PADA panggung besar kehidupan, manusia adalah aktor utama yang tak pernah lepas dari dinamika zaman. Sepanjang sejarah, berbagai masalah kemanusiaan muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi.
Namun, tak semua konsekuensi itu membawa kebaikan. Sebagian besar justru menjadi beban yang menghimpit harkat manusia, menyebabkan apa yang sering disebut dehumanisasi—sebuah fenomena yang merusak nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Dehumanisasi, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Qabil dan Habil, sudah ada sejak awal peradaban manusia.
Ketika Qabil membunuh saudaranya, ia tidak hanya merenggut hak untuk hidup tetapi juga mencederai nilai kemanusiaan. Pembunuhan adalah puncak tindakan dehumanisasi, sebagaimana ditegaskan Wahbah al-Zuhaili (1985), seorang ahli fikih, menyebut pembunuhan sebagai perbuatan buruk yang merusak nilai-nilai kemanusiaan, sebuah tindakan yang menafikan hakikat manusia sebagai makhluk bermoral.
Namun, bentuk dehumanisasi tidak selalu dramatis seperti pembunuhan. Dalam era modern, dehumanisasi sering muncul dalam bentuk yang lebih subtil, seperti gaya hidup hedonis.
Hedonisme mengangkat kesenangan duniawi di atas segalanya, sering kali dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika manusia menempatkan kesenangan material di atas prinsip kemanusiaan, mereka mereduksi diri menjadi subordinat dari gaya hidup yang mereka anut.
Akibatnya, tercipta ketimpangan sosial yang semakin tajam, menggerus harmoni kehidupan masyarakat.
Tidak hanya itu, modernitas juga membawa keterasingan manusia dari kehidupan sosial dan budayanya.
Manusia modern sering kali merasa terputus dari akar sosial dan budaya mereka, kehilangan kepekaan terhadap sesama, dan menjauh dari prinsip-prinsip kemanusiaan.
Keterasingan ini mencederai predikat manusia sebagai homo socius dan homo legatus, makhluk sosial dan berbudaya yang membutuhkan interaksi dan pewarisan nilai budaya untuk hidup bermakna.
Dalam mitologi Yunani, kisah Sisyphus dapat menjadi refleksi yang relevan. Sisyphus dihukum untuk mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk melihatnya menggelinding kembali.
Hukuman ini mencerminkan absurditas perjuangan manusia yang kehilangan makna. Dalam konteks dehumanisasi, manusia modern sering kali terjebak dalam siklus kerja tanpa tujuan yang jelas, teralienasi dari nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi panduan hidup.
Namun, di tengah kegelapan dehumanisasi, muncul upaya untuk memulihkan harkat kemanusiaan, yaitu humanisasi.
Humanisasi adalah proses yang meneguhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan manusia.
Ia muncul sebagai reaksi terhadap dehumanisasi, dan pada masa Renaisans, ia menjelma menjadi gerakan humanisme.
Humanisme masa itu, yang dikenal sebagai humanisme sekuler, berusaha membebaskan manusia dari dogma agama yang dianggap membatasi kebebasan dan akal budi.
Pada abad ke-20, muncul bentuk baru humanisme yang mencoba mendamaikan agama dengan kemanusiaan.
Humanisme religius ini memandang agama sebagai sumber nilai yang memperkuat prinsip-prinsip kemanusiaan.
Dalam pengertian ini, humanisme religius menawarkan pendekatan yang lebih holistik, mengintegrasikan dimensi spiritual dan material dalam memahami manusia.
Secara etimologis, humanisme berasal dari kata Latin humanus (manusia) dan ismus (paham). Dalam Bahasa Arab, istilah ini dikenal sebagai insaniyyah.
Humanisme dalam pengertian terminologis dapat didefinisikan sebagai paham yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan, menjadikan manusia sebagai pusat kajian, dan mengupayakan kehidupan sosial yang lebih baik sesuai dengan harkat kemanusiaannya.
Humanisme memiliki akar filosofis yang mendalam, dapat ditelusuri hingga ke filsafat Yunani dan Romawi kuno.
Paideia di Yunani kuno mengajarkan pengembangan bakat kodrati manusia, sementara gagasan animal rationale dari Romawi menempatkan manusia sebagai makhluk berakal.
Meski humanisme modern lebih dikenal sebagai produk Renaisans, landasannya sudah diletakkan oleh kedua peradaban besar ini.
Renaisans menjadi era kejayaan humanisme sekuler, yang memberikan jalan bagi modernisasi di Eropa.
Namun, interpretasi humanisme yang sekuler ini mulai mendapat kritik pada abad ke-20, ketika masyarakat merasakan kebutuhan untuk mengintegrasikan dimensi spiritual dalam kehidupan.
Di sinilah humanisme religius menemukan relevansinya, menjadi jembatan antara tradisi agama dan nilai-nilai kemanusiaan modern.
Jean Baudrillard, seorang filsuf postmodern, memberikan perspektif unik tentang bagaimana dehumanisasi terwujud dalam era modern melalui konsep simulacra dan hiperrealitas (1994).
Dalam pandangannya, simulacra adalah representasi yang tidak lagi merujuk pada realitas asli, melainkan menciptakan realitas baru yang menggantikan yang asli.
Hiperrealitas, sebagai hasil dari simulacra, adalah keadaan di mana realitas yang kita pahami adalah konstruksi yang sepenuhnya buatan.
Baudrillard mengilustrasikan bagaimana simulacra muncul dalam berbagai aspek kehidupan, seperti budaya, media, dan ekonomi.
Contohnya adalah iklan yang menjual gaya hidup, bukan produk itu sendiri. Manusia modern terperangkap dalam dunia simbol dan tanda yang diciptakan oleh media, sehingga kehilangan hubungan dengan realitas sebenarnya.
Dalam konteks ini, dehumanisasi tidak hanya berarti hilangnya nilai kemanusiaan tetapi juga kehilangan kemampuan manusia untuk membedakan realitas dari ilusi.
Fenomena ini menjadi semakin relevan ketika kita melihat bagaimana media sosial menciptakan hiperrealitas yang memengaruhi cara manusia memandang dirinya sendiri dan orang lain.
Identitas digital yang dibangun di platform ini sering kali merupakan simulasi dari identitas asli. Manusia tidak lagi menjadi subjek yang autentik, melainkan objek yang dirancang untuk memenuhi ekspektasi sosial yang terbentuk di dunia maya.
Baudrillard juga menunjukkan bagaimana konsumsi, sebagai elemen penting dari masyarakat modern, menjadi sarana simulacra.
Produk-produk yang kita beli sering kali tidak lagi memiliki nilai utilitarian tetapi menjadi simbol status atau identitas.
Dalam masyarakat konsumsi, manusia tidak lagi dinilai berdasarkan nilai intrinsiknya tetapi berdasarkan apa yang mereka miliki atau konsumsi. Ini adalah bentuk lain dari dehumanisasi, di mana nilai kemanusiaan direduksi menjadi nilai ekonomis.
Dalam hiperrealitas, konsep humanisasi menjadi lebih kompleks. Upaya untuk mengembalikan harkat kemanusiaan tidak hanya harus menghadapi dehumanisasi tradisional tetapi juga harus melawan simulacra yang menciptakan realitas semu.
Humanisasi, dalam pengertian ini, harus mencakup usaha untuk membedakan antara realitas dan ilusi, serta mengembalikan manusia kepada nilai-nilai autentik yang mendasari keberadaan mereka.
Kisah Sisyphus dapat kembali dihubungkan dengan konsep ini. Sisyphus yang mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk melihatnya menggelinding kembali adalah representasi dari manusia modern yang terjebak dalam siklus hiperrealitas.
Usaha manusia untuk mencapai kebahagiaan sering kali didasarkan pada ilusi yang diciptakan oleh simulacra, sehingga meskipun mereka merasa telah mencapai sesuatu, kebahagiaan itu hanya bersifat sementara dan kosong.
Sebagai penutup, perjuangan melawan dehumanisasi membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang realitas yang kita hadapi.
Perspektif Baudrillard tentang simulacra dan hiperrealitas memberikan wawasan penting tentang bagaimana dehumanisasi terjadi di era postmodern.
Dengan memahami fenomena ini, kita dapat mengembangkan strategi untuk memulihkan harkat kemanusiaan yang autentik dan menciptakan kehidupan yang lebih bermakna. (*)