Nasional post authorAju 29 Maret 2021

Bom Katedral Makassar Pembiaran Radikalisme di Era SBY, Din Syamsudin dan JK

Photo of Bom Katedral Makassar Pembiaran Radikalisme di Era SBY, Din Syamsudin dan JK Bagian dari ribuan peserta deklarasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memasuki Gedung Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013, dan dibubarkan Presiden Indonesia, Joko Widodo, berdasarkan Perppu Nomor: 2 Tahun 2017.

JAKARTA, SP  - Pegiat media sosial dan pengamat politik, Iyyas Subiakto, menilai, insiden bom bunuh diri di depan pintu gerbang Gereja Katedral Hati Kudus Yesus Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia, Minggu siang, 28 Maret 2021, hasil pembiaran radikalisme dan ekstrimisme di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014.

“Sekarang, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024, sikap tegas melawan radikalisme dan ekstrisme sangat jelas, tapi masalahnya sudah sedemikian mengakar,” kata Iyyas Subiakto, Senin, 29 Maret 2021.

Presiden Joko Widodo, sudah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, tanggal 10 Juli 2017, karena organisasi ekstrimis yang menggelar deklarasi dihadiri ratusan ribu peserta di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013, ingin mengganti ideologi Pancasila dengan paham kekhilafahan.

Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Polisi Republik Indonesia, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rabu, 30 Desember 2020, melarang berbagai bentuk akfititas Front Pembela Islam (FPI), karena eksistensinya selalu berhubungan dengan radikalisme dan ekstrimisme.

“Tapi tidak semerta-merta menghentikan aksi radikalisme dan ekstrimisme yang selalu berakhir dengan terorisme, karena sudah sebegitu mengakar di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” ujar Iyyas Subiakto.

“Ramai lagi hujatan sepajang hari atas pengeboman di Makassar, Minggu siang, 28 Maret 2021. Beragam hujatan dilontarkan dari mulai biadab sampai jangan dikaitkan dengan Islam kata Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia yang selalu tampil kontroversial, dia yang bawa perasaan kita yang sial,” tambah Iyyas Subiakto.

Iyyas Subiakto sengaja tampilkan sebagai jejak digital sejumlah oknum tokoh bagaimana kekerasan memakai nama agama itu, dierami dan diternak. Mungkin awalnya untuk kepentingan jangka pendek politik, tapi mereka lupa, mengerami anak macan pasti kelak kita diterkam.

Zaman Pemerintahan SBY, keberadaan HTI dibiarkan tumbuh kembang dan subur, merambat melalui kampus dan dikasih panggung. Tidak ada sama sekali state SBY, sehubungan deklarasi HTI di Gedung Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013.

Statement Din Syamsudin, tokoh Muhammadyah, di Jakarta, Sabtu dinihari, 30 Februari 2019, membuat miris, karena menghimbau untuk menghindari penyebutan istilah khilafah karena merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat pejoratif.

Walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al Quran adalah ajaran Islam yang mulia. Manusia mengemban misi menjadi wakil Tuhan di Bumi atau khalifatullah fil ardh.

Din Syamsudin menegaskan mempertentangkan khilafah dengan Pancasila adalah identik dengan mempertentangkan negara Islam dengan negara Pancasila, yang sesungguh sudah lama selesai dengan penegasan negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah atau negara kesepakatan dan kesaksian.

"Upaya mempertentangkannya merupakan upaya membuka luka lama dan dapat menyinggung perasaan umat Islam," ujar Din Syamsudin, “Menisbatkan sesuatu yang dianggap anti-Pancasila terhadap satu kelompok adalah labelisasi dan generalisasi (mengebyah-uyah) yang berbahaya dapat menciptakan suasana perpecahan di tubuh bangsa Indonesia.”

Jusuf Kalla, ketika masih menjadi Wakil Presiden, dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), sengaja membiarkan kampnye Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, sehingga begitu ganasnya penampilan Islam yang direpresentasikan kelompok manusia dungu, FPI.

“Membiarkan mulut "sange"- nya Mohammad Rizieq Shihab (MRS) yang malah dilindungi, diongkosi, hampir saja Indonesia dirajam dengan kejam, karena kita melakukan pembiaran perbuatan jahanam kaum yang mau mengoyak Pancasila. Terus mereka ini siapa sebenarnya!” tanya Iyyas Subiakto.

Jusuf Kalla menerima utusan pemberontak Taliban dari Afganistan, yang di negaranya sudah mereka hancurkan, memenggal hak kaum perempuan atas pendidikan dan kebebasan. “Kok kita mau mendamaikan, jangan sok ngurus dapur orang, itu beresin Makassar dan Poso, Daeng!”

Diungkapkan Iyyas Subiakto, sadar atau tidak kadang politik cari kuasa dan kaya dilakukan dengan cara biadab berdampak panjang dan merusakkan.

Coba bagaimana orang-orang yang kita anggap waras bernegara dibanding kita yang katanya "idiot" berpolitik, tapi nyatanya mereka lebih keji terhadap Ibu Pertiwi.

“Mengerami HTI, FPI, membiayai, mengongkosi, berkoalisi dengan tujuan, pelan tapi pasti mau mengganti ideologi, apa mereka yang kita anggap negarawan, ini, pantas dihargai atau pantas kita maki-maki. Karena mereka jahat dan bisa berkhianat,” tutur Iyyas Subiakto di akun facebook-nya, Senin, 29 Maret 2021.

Iyyas Subiakto mengajak  kita melihat kelakuan mereka kepada Presiden Joko Widodo, orang yang berani membubarkan HTI dan FPI, kok malah kesannya dimusuhi. Mau dimakzulkan, dicaci-maki, hasil kerjanya dianggap tidak ada.

Mereka buta mata dan hati. Orang sejenis ini adalah orang yang dibiarkan Tuhan, mereka tidak bisa membedakan baik dan buruk, karena hatinya tertutup oleh rasa syirik, tapi tak mampu dan tak punya malu.

“Kita ini kan sudah dihujani bom oleh kaum pekok ini berkali-kali, dari Bom Bali, 12 Oktober 2002, Sarinah, Jakarta, Selasa, 14 Januari 2016, bom Gereja Surabaya, 13 – 14 Mei 2018. Sekarang Makassar, Minggu, 28 Maret 2021. Kita sudah lama harusnya siaga, bukan cuma waspada. Apa mau nunggu jadi Suriah yang terus banjir darah,” ujar Iyyas Subiakto.

Ibarat panen, ini adalah penen pra musim. Kita tinggal tunggu panen rayanya. Sekarang bola panasnya ada di kita, mau ditunggu ledakan berikutnya, atau kita hentikan larinya.

Tapi yang pasti habisi sumbernya. Termasuk politikus muka kakus yang rakus, juga partai politik yang jelas menolak Pancasila, kalau sekarang mereka diam bukan berarti sadar, ibarat memakai cadar mata dibalik pakaiannya, mengancam kita. Mereka mengawasi kesiagaan kita, begitu kita lengah, mereka telah memegang leher kita. *

Wartawan: Aju

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda