PERHELATAN tahapan pemilihan umum (pemilu) 2024 telah hampir memasuki babak final, tepat pada 10 februari 2024 tahapan kampanye yang telah berlangsung selama 75 hari itu selesai.
Masa kampanye tersebut bukan hanya selesai untuk pilpres saja, namun sesuai dengan namanya pada pemilu 2024, kita memilih 5 surat suara yaitu presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota, sehingga berakhirnya masa kampanye juga berlaku bagi para calon legislatif untuk kemudian memasuki masa tenang.
Merujuk undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu, masa tenang adalah periode di mana tidak diperbolehkan melakukan aktivitas kampanye pemilu, hal itu dimuat dalam Pasal 1 angka 36.
Lamanya masa tenang diatur dalam undang-undang yang sama di Pasal 278 dimana durasi masa tenang adalah 3 hari sebelum hari pemungutan suara, artinya masa tenang pemilu 2024 dimulai dari tanggal 11, 12, dan 13 Februari.
Dimasa tenang ini tentu ada larangan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan oleh para kontestan pemilu, pertama, mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau pun mengarahkan pilihan ke calon tertentu, kedua, melarang media massa, media daring, media sosial, dan lembaga penyiaran untuk menyebarkan berita, iklan, atau materi lainnya yang bersifat kampanye untuk kepentingan peserta pemilu, ketiga, larangan bagi lembaga survei untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat yang berkaitan dengan peserta pemilu.
Menariknya dari ketiga larangan tersebut, yang menjadi perhatian adalah bagian kedua yang melarang pemberitaan dan menyebarkan iklan berbentuk kampanye kontestan terkhusus dalam bentuk online atau digital.
Pada konteks ini tentu yang dimaksud bukan secara bisnis (perusahaan media) karena telah ada aturannya, namun bagaimana dengan mereka para pengguna internet di media sosial seperti facebook, tiktok, Instagram, twitter atau X, bahkan whatsapp yang melakukan kampanye dengan akun pribadinya untuk membahas isu seputar capres dan cawapres maupun kandidat calegnya?
Pengguna Internet di Masa Tenang
Menurut data we are social, jumlah pengguna internet di Indonesia per januari 2023 mencapai 77 persen atau sebesar 213 juta orang dari total populasi sebanyak 276,4 juta orang dan ada sekitar 167 juta pengguna media sosial atau 60,4% dari jumlah populasi. keseluruhan pengguna media sosial yang paling banyak adalah whatsapp 92,1 persen, Instagram sebanyak 86,5 persen, facebook ada 83,8 persen, tiktok sebesar 70,8 persen, dan X sebesar 60,2 persen.
Populasi orang didunia digital sebanyak itu bisa dibayangkan jika 82 persen atau sekitar 175 jutaan dari mereka (mengikuti angka partisipasi pemilih tahun 2019) melakukan pembicaraan tentang kontestan pemilu (capres, cawapres, dan caleg) di ruang maya pada saat masa tenang yang mengarah kepada kampanye, maka apakah waktu 3 hari tersebut bisa disebut masa tenang? Apa sanksinya bagi akun pribadi tersebut?
Perlu diakui makna kampanye sendiri sangat multi tafsir sehingga secara tersirat akan mengalami kelemahan yang dapat dimanfaatkan termasuk dimasa tenang.
Sederhananya kampanye adalah komunikasi untuk mempromosikan, memperkenalkan sesuatu kepada khalayak umum sehingga semakin banyak orang didunia maya yang menyebut dan berdebat baik program dan nama calon maka secara tidak langsung proses kampanye sedang berlangsung dalam dialog.
Kampanye Terselubung Dimasa Tenang
Kita harus mengakui memang dalam perjalanan kepemiluan di bangsa ini tidak ada aturan yang mengikat kampanye didunia maya oleh akun pribadi termasuk dimasa tenang.
Meskipun pada 2019 lalu kominfo dapat melakukan penghapusan postingan pada akun pribadi yang dinilai berkampanye di dunia maya, hanya saja setiap orang dapat membuat lebih dari 1 akun sehingga ibarat pepatah mati satu tumbuh seribu.
Fenomena kampanye di masa tenang dapat terlihat dari berbagai postingan yang sengaja di pasang di status whatsapp atau media sosial pribadi.
Lihat saja masa tenang telah melewati hari kedua, namun masih banyak bergentayangan postingan bahkan akun bersponsor milik perserta pemilu di media sosial seperti Instagram, facebook, dan tiktok masih aktif dengan tampilan memuat wajah dan nama kandidat bahkan masih ada yang memuat lengkap dengan nomor urut caleg dan partai politik.
Adapula yang mensiasatinya dengan memposting cerita kampanye yang telah lalu dengan judul masih “belum move on”, atau sejenisnya yang menggambarkan kalau masih mengenang peristiwa kampanye itu, padahal secara tersirat ingin melakukan penggiringan persepsi publik dengan mengulang gambar dan nama peserta dalam bentuk narasi yang berbeda.
Bahkan ada yang menjadikan foto profil whatsapp atau akun sejenis Instagram dan facebooknya dengan foto atau simbol-simbol kandidat pilihannya sehingga sulit untuk menjadikannya suatu temuan.
Meskipun bawaslu telah menekankan bahwa akan melakukan patroli siber ke akun terdaftar milik peserta pemilu, parahnya yang melakukan kampanye di masa tenang adalah akun relawan, simpatisan, dan pendukung yang tidak terdaftar secara resmi di KPU.
Sanksinya Masih Membuat Tenang
Sanksi yang diberikan oleh bawaslu pun mulai dari pidana hingga teguran ringan secara administratif. Sanksi pidana hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan dengan dugaan yang mempermasalahkan pancasilam UUD 1945, ujaran kebencian, hoax, dan menyebar isu SARA, artinya selain itu sanksi terberat adalah administratif hingga penutupan akun oleh kementerian kominfo untuk akun tersebut, lantas adakah efek jeranya?
Setiap pemilu ke pemilu kita tidak pernah menemukan sanksi yang membuat orang berkampanye di media sosial di tahapan masa tenang menjadi jera termasuk para kandidat peserta pemilu, hal itu karena tidak ada sanksi yang bisa membatalkan kepesertaannya jika berkampanye di masa tenang melalui media sosial.
Kecuali jika sanksi tersebut berupa pengumuman di publik dengan peringkat per hari selama masa tenang yang memuat daftar caleg maupun capres dan cawapres yang melakukan pelanggaran kampanye di masa tenang menggunakan medsos, hasil itu tidak hanya di dapat melalui akun terdaftar pada peserta namun siapa pun baik itu akun simpatisan, pendukung, dan relawan yang tidak terdaftar selama ia mengkampanyekan kandidat di masa tenang maka masuk sebagai kampanye kandidat tersebut.
Contoh lainnya viral hasil survei exit poll pemilu Indonesia di luar negeri yang menghimpun kemenangan paslon kandidat pilpres 2024, padahal KPU telah menegaskan pada larangan masa tenang tidak ada rilis jajak pendapat, survei, atau pun sejenisnya hingga pencoblosan 14 februari nanti selesai dilakukan di seluruh Indonesia.
Akibat kabar itu jagat ruang maya sangat heboh dan informasi yang tidak benar pun menjadi konsumsi public luas yang mengganggu masa tenang.
Sesuai dengan namanya, tentu masa tenang haruslah memberikan ruang pada masyarakat untuk streril dari berbagai isu yang memuat kampanye peserta pemilu guna untuk menjernihkan pilihannya pada rabu 14 februari 2024 mendatang untuk memilih pemimpin dan wakilnya.
Jika di media sosial masih banyak akun yang menebar kampanye kandidat maka yang ada masyarakat tidak dapat menikmati tahapan masa tenang dengan preferensinya sendiri. (*)