Opini post authorBob 04 April 2021

Dana Sponsorship dalam Pusaran Tindak Pidana Korupsi

Photo of Dana Sponsorship dalam Pusaran Tindak Pidana Korupsi Sakafa Guraba, Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Banda Aceh.

Sponsor merupakan kata yang sering muncul ketika pelaksanaan satu kegiatan yang membutuhkan dukungan dari pihak ketiga. Definisi sponsor yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang atau perusahaan yang mengusahakan suatu kegiatan.

Selanjutnya bila kita telaah lebih dalam kembali dari definisi tersebut sponsor dianggap sebagai hal yang bersifat bantuan saat ini eksistensinya telah bergeser lebih dari ke arah komersial. Dalam konteks hukum positif hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur pengertian tentang dana sponsor khususnya yang menyangkut dukungan terhadap kegiatan pemerintah sehingga dukungan dana sponsor sering diartikan sebagai dana hibah yang tidak mengikat.

Pelaksanaan sponsorship yang terjadi saat ini sering beririsan dengan pelaksanaan kegiatan baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang dalam pelaksanaannya terkadang memerlukan sokongan dana di luar dari anggaran yang telah ada, sehingga dalam pelaksanaannya dapat mempengaruhi suatu kebijakan, penyalahgunaan wewenang, sampai pada indikasi tindak pidana korupsi.

Hingga saat ini setidaknya terdapat 3 modus operandi tindak pidana korupsi terkait Dana Sponsor dalam pengelolaan keuangan negara.

Dana Sponsorship Pilkada

Korelasi biaya yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan kinerja saat akan terpilih terlihat sangat erat dampak yang akan ditimbulkan. Pasalnya Cost Politic dalam pilkada sangat tinggi antara lain rekomendasi partai politik, membayar saksi untuk di TPS, hingga biaya-biaya yang timbul terkait strategi dari masing-masing calon.

Menjadi semakin ironis melihat para calon yang berkontestasi banyak yang menggelontorkan dana kampanye yang jumlahnya lebih besar dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diajukan saat pencalonan.

Tingginya biaya politik tersebut mengakibatkan para calon kepala daerah memilih alternatif untuk menutupi biaya yang timbul dengan dana sponsor dari pihak ketiga.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan 92% calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong, hal ini dapat menjadi hubungan timbal balik yang berakibat korupsi uang sampai korupsi kebijakan pada saat calon kepala daerah tersebut terpilih.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2017 sebagai petunjuk pelaksanaan tentang dana kampanye pilkada 2020 telah mengatur terkait keharusan sumbangan dana kampanye dilengkapi dengan identitas lengkap penyumbang. Selanjutnya Peserta pilkada wajib mencatatnya dalam laporan awal dana kampanye (LADK) yang ditempatkan pada Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) di bank.

Namun praktik yang terjadi regulasi tersebut masih terdapat banyak celah hukum khususnya tidak adanya batasan sumbangan dalam bentuk barang dan jasa dan tidak adanya keharusan untuk mencatat sumbangan tersebut ke rekening bank menjadi celah yang disalahgunakan peserta pemilu.

Dana Sponsorship CSR

Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia diatur dalam UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau sering disebut dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Hal ini ditegaskan secara khusus dalam Pasal 74 yang menentukan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Dalam praktiknya, prosedur penyaluran bantuan CSR ini dilakukan dengan cara yang berbeda-beda di beberapa pemerintah daerah, antara lain dengan tanpa mekanisme APBD (penyaluran langsung) dan penyaluran melalui mekanisme APBD. Prosedur tanpa mekanisme APBD adalah penyaluran langsung kepada masyarakat melalui instansi teknis perangkat daerah tanpa harus memasukkan CSR tersebut ke dalam APBD.  

Idealnya mekanisme penyaluran CSR yang dilakukan melalui akta hibah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 dan 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2005 Tentang Hibah Kepada Daerah.  

Dana CSR yang disalurkan secara langsung tanpa mekanisme APBD, pada dasarnya menyerupai dana hibah karena memiliki sifat yang tidak mengikat.

Permasalahan yang muncul ketika dana CSR tersebut tidak masuk melalui mekanisme pengelolaan keuangan negara, aspek transparansi dan akuntabilitas dari pengelolaan dana tersebut menjadi kurang kredibel. Kasus korupsi dana CSR BUMN PT Sanghyang Sri yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Majalengka pada tahun 2019 lalu adalah salah satu contoh pengelolaan dana CSR yang bermasalah di mana dana CSR untuk bantuan kelompok tani yang seharusnya dibelikan sarana produksi tani, seperti bibit, pupuk serta obat-obatan diduga digelapkan dan masuk dalam rekening pribadi sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp2,6 miliar.

Dana Sponsorship Event

Pelaksanaan kegiatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah acapkali mengalami masalah kekurangan anggaran khususnya dalam pelaksanaan kegiatan berskala internasional. Bantuan dana dari pihak ketiga atau disebut sponsorship dalam sebuah kegiatan yang diadakan oleh pemerintah, hal ini menimbulkan perdebatan apakah dana bantuan dari pihak ketiga tersebut dapat di klasifikasikan sebagai bagian dari keuangan negara.

Ketika masuk dalam klasifikasi Keuangan Negara maka segala akibat yang timbul dari pengelolaan dana tersebut dapat berimplikasi pada Kerugian Keungan Negara sampai pada Tindak Pidana Korupsi. Salah satu contoh tindak pidana korupsi dana hibah sponsorship adalah kasus semarang pesona asia yang telah inkracht  pada tahun 2015.

Dalam putusan Nomor : 69/Pid.Sus-TPK/2015/PN. Semarang terdakwa Harini Krisniati dihukum dengan pidana penjara selama 1 tahun dan dibebankan pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp. 410.836.155.

Dalam pertimbangan putusan tersebut menjadi menarik dikarenakan terdapat  silang pendapat dari ahli Hukum Administrasi Negara dan Ahli Auditor, Setidaknya terdapat dua pandangan berbeda terhadap dana :

1. Ahli Auditor berpendapat sponsorshipbukan bantuan seperti dana hibah melainkan bersifat dukungan. Hal ini dikarenakan sponsorship uangnya langsung digunakan, sehingga tidak masuk dalam mekanisme penganggaran dalam APBN/APBD. Namun pada prinsipnya dana sponshorship hampir sama dengan dana hibah yang bersifat tidak mengikat dan tidak mempengaruhi kebijakan.


2. Prof Yos Johan Utama Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro dalam keterangannya sebagai ahli dalam perkara tersebut menyebutkan bantuan dari pihak ketiga dalam suatu kegiatan pemerintah daerah merupakan salah satu sumber keuangan negara dan termasuk dana hibah, sehingga pengelolaan dan pertanggung jawaban atas dana tersebut tunduk pada mekanisme APBD.

Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 259 ayat 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 tahun 2006 Yang menyebutkan Penerimaan/pengeluaran hibah selain kas adalah penerimaan/pengeluaran sumber ekonomi non kas yang merupakan pelaksanaan APBD yang mengandung konsekuensi ekonomi bagi pemerintah daerah. Sehingga dana yang masuk dalam kegiatan tersebut harus masuk ke APBD terlebih dahulu dan tidak bisa digunakan langsung oleh panitia.

Hingga saat ini telah terdapat beberapa regulasi yang mengatur terkait dana Sponsorship sebagai bagian dari Keuangan Negara. Namun ketentuan tersebut tersebar dalam beberapa regulasi seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang pendanaan perolahragaan yang menyatakan pendapatan pemerintah atau pemerintah daerah dari penyelenggaraaan keolahragaan merupakan penerimaan negara atau pendapatan daerah.

Aturan serupa juga terdapat dalam bidang kesehatan terkait dana sponsor yang juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2016 tentang Sponsorship bagi Tenaga Kesehatan.

Ketika undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara, saat itulah penegak hukum harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsviding). Itulah praktik yang selama ini terjadi ketika kasus korupsi dana sponsorhip mencuat yang selalu berpegangan pada keterangan ahli terkait kedudukan dana sponsorhip dalam keuangan negara.

Hal ini akan bersinggungan dengan adagium Nullum Delictum Noela Poena Sine Praevia Lege Poenali dimana satu perbuatan tidak dapat dijatuhi hukuman kecuali ada ketentuan hukum yang mengatur sebelumnya.

Dari serangkaian fenomena dana Sponsorship di atas terlihat jelas kedudukan dana sponsorship yang masih belum jelas pengaturannya dalam regulasi nasional, menurut catatan Penulis hingga saat ini belum ada regulasi yang secara khusus mengatur terkait kedudukan dana sponsorship dalam tata kelola keuangan negara sehingga menimbulkan celah hukum untuk dapat dimanfaatkan sebagai bancakan pelaku tindak pidana korupsi.

Kekosongan pengaturan hukum tersebut pada praktiknya akan menimbulkan interpretasi peraturan perundang-undangan secara terus menerus dari aparat penegak hukum sehingga publik dapat menilai seolah-olah melakukan tafsir sepihak. (huk)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda