Opini post authorBob 05 Januari 2025

Generasi Z: Terlipat oleh Pengangguran

Photo of Generasi Z: Terlipat oleh Pengangguran Syamsul Kurniawan, Dosen di IAIN Pontianak, Pengurus Departemen Pendidikan dan Pelatihan di Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat

PENGANGGURAN adalah bayang-bayang panjang yang mengikut di belakang generasi muda Indonesia, khususnya mereka yang lahir dalam rentang waktu yang disebut sebagai Generasi Z.

Dengan angka yang hampir mencapai 9,89 juta orang, data Badan Pusat Statistik tahun 2024 menjadi semacam nyanyian yang tak pernah habis didengungkan di media.

Generasi yang lahir dalam gemerlap teknologi digital dan arus informasi yang tiada henti, justru menjadi generasi yang terjebak dalam jurang pengangguran.

Kita seolah-olah sedang menyaksikan bagaimana satu generasi perlahan-lahan tersingkir dari kompetisi ekonomi global, karena kegagalan dalam sistem pendidikan dan kebiasaan yang tak pernah dibentuk sejak awal.

Untuk memahami mengapa generasi yang seharusnya memiliki akses terbesar pada teknologi dan informasi ini justru terjebak dalam pengangguran, kita harus memulai dari hal yang paling mendasar: kurikulum. Kurikulum adalah cetak biru yang menentukan arah pendidikan.

Di dalamnya ada rencana, visi, dan metode yang harus dijalankan oleh lembaga pendidikan. Namun, apa jadinya ketika cetak biru ini tidak selaras dengan realitas zaman?

Yang terjadi adalah apa yang kita saksikan sekarang: generasi yang dibesarkan oleh sistem pendidikan yang tidak mampu mengarahkan mereka ke masa depan.

Sejak awal, manajemen pengembangan kurikulum memiliki peran sentral dalam dunia pendidikan, termasuk pendidikan agama Islam.

Kurikulum tidak bisa hanya menjadi daftar materi yang harus dikuasai, tetapi harus menjadi kerangka adaptif yang mampu berubah sesuai kebutuhan zaman.

Namun, apa yang kita temui sering kali adalah kurikulum yang stagnan, terjebak dalam pola pikir lama yang tidak relevan dengan tantangan masa kini.

Hasilnya, generasi yang lulus dari institusi pendidikan bukanlah generasi yang siap menghadapi dunia kerja, melainkan generasi yang kesulitan untuk beradaptasi.

James Clear, dalam bukunya Atomic Habits (2018), berbicara tentang pentingnya kebiasaan kecil yang terus dilakukan untuk membawa perubahan besar.

Dalam konteks pendidikan, kebiasaan ini bukan hanya milik individu, tetapi juga milik sistem pendidikan secara keseluruhan.

Kebiasaan kecil yang salah—dalam hal ini, kurikulum yang gagal berubah dan beradaptasi—akan membawa dampak besar, yaitu generasi yang tidak siap menghadapi tantangan dunia kerja.

Clear menyebutkan bahwa perubahan kecil, jika dilakukan secara konsisten, dapat menciptakan hasil yang luar biasa. Begitu pula dengan pendidikan.

Jika sistem pendidikan kita mulai mengadopsi perubahan kecil, seperti memperkenalkan lebih banyak keterampilan praktis yang relevan dengan dunia kerja, mengintegrasikan teknologi ke dalam proses pembelajaran, dan memperhatikan potensi siswa secara individu, maka hasil akhirnya akan berbeda.

Generasi yang lahir dari sistem pendidikan ini akan menjadi lebih adaptif, lebih siap, dan lebih mampu bersaing.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak institusi pendidikan, khususnya yang terkait dengan bidang agama, masih terjebak dalam kurikulum yang kaku.

Generasi muda yang lulus dari program studi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) misalnya, sering kali tidak dibekali dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi.

Mereka lulus dengan kemampuan yang mungkin relevan pada satu dekade lalu, tetapi sudah tidak lagi mencukupi di era yang serba digital ini.

Di sinilah pentingnya perubahan kecil yang diuraikan Clear: jika pendidikan tidak mulai membuat perbaikan, kita akan terus menghasilkan lulusan yang tidak siap.

Digitalisasi Pendidikan dan Tantangan Society 5.0

Dalam konteks yang lebih luas, dunia saat ini tengah menuju Society 5.0, sebuah era di mana teknologi bukan lagi sekadar alat, tetapi menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari.

Di Society 5.0, manusia hidup berdampingan dengan kecerdasan buatan, big data, dan internet of things. Pendidikan, jika ingin relevan, harus mulai mempersiapkan generasi muda untuk dunia ini.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak kurikulum di Indonesia, terutama dalam pendidikan agama, masih jauh dari kata adaptif.

Yasraf Amir Piliang dalam Dunia yang Dilipat (2004) menyinggung bagaimana teknologi melipat ruang dan waktu, merobohkan batas-batas fisik dan geografis.

Namun, dunia pendidikan di Indonesia belum ikut "terlipat" dalam perubahan ini. Masih banyak lembaga pendidikan yang tertinggal, tidak hanya dalam metode pengajaran, tetapi juga dalam cara berpikir.

Mereka gagal melatih generasi muda untuk hidup di era di mana kemampuan berpikir kritis, fleksibilitas, dan keterampilan digital adalah kunci keberhasilan.

Pada ranah semacam ini, kebiasaan adaptif yang dibutuhkan oleh Generasi Z adalah kemampuan untuk berpikir kritis, berkolaborasi secara digital, dan mengambil keputusan berdasarkan data.

Namun, banyak kurikulum pendidikan, terutama yang terkait dengan pendidikan agama, masih berfokus pada metode tradisional yang tidak menyiapkan generasi muda untuk Society 5.0.

Ketika pendidikan agama terlalu terpaku pada konten dan hafalan, lulusan program ini tidak memiliki kebiasaan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan dunia.

Sebagaimana Clear menjelaskan, kebiasaan-kebiasaan kecil yang tidak dibangun sejak awal akan membuat individu gagal mencapai hasil yang besar.

Begitu pula dalam pendidikan: jika kurikulum tidak membentuk kebiasaan berpikir kritis dan inovatif, kita akan terus menghasilkan generasi yang tidak siap menghadapi tantangan dunia nyata.

Revisi Kurikulum dan Membangun Kebiasaan “Berdamai dengan Perubahan”

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Solusinya adalah dengan melakukan revisi kurikulum secara mendalam, bukan hanya menambahkan teknologi sebagai alat pembelajaran, tetapi mengubah pola pikir yang mendasari sistem pendidikan yang “berdamai dengan perubahan”.

Karena kurikulum merupakan sesuatu yang dikonsep dan direncanakan sebagai landasan untuk mencapai sebuah tujuan dalam pendidikan, maka selayaknya ini bisa diperhatikan oleh pengembangnya.

Dalam konteks ini, perubahan kecil, seperti yang disarankan oleh James Clear, bisa dimulai dari hal-hal sederhana: mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran agama, membangun kebiasaan berpikir kritis sejak dini, dan memastikan bahwa setiap lulusan memiliki keterampilan praktis yang relevan dengan dunia kerja selayaknya perlu dipertimbangkan dalam menyusun kurikulum.

Pengembang kurikulum harus memperhatikan kurikulum yang ia kembangkan dapat membangun kebiasaan-kebiasaan adaptif ini, bukan hanya mengajarkan nilai-nilai spiritual, tetapi juga membekali peserta didik dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan di dunia yang terus berubah.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan generasi yang lahir dalam era digital tetapi tertinggal dalam persaingan global.

Generasi Z tidak harus menjadi generasi yang hilang dalam data pengangguran. Dengan perubahan kecil yang konsisten, baik dalam sistem pendidikan maupun dalam kebiasaan individu, mereka bisa menjadi generasi yang siap menghadapi dunia yang semakin kompleks.

Kurikulum yang adaptif, kebiasaan yang dibangun dari kecil, dan kemampuan untuk selalu beradaptasi adalah kunci agar mereka bisa melangkah maju.

Pada akhirnya, seperti yang dikatakan James Clear, keberhasilan besar selalu dimulai dari kebiasaan-kebiasaan kecil. Jika kita ingin mengubah masa depan generasi Z, kita harus mulai dari perubahan kecil dalam pendidikan hari ini. (*)

 

 

Keywords

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda