PENDIDIKAN karakter hakikatnya adalah upaya untuk memanusiawikan manusia. Manusiawi dalam pengertian di sini adalah manusia yang utuh, paripurna, dan sempurna karakternya.
Murtadha Muthahhari menyebutnya dengan insan kamil. (Murtadha Muthahhari, 2012) Pandangan semacam ini sulit memungkiri berangkat dari pemikiran humanisme. Hal ini sejalan dengan pandangan humanisme tentang pendidikan, sebagai pendidikan manusia.
Melalui pendidikan karakterlah, berbagai potensi manusia akan bertumbuh dan berkembang mencapai derajat manusiawinya, yang tertata pola pikirnya, termanifestasikan sikap dan tingkahlakunya yang baik.
Pendidikan karakter pula yang menjadi sebab, manusia melepaskan diri dari kebodohannya, mengetahui lebih banyak dari sebelumnya, dan menjadi lebih baik perangainya ketimbang sebelumnya. Pendidikan karakter adalah sebab manusia menjadi dewasa dan berkarakter.
Perhatian tentang pentingnya pendidikan karakter ini telah disadari oleh banyak pemerhati. Meski tidak secara langsung menyebut istilah pendidikan karakter, namun arah dari apa yang menjadi pendapatnya, jelas mengarah pada pendidikan karakter dan keutamaannya.
HAR Tilaar (2004) misalnya, menyebut pendidikan sebagai usaha sadar untuk memberdayakan manusia, yaitu manusia-manusia yang memiliki kemampuan berpikir kreatif, yang mandiri dan bisa membangun tidak hanya dirinya tetapi juga masyarakat di sekitarnya.
Hal ini jelas sama saja maksudnya, bahwa pendidikan sebagai kerja-kerja untuk menghasilkan individu-individu yang manusiawi, berdayaguna, dan memiliki pengaruh di tengah-tengah masyarakatnya, dan serta dapat bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri dan orang lain, dengan karakternya yang luhur.
Walaupun tidak secara langsung menyebut pendidikan karakter, tetapi pendapat Tilaar tentang pendidikan ini sangat beririsan dengan maksud pendidikan karakter.
Puasa Ramadhan, Media Mendidik Karakter Anak
Ramadhan menjadi momentum yang baik untuk memperkuat pendidikan karakter pada anak-anak. Kaitannya dengan ini, ibadah puasa relevan untuk memberikan pengalaman belajar yang positif terhadap karakter mereka.
Orang tua perlu memperkuat posisinya untuk ini, sebagai contoh, misalkan mengajarkan ke anak-anak mereka bagaimana puasa selayaknya adalah latihan mengendalikan hawa nafsu disertai dengan memperbanyak amal kebajikan.
Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan jelas menjadi media penting untuk memperkuat karakter anak. Meski tidak ada orang lain yang melihatnya, anak-anak tetap taat, tidak mau makan dan minum di siang hari.
Semua itu didasari ketakwaan dan keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui. Melalui ini, anak secara tidak langsung diajari mengenai esensi penting dalam ibadah puasa, yaitu sebagai media memperkuat akhlak atau integritas diri.
Dengan demikian, harapannya setelah Ramadhan usai, diharapkan kesalehan spiritual dan sosial sang anak akan meningkat. Kalau saja karakter dan ketaatan kepada Allah dapat dijaga di bulan-bulan yang lain, seharusnya akan berpengaruh besar dalam pembentukan karakter mereka.
Maka dari itu, buat orang tua, manfaatkan betul bulan suci ini sebagai momentum membangun karakter anak. Suatu pepatah mengatakan, “At ta’alumu fishogiri kannaqsyi alal hajari.” (Belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu). Bekasnya akan terlihat, manakala mereka sudah tidak usia anak-anak lagi. (*)