Opini post authorBob 05 April 2021

Menguak Fakta dari Potensi Desa

Photo of Menguak Fakta dari Potensi Desa Fitri Sulastri, SST., M.Si., Fungsional Statistik Madya, pada BPS Provinsi Kalbar

SELAYAKNYA, pengelolaan basis data yang digunakan dalam perencanaan pembangunan merupakan awal dari efektifiktas layanan publik. Mulai dari pembenahan layanan administrasi, penataan daftar pemilih tetap, hingga tepatnya sasaran program targeting berupa bantuan sosial.

Persoalannya, basis data skala besar di negeri ini masih terserak di beberapa pemangku kepentingan. Sehingga, kebijakan terkait kependudukan pun memiliki pijakan yang berbeda-beda. Sementara, satu data yang digadang-gadang sebagai syarat perbaikan kebijakan masih dalam tahap proses permulaan.

Sejak bergulirnya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, kini desa menjadi subjek pembangunan. Data yang digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan desa pun sungguh luar biasa kaya.

Secara nasional, data desa pun terserak dalam berbagai pemangku kepentingan. Data Potensi Desa di BPS, Profil Desa Kelurahan di Kemendagri, dan data desa lainnya yang difasilitasi oleh Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.

Isi data relatif tidak jauh berbeda dan dengan sumber data yang sama, yaitu perangkat desa. Data monografi di desa menurut aturan harus diperbarui enam bulan sekali, namun dengan berbagai kendala yang ada, pembaruan ini cenderung lambat.

Dari sekian banyak data yang diperoleh dari desa variasinya sangat beragam.

Desa adalah garda terdepan dalam implementasi program-program pembanguan, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan produksi pangan, penanganan pengangguran serta program-program lain yang bertujuan perbaikan kesejahteraan rakyatnya.

One data one policy yang sudah direncanakan sejalan dengan Satu Data Indonesia (SDI) tentu memerlukan kesamaan persepsi dari seluruh pihak yang terkait, bukan persepsi sendiri-sendiri yang mengakibatkan data keterbandingan antar wilayah pun menjadi tiada arti.

Perencanaan pembangunan membutuhkan data spasial/kewilayahan. Tidak seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia adalah pioneer keberadaan data spasial hingga tingkat wilayah administrasi terendah dalam suatu negara.

Di Indonesia, informasi spasial/kewilayahan hingga wilayah administrasi terendah setingkat desa, terpotret dalam Potensi Desa (Podes).

Mozaik besar apa yang akan tergambar dari Podes. Sejak 1980, hasil pendataan Podes ibarat potret beresolusi tinggi tentang potensi suatu desa.

Dari potret itulah kemiskinan dan kemandirian desa terungkap karena pendataan ini dilakukan pada semua wilayah administrasi terendah setingkat desa (desa/kelurahan/UPT/SPT), maka hasilnya pun dapat menggambarkan kondisi wilayah setiap sudut negeri ini.

Beragam pihak masih kecewa dengan kinerja pembangunan di desa, sedikit sekali berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan warga.

Padahal, hakikat pembangunan desa adalah menjadikan subjek pembangunan yang mampu mengelola keuangan, politik, dan kekuasaan, memungkinkan pemerintah desa menyusun perencanaan, program dan agenda pembangunan yang paling cocok dengan aspirasi dan realitas masyarakat desa.

Setiap desa sangat perlu memutakhirkan data terkait komposisi, struktur, karakteristik dan perwajahan sosial-ekonomi-budaya-aksesibilitas desa.

Data statistik jenis ini sangat dibutuhkan dalam rangka membuat perencanaan pembangunan wilayah kecil (small spatial for development planning) untuk memenuhi layanan dasar dan menyejahterakan masyarakat.

Bagaimana pemerintah dapat mengisi otonomi itu dan membuat masyarakatnya sejahtera jika situasi obyektif perwajahan sosial-ekonomi di setiap segmentasi kebutuhan masyarakatnya justru tidak dikenali? Di sinilah salah satu nilai strategis dari Podes.

Desa sedang mengalami perubahan besar dan cepat akibat percepatan pembangunan dari pingggiran. Terjadi perubahan permintaan dan penawaran dalam berbagai bidang, termasuk kebutuhan dan tarikan sumber daya.

Situasi ini terjadi saat infrastruktur telah dinikmati dan desa semakin mengkota. Dengan situasi seperti itu, tidak mengherankan jika ada tuntutan digulirkannya kelurahan.

Akhirnya, tentu bukan mimpi dan angan-angan untuk menjadikan desa yang selama ini ibarat rumah hanyalah bagian “dapur” yang kotor, kumuh, kuno dan kesenjangan yang begitu kentara dengan wilayah kota.

Dengan adanya dana desa yang terus meningkat, “dapur” itu bisa menjadi dapur bersih bahkan menjadi beranda yang indah dan cantik dengan kekhasan yang ada di dalamnya yang tidak akan ada di kota. Dan desa pun sedang terus berpacu untuk mewujudkan desa mandiri.

Bagaimana potret desa selanjutnya? Kita tunggu Podes 2021 dengan optimistis desa untuk terus membangun di tengah pandemi global saat ini demi peningkatan ke arah yang lebih baik, menuju desa yang sejahtera dan berdikari. (*)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda