PROSES Demokrasi seperti tak kunjung selesai. Kicauan politik, seolah menjadi bayangan gelap yang mengitari sejumlah pejabat tinggi, bahkan beberapa kepala daerah, yang tampaknya lebih condong pada satu kubu calon presiden dan wakil presiden.
Pernyataan tegas Presiden Joko Widodo tentang dukungan dan kampanye dalam pemilihan umum memecah suasana pemilu yang seharusnya adil.
Ironisnya, Jokowi harus memilah-milah hak politiknya sebagai warga negara dengan perannya sebagai pejabat publik.
Ucapan kontroversialnya pada 24 Januari 2024, yang menyatakan bahwa presiden dan menteri boleh mendukung kandidat dengan dalih hak politik, berdiri tidak sejalan dengan pernyataannya tiga bulan sebelumnya.
Pada Oktober 2023, Jokowi mengklaim netralitas dan dukungan untuk semua pasangan calon. Walaupun menyatakan ada hak politik presiden dan wakil presiden dalam UU Pemilu Pasal 299, tetapi seolah-olah ini dalam posisi negarawan ada etika politik.
Namun, keberpihakan terlihat nyata, terutama dalam membangun dinasti politik dan memberikan restu kepada putranya Gibran Rakabuming Raka, melalui politik yang lebih tersembunyi, yang mengunakan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023, yang secara substansi mempersoalkan pasal yang sama, malah mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan memberikan tambahan norma baru pada syarat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Sehingga memuluskan pencalonannya. Tetapi MK telah melakukan praktik cherry-picking jurisprudence untuk menafsirkan open legal policy, yang berbahaya bagi kelembagaan dan legitimasi putusan MK, dan terdapat anomali yang celah tersebut digunakan sebagai landasannya, dikarenakan putusan MK dinilai final dan binding Pasal 24 C ayat 1, namun polemik di masyarakat dan para ahli hukum maupun akademisi Hukum merespon dengan beragam argumentasi sebagai melanggar etics bahkan menamainya palu-palu hakim yang patah.
Langkah sikap inilahnya Presiden Jokowi dalam menyatakan dukungannya, meskipun telah menuai keraguan sebelumnya, memicu kontroversi baru. Pernyataannya menunjukkan bahwa kali ini, Jokowi tak akan menyembunyikan pilihannya.
Meskipun sebagai presiden dan politikus, tindakannya menciptakan pertanyaan tentang etika dan legalitas. Terlebih lagi, pernyataannya di hadapan calon presiden, Prabowo Subianto, yang berpasangan dengan putranya Gibran, membuat publik langsung bereaksi.
Dukungan yang sudah terlihat sebelumnya, seperti pertemuan dengan elite partai yang mendukung Prabowo-Gibran, semakin memperjelas arah keberpihakan Jokowi.
Dalih legalitas kampanye presiden yang tersemat dalam Pasal 281 UU Pemilu nyatanya seperti tameng yang rapuh, tidak mampu menutupi pernyataan kontroversialnya.
Jokowi, dengan tegas, melanggar ketentuan Pasal 282 UU Pemilu yang melarang pejabat negara, termasuk kepala desa, untuk mengambil keputusan atau tindakan yang dapat menguntungkan atau merugikan peserta pemilu selama masa kampanye.
Aturan ini seharusnya menjadi pagar pembatas bagi Jokowi dalam mengekspresikan keberpihakannya.
Presiden seharusnya mengambil inspirasi dari semangat imbauan netralitas yang telah disuarakan secara luas kepada ASN, TNI, dan POLRI sejak awal pemilu 2024.
Meski perbedaan karakter jabatan Presiden dengan ketiga lembaga tersebut nyata, esensi untuk menjaga profesionalitas dan menyadari potensi pengaruh yang bisa terjadi jika ketiganya tidak bersikap netral seharusnya menjadi pegangan bagi Jokowi.
Tidak hanya Presiden dinilai keberpihakan, seperti yang terjadi di PJ Kalimantan Barat menuai kegaduhan di masyarakat Kalimantan Barat khususnya apa yang diungkapkan “Sebagai salah satu daerah penyangga IKN, tentu Kalbar akan menerima dampak besar, terutama terhadap percepatan pembangunan infrastruktur,” kata Harisson dalam keterangan tertulis, Selasa (30/1/2024), kutipan Kompas.com.
Maka dari itu, terang Harisson, dia meminta masyarakat memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berpihak pada keberlanjutan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Pulau Kalimantan.
Harisson menilai, sudah saatnya pemerintah melakukan terobosan percepatan pembangunan untuk masyarakat di Pulau Kalimantan, dengan cara melanjutkan pembangunan dan pengembangan IKN.
“Jangan pilih capres yang tidak berpihak pada kelanjutan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Pulau Kalimantan,” tegas Harisson.
Hal ini menganalogikan kontestasi Pemilu seperti sistem persaingan pasar di bursa efek. Banyak hal yang bisa dipelajari dari kompetisi yang mendekati sempurna di pasar internasional tersebut.
Dalam regulasi pasar modal dikenal istilah “insider trading” (perdagangan orang dalam). Ini adalah perdagangan efek (menjual atau membeli) yang dilakukan seseorang dan atau sekelompok orang dengan dasar informasi atau fakta material yang telah diketahuinya terlebih dahulu sebelum informasi tersebut diinformasikan kepada publik, dengan tujuan mendapatkan keuntungan jalan pintas (short swing profit).
Perdagangan orang dalam melibatkan perdagangan saham perusahaan publik atau sekuritas lainnya oleh seseorang yang memiliki informasi material non-publik tentang perusahaan tersebut.
Presiden dan pejabat publik lainnya, ketika terlibat dalam kampanye, mirip ‘orang dalam’ yang melakukan transaksi di bursa efek.
Presiden dan pejabat publik lainnya memiliki informasi dan sumber daya yang tidak dimiliki oleh mereka yang bukan pejabat publik.
Seorang presiden, menteri, gubernur, bupati, maupu pejabat sementara dengan segenap fasilitas dan pengaruhnya, memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memengaruhi pemilih dibandingkan dengan orang biasa dengan cara-cara yang tampaknya ‘normal’, namun sesungguhnya tidak normal.
Apalagi menginisiasi jangan mendukung calon presiden yang tidak mendukung IKN, Lalu bagaimana membedakan itu lakon pejabat negara atau pejabat politik? Insider trading jelas dilarang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Ini adalah tindakan ilegal. Sanksinya berat. Selain pidana, juga berujung pada pembatalan transaksi.
Presiden, menteri dan pejabat publik lainnya seharusnya dilarang secara tegas ikut berkampanye atau menarasikan bersifat keberpihakan maupun narasi seperti menyudutkan salah satu paslon, akan mengakibatkan hiruk-pikuk masyarakat.
Setidaknya seluruh pejabat publik harus netral dan amanah dalam menyelenggarakan tanggung jawab sebagai pemimpin serta memperhatikan political etics.
Apalagi presiden. Pejabat publik tidak bisa ditempatkan pada wilayah abu-abu ketika Pemilu berlangsung. Mereka harus memilih, tetap di dalam pemerintahan atau keluar dan menjadi politikus murni.
Karena itu substansi UU Pemilu terkait netralitas ini harus dikoreksi. Jika tidak, maka UU Nomor 7 Tahun 2017 beserta penjelasannya setebal 590 halaman itu tidak akan pernah menghasilkan sebuah Pemilu yang jurdil. Netralitas selamanya hanya menjadi sebuah utopia.
Kekuatan, pengaruh, serta sumber daya yang melekat pada jabatan setidaknya secara bijak dan etis. Hal ini penting dalam mendukung terlaksananya pemilu yang seimbang dan berkeadilan, bukan entitas memotori kompetisi secara timpang tindih.