembilan jam yang disepakati menjadi 9,5 jam.

Zhang Yajie mengatakan keluarganya hanya menerima 20.000 yuan untuk biaya dua bulan, yang dibagi menjadi beberapa transfer.  

“Suami saya selalu mengatakan bahwa dia lelah bekerja dan tidak punya waktu istirahat bahkan di akhir pekan," katanya. 

“Kemudian, mereka mendengar bahwa banyak pekerja China berjuang untuk kembali ke China, beberapa menderita luka-luka dan tidak bisa mendapatkan akses tepat waktu ke perawatan medis," tambahnya.  

Bahkan. katanya lagi: "Ada laporan pekerja China bunuh diri. Plus, penjaga keamanan di taman itu sangat keras, jadi mereka memutuskan untuk pergi." 

Alasan 'Serbuan' ke Sulawesi

Cadangan nikel Indonesia sekitar 1,3 miliar ton, dimana Sulawesi menyumbang sekitar 80 persne dari total. Delong, Tsingshan Steel, PT Titan, dan beberapa perusahaan pertambangan nikel lainnya,  tersebar di seluruh pulau.  

Namun, Sulawesi relatif belum berkembang dan memiliki pilihan transportasi yang terbatas ke pulau Jawa, pusat politik dan ekonomi Indonesia.

Zhang Qiang dan empat pekerja lainnya dipindahkan dari Morowali ke Kendari,  sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang secepatnya.  

Dan,  ketika perusahaan menunda pengembalian paspor mereka, mereka memposting permohonan bantuan, mengatakan bahwa mereka bersedia 'berjalan kaki dari Kendari ke Jakarta', jika mereka bisa mendapatkan paspor mereka.

Karena perjalanan seperti itu tidak memungkinkan,  mengingat bentangan air yang luas antar pulau, mereka memutuskan untuk mengambil risiko dan mencoba menyelundupkan keluar dari Indonesia.

Pada September 201, media Malaysia melaporkan bahwa 10 imigran ilegal dari Indonesia ditahan bersama dengan lima pekerja China.  

Malaysia adalah rumah bagi banyak pekerja tidak berdokumen dari Indonesia Zhang Qiang dan pekerja Tiongkok lainnya mencoba meninggalkan Indonesia melalui jalur yang digunakan pekerja Indonesia untuk memasuki Malaysia secara ilegal.

“Warga Malaysia kaget melihat rute yang diambil lima pekerja ini,” kata pengacara Lau Yi Leong. “Tidak ada dari kita yang tahu apa yang mereka lalui dalam perjalanan dari Kendari ke Johor di pesisir Malaysia.”

Dilema 

Kembali ke China, Wang Tianyi, yang berspesialisasi dalam hukum ketenagakerjaan luar negeri di Firma Hukum Delta Sungai Shanghai, menggarisbawahi bahwa perusahaan tenaga kerja harus melatih karyawan untuk memeriksa hak-hak mereka sebelum pergi ke luar negeri untuk bekerja. 

“Sebelum berangkat ke luar negeri, seorang pekerja harus memastikan hubungan kerja, kondisi kerja, serta hak dan kepentingannya dengan unit pengirim, serta tanggung jawab masing-masing pihak.

Jika seseorang dikirim ke luar negeri oleh perusahaan pengiriman tenaga kerja, kami sarankan mereka memeriksa apakah perusahaan tersebut memiliki kualifikasi yang relevan,” katanya. 

Namun, Huang Guomeng, Li Junyang serta keluarga dari lima pekerja yang ditahan, mengatakan bahwa perusahaan jasa tenaga kerja yang mereka bayar tidak melakukan pelatihan pra-keberangkatan.

Mereka bahkan belum pernah mendengar persyaratan itu. Shan Desai, seorang sarjana di Memorial University of Newfoundland di Kanada (yang mempelajari tenaga kerja lintas batas, hukum maritim, dan kesehatan dan keselamatan kerja) mengatakan bahwa pekerja China yang pergi ke luar negeri,  tidak dapat secara langsung menandatangani kontrak kerja dengan pemberi kerja di luar negeri, bahkan jika perusahaan yang terlibat adalah orang China.  

“Menurut undang-undang dan peraturan yang relevan, perusahaan luar negeri, perorangan, dan perusahaan asing di Tiongkok tidak diperbolehkan merekrut tenaga kerja secara langsung di Tiongkok,” kata Desai.

Menurutnya, berdasarkan proyek tertentu, kebutuhan personel perusahaan harus dipenuhi oleh unit pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.  

Sebuah kontrak antara perusahaan luar negeri yang membutuhkan pekerja dan operator domestik menentukan ketentuan tenaga kerja dan upah, dan penanganan cedera dan kematian terkait pekerjaan, dan apakah undang-undang tenaga kerja China atau peraturan tenaga kerja lokal berlaku.  

"Namun, perjanjian tersebut adalah semacam kontrak komersial dan umumnya tidak diketahui oleh pekerja China," tutur Desai.

The Paper menghubungi Jiangsu Delong untuk memberikan komentar.  Seorang karyawan yang menjawab telepon mengaku dari departemen HR mengatakan bahwa dia tidak berwenang untuk berbicara kepada media.

Juga dinyatakan bahwa perusahaan tidak, dan tidak akan pernah, bekerja sama dengan perusahaan outsourcing pada proyek-proyeknya di Indonesia.

“Zhang Qiang pernah mengatakan kepada saya bahwa pekerja yang menandatangani langsung dengan Delong diperlakukan lebih baik, dan bahwa para pemimpin Delong tampak tidak berdaya tentang perselisihan atas ketidakpatuhan oleh perusahaan outsourcing,” kata istri Zhang, Wang Lan.  

“Hubungan dengan perusahaan outsourcing benar-benar berantakan — pekerja lokal China seringkali tidak memahami hubungan tersebut," tambahnya.

“Delong memiliki banyak karyawan yang direkrut langsung dan perusahaan jasa tenaga kerjanya sendiri: Pengiriman Tenaga Kerja Shenlong," kata Lin Senyu dari provinsi Sichuan, yang sebelumnya bekerja di kawasan industri nikel yang masing-masing dijalankan oleh Delong dan Tsingshan.  

Namun, ada juga perekrut yang menggunakan nama Delong untuk menarik pekerja, kemudian mengirimkannya ke unit konstruksi eksternal proyek Delong di Indonesia.

Menurut Desai, kontraktor umum tidak mungkin menangani informasi semua pekerja yang seringkali direkrut melalui berbagai lapisan rekomendasi outsourcing.  

Meskipun tampaknya agen tenaga kerja luar negeri itu sah, agen yang melakukan pengiriman itu tidak sah. 

Huang Guomeng mengatakan kontraktornya tidak memiliki lisensi formal sementara Zhang Qiang dan empat pekerja lainnya mengatakan kontraktor mereka, Rongcheng Environmental Engineering Co, memiliki lisensi di Provinsi Jiangsu. 

Namun, perusahaan tersebut tidak dapat ditemukan di situs web 'Platform Terpadu Sistem Bisnis" Kementerian Perdagangan atau

"Platform Layanan 'Keluar' Komprehensif Jiangsu'. Saat publikasi, Rongcheng belum menanggapi email dari The Paper yang meminta komentar dan tidak dapat dihubungi melalui telepon. 

Pengacara Wang Tianyi mengatakan bahwa secara hukum, jika pekerja China di Indonesia memiliki hubungan kerja dengan perusahaan China, mereka dapat mengajukan banding sesuai dengan undang-undang perburuhan dan kontrak China. 

“Jika hubungan perburuhan pekerja dibuat dan ditandatangani dengan perusahaan Indonesia, maka mereka dapat memperoleh keringanan melalui ketentuan yang relevan dalam Omnibus Law Indonesia tentang Cipta Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,” kata Wang Tianyi. 

Huang Guomeng tidak memiliki salinan kontraknya. Tetapi bahkan jika dia melakukannya, hak hukumnya mungkin tidak dijamin.  

Wang Lan dan Zhang Yajie ingat bahwa suami mereka menyadari pentingnya memiliki kontrak sejak dini dan terus mendorong perusahaan untuk menandatanganinya. 

“Suami saya Wei Pengjie dan rekan-rekannya mengira pekerjaan itu akan berlangsung paling lama enam bulan, jadi mereka tidak menandatangani kontrak,” kata Zhang Yajie.  

“Kemudian, khawatir mereka tidak dapat kembali ke China selama setahun, mereka mendesak perusahaan untuk menandatangani. Hanya setelah tekanan terus-menerus barulah perusahaan setuju," tambahnya. 

Namun, setelah menerima kontrak sampel pada bulan Juni – begitu mereka sudah berada di lokasi – kelima pekerja menemukan bahwa mereka tidak dapat menerima kondisi kerja yang disebutkan. 

“Jam kerja ditingkatkan menjadi 9,5 jam, uang untuk biaya hidup turun dari 10.000 yuan menjadi 1.000 yuan per bulan dan masa kerja dibiarkan terbuka,” kata Zhang Yajie.  

“Jika dia tidak bisa segera kembali ke China, dia harus pergi ke tempat lain setelah menyelesaikan pekerjaannya saat ini. Plus, kontrak tidak dapat diakhiri dalam waktu enam bulan. Mereka merasa seperti diminta untuk menjual diri mereka sendiri," lanjutnya.

Kelima pekerja memutuskan bahwa jika mereka menandatangani, mereka akan menempatkan diri mereka dalam situasi yang lebih buruk. 

Bukan hanya kontrak. Ketidakpatuhan terhadap persyaratan visa mempersulit pekerja untuk melindungi hak-hak mereka. Wang Wenzhen, seorang warga negara China yang telah membantu banyak rekan senegaranya yang terlantar, mengatakan sebagian besar pekerja yang dia hubungi di Indonesia memasuki negara tersebut dengan visa bisnis, dan seringkali tidak mengetahui persyaratan visa tersebut. 

Di Indonesia, 'visa bisnis 211' berlaku selama 60 hari per kunjungan,  dan dapat diperpanjang empat kali.

Ini dapat digunakan untuk studi bisnis, kunjungan bisnis, pertemuan bisnis, dan kegiatan serupa, tetapi tidak dapat digunakan untuk pekerjaan. 

Banyak perekrut menyatakan secara online bahwa waktu pemrosesan untuk jenis visa ini lebih cepat – sekitar tiga hingga lima hari.

Mereka juga memperingatkan bahwa ketika ditanya oleh petugas imigrasi, para pekerja harus menyangkal bahwa mereka datang bekerja ketika memasuki Indonesia dengan visa bisnis. 

Wang Tianyi menekankan bahwa mereka yang tidak memiliki visa kerja harus mendesak perusahaan mereka untuk melamar sesegera mungkin, atau berhenti.  

Namun,  di tengah pandemi dan harga tiket yang meroket, pekerja China yang paspornya disita tidak bisa pergi begitu saja, meninggalkan mereka terdampar di lokasi konstruksi di Indonesia. 

Shan Desai menunjukkan bahwa sementara penyitaan paspor pekerja asing merupakan bentuk umum dari kontrol fisik, masalah yang dihadapi oleh pekerja Tiongkok termasuk kecurigaan kerja paksa dan tindak pidana. 

“Saat ini, departemen pemerintah China yang terutama menangani perselisihan tersebut adalah Kementerian Perdagangan dan Kementerian Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial,” kata Desai.  

“Itu juga tergantung pada apakah departemen penegak hukum setempat dan kedutaan serta konsulat China bersedia untuk campur tangan," lanjutnya. 

Wang Lan dan Zhang Yajie menunjukkan bahwa sebelum beralih ke penyelundup, kelima pria itu meminta bantuan dari pihak berwenang.  

Pada Juni 2021, para pekerja dan keluarga mereka mengadu ke Kedutaan Besar China di Indonesia tentang gaji yang belum dibayar, dan kedutaan membantu mereka mendapatkan kembali sejumlah uang. 

Penyitaan paspor mereka, bagaimanapun, tidak diselesaikan.  “Kami melaporkannya ke polisi di sini di China, yang mengatakan akan sulit untuk campur tangan karena mereka bekerja di Indonesia dan melarikan diri ke Malaysia,” kata Wang Lan.

Ketika dia mencari bantuan melalui saluran resmi seperti akun WeChat dari pusat pengaduan personel layanan tenaga kerja Asosiasi Kontraktor Internasional China yang dikirim dan hotline darurat global Kementerian Luar Negeri, dia awalnya menerima tanggapan yang menjanjikan. 

Namun, ketika sampai pada masalah khusus seperti gaji yang belum dibayar dan repatriasi, Wang Lan tidak membuat kemajuan. 

“Kami memanggil semua orang yang kami bisa untuk mengajukan laporan, memanggil banyak nomor yang salah dan menemukan harapan dalam beberapa tanggapan,” katanya.  

“Namun seringkali harapan kami pupus oleh panggilan telepon berikutnya. Kami berputar-putar, dan berakhir kembali di tempat kami mulai," tambahnya.  

Pada 2004, Kementerian Perdagangan China memberlakukan langkah-langkah untuk mengatur pekerja China yang pergi ke luar negeri.  

Pada Mei 2012, Dewan Negara menyetujui peraturan yang mewajibkan kontraktor proyek asing untuk menyediakan kondisi kerja yang layak, membayar remunerasi sesuai dengan kontrak, dan memenuhi kewajibannya sebagai pemberi kerja. 

Peraturan pada 2012 ini juga memerintahkan kontraktor proyek asing untuk mempekerjakan pekerja melalui agen perantara resmi.  

Pada 2016, Kementerian Perdagangan juga merumuskan mekanisme penanganan pengaduan dan perselisihan tenaga kerja dari TKI di luar negeri. Namun, berbagai organisasi resmi dan departemen pemerintah yang terlibat dalam masalah tenaga kerja Tionghoa perantauan, seringkali menghambat penyelesaian pengaduan.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan setelah Forum Hukum Lujiazui pada 2017, Lu Jingbo, Shi Qing, dan Wang Tianyi,  mencatat bahwa setelah penarikan organisasi seperti Federasi Serikat Buruh Seluruh China (ACFTU),  Kantor Koordinasi Perlindungan Hak Luar Negeri, dan Biro Hak dan Kepentingan Tenaga Kerja Terkait Asing, Tiongkok,  tidak memiliki institusi dan mekanisme yang sesuai untuk melindungi hak dan kepentingan pekerja di luar negeri. 

Di Indonesia, masih dari laporan The Sixth Tone, model serikat pekerja lokal yang menawarkan perlindungan kepada tenaga kerja asing yang digunakan di negara maju, tidak layak.  

Kondisi tenaga kerja di Indonesia tidak semaju di negara maju. Terlepas dari perkembangan gerakan buruh negara, ada kecenderungan kuat ke arah proteksionisme. 

Masalah tenaga kerja China juga selalu menjadi topik sensitif di kalangan politik Indonesia, dan lawan politik presiden saat ini, Joko Widodo, sering membuat sensasi 'invasi pekerja China'. 

Menurut laporan media Indonesia sejka Juli 2020, Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi dan Koordinator Kerja Sama dengan China—mengatakan bahwa para pekerja dari China yang tiba di Sulawesi setelah wabah Covid-19. mengisi lowongan di posisi yang tidak diambil oleh lokal tenaga kerja. 

Pekerjaan termasuk 'menangani mesin berteknologi tinggi', dan mentransfer "serangkaian pengetahuan khusus kepada pekerja Indonesia'. 

Huang Guomeng menguatkan klaim tersebut, dengan mengatakan:  "Kita semua perlu 'memindahkan, membantu, dan memimpin' pekerja Indonesia di sini." 

Namun, di tengah kekacauan administrasi pengelolaan tenaga kerja asing di Indonesia, permusuhan terhadap tenaga kerja China masih tetap ada. 

Dalam sebuah makalah pada 2017, Pan Yue, seorang sarjana di Sekolah Studi Internasional Universitas Jinan, menggarisbawahi kurangnya komunikasi dan koordinasi antara Kementerian Tenaga Kerja Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.  

Hal ini mengakibatkan perbedaan besar dalam data yang diberikan oleh berbagai departemen mengenai jumlah pekerja China.***   

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda