Opini post authorBob 18 Desember 2020

Menguji Demokrasi di Tengan Pandemi

Photo of Menguji Demokrasi di Tengan Pandemi Bambang Hermansyah, S.Sos, M.I.PAlumni Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

SEBAGAIMANA kita ketahui Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota dengan melibatkan sekitar 105 juta pemilih. Semula, pemungutan suara Pilkada akan digelar pada 23 September. Namun, akibat wabah Covid-19, hari pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020.

Kebutuhan Rakyat atau Kesepakatan Elit ?

Penundaan jadwal Pilkada ini dapat kita maklumi, karena jika pilkada digelar sesuai jadwal ditengah bahaya Covid-19 yang masih tinggi dan masyarakat belum terbiasa dengan adaptasi kebiasaaan baru (AKB) maka resiko yang ditimbulkan semakin besar dan tidak bisa diprediksi.

Penundaan Pilkada ini juga sebagai bukti bahwa pemerintah menjunjung tingggi prinsip salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi).

Meski banyak ormas, tokoh masyarakat, pakar politik, ahli kesehatan yang merekomendasikan agar Pilkada ditunda kembali di tahun 2021 atau dalam kondisi Covid-19 yang bergerak landai atau dalam kondisi yang bisa dikendalikan.

Dalam survey Indikator Politik menyebutkan bahwa 63,1 persen masyarakat menginginkan Pilkada bulan Desember 2020 ditunda. Selain itu Perppu No.02 tahun 2020 memberikan peluang untuk Pilkada bisa ditunda sampai wabah bisa dikendalikan.

Di tengah desakan banyak pihak, pemerintah tetap memutuskan Pilkada akan diselenggarakan tahun 2020 bulan Desember meski pandemi masih “menghantui” kita bersama. “Kengototan” pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada Desember 2020 akhirnya menimbulkan tanda tanya, ada apa?

Banyak pihak menduga “keengganan” pemerintah untuk tidak menunda Pilkada Desember 2020 dikarenakan banyak anak atau kerabat pejabat yang ikut dalam kontestasi tersebut, misalnya Anak dan Menantu Presiden ikut maju di Pilkada Kota Solo dan Kota Medan.

Ada anak Menteri Sekretaris Kabinet maju di Pilkada Kediri, keponakannya Menteri Pertahanan dan Anaknya Wakil Presiden ikut kontestasi di Pilkada Kota Tangerang Selatan.

Secara hukum, pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi memiliki payung hukum yang kuat yakni Perppu No 02 Tahun 2020. Artinya, pelaksanaan Pilkada bukan semata kemauan pemerintah atau penyelenggara Pilkada tetapi amanat undang-undang dalam hal ini Perppu.

Tentu kita berharap ini bukan hasil kesepakatan dan kemauan para elit, pengauasa dan pengusaha seperti dugaan banyak pihak tetapi karena wujud dari kedaulatan rakyat.

Standar internasional untuk pemilu yang merujuk pada Deklarasi Universal HAM 1948 dan Kovenan Internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik, maupun berbagai konvensi serta komitmen mengenai pemilu demokratis menyepakati salah satu standar pemilu demokratis adalah penyelenggaraan pemilu yang berkala (IDEA, 2005).

Menghindari Banyak Resiko ?

Sampai saat ini belum ada satu pun ilmuwan, peneliti, maupun lembaga dalam negeri maupun luar negeri yang mengetahui kapan pandemi ini akan berakhir. Jika Pilkada dilakukan mengikuti berakhirnya Covid-19 maka Pilkada tidak jelas kapan akan terlaksana, resikonya akan terjadi kebuntuan politik di daerah yang berakibat bertambahnya masalah sosial di masyarakat selain masalah ekonomi dan kesehatan yang diakibatkan Covid-19.

Pelaksanaan pesta demokrasi di tengah pandemi tidak saja dilakukan oleh negara kita, tetapi juga dibanyak Negara. Ada sekitar 30 negara yang melaksanakan pemilu di tengah pandemi diantaranya Jerman, Perancis, Korea Selatan, Paraguay, Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Austria dan Polandia. Namun jika membandingkan tingkat penyebaran Covid-19, fasilitas kesehatan, jumlah dan kualitas tenaga medis beberapa Negara tersebut kita akui, Indonesia perlu banyak belajar dari mereka.

Resiko yang besar menyelenggarakan Pilkada di masa pandemi juga “melahirkan” anggaran Pilkada yang fantastis, Kemendagri menyebut total anggaran Pilkada 2020 secara nasional “menelan” biaya kurang lebih 15 triliun rupiah.

Anggaran yang sangat besar ini harus berimbang dengan hasil Pilkada yaitu menjamin masyarakat tetap aman dan sehat serta melahirkan Kepala Daerah yang benar-benar mampu memberikan kemajuan kepada daerah dan masyarakatnya, salah satu ukurannya adalah berhasil meminimalisir penyebaran Covid-19 dan mampu meningkatkan ekonomi dan pembangunan daerah.

Sosialisasi dan Sanksi tanpa Basa-Basi

 

Ditundanya Pilkada dari September menjadi Desember 2020 dapat dijadikan momentum untuk mensosialisasikan penerapan protokol kesehatan lebih maksimal dan ketat kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama kepada penyelenggara dan peserta Pilkada.

Serangkaian kesepakatan dan aturan untuk tetap menerapkan protokol kesehatan yang disertai sanksi dalam Pilkada telah dibuat oleh pemerintah dan penyelenggara Pilkada untuk dipatuhi oleh peserta Pilkada, Tim Sukses (Timses) dan masyarakat, memberikan optimisme bahwa Pilkada 2020 berakhir baik-baik saja, tidak menjadi sumber atau cluster baru Covid-19.

Janji pemerintah dan penyelenggara Pilkada untuk menindak tegas setiap pelanggar protokol kesehatan dalam Pilkada sampai dengan sanksi diskualifikasi Calon Kepalad Daerah sangat dinantikan masyarakat sebagai “garansi” bahwa Pilkada tetap aman dan sehat di tengah pandemi.

Kita mengetahui bersama bahwa Pilkada ada “petarungan” para elit, namun bukan berarti mengabaikan protokol kesehatan, “menumpulkan” tegaknya peraturan, ini momentum agar kita tidak membiasakan diri berkompromi dalam penegakan hukum, jangan ada rasa segan dan enggan untuk memberikan sanksi tanpa melihat Calon Kepala Daerah itu siapa dan dari partai apa., tidak ada sanksi yang basa- basi. Rakyat ke TPS mepertahukan kesehatannya, bahkan nyawanya!

Bahwa Pilkada tahun 2020 tidak hanya menguji demokrasi di tengah pamdemi, tetapi juga menguji pandemi di tengah pesta demokrasi. Disatu sisi penyelanggara Pilkada harus meningkatkan partisipasi pemilih masyarakat ditengah pandemi (dengan rendahnya  partisipasi pemilih akan mengurangi legitimasi Pilkada itu sendiri). 

Di sisi yang lain penyelenggara Pilkada juga harus menjamin bahwa semua yang terlibat dalam Pilkada aman dan sehat walafiat.  Ada ratusan juta pemilih yang akan mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) ini sebagai bukti bahwa masyarakat patuh terhadap pemerintah meski dihantui rasa takut akan bahaya Covid-19.

Kita berharap pemerintah, peserta dan penyelanggara pilkada, aparat kemanan harus “membayar lunas” rasa takut masyarakat dengan benar-benar menegakan aturan dalam setiap tahapan pilkada, terutama aturan protokol kesehatan.

Dengan kalimat lain, Pilkada 2020 adalah pertemuan antara suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox populi, vox Dei) dan prinsip salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) serta equality before the law (semua orang sama di depan hukum)

Dari Bilik Suara ke “Bilik Gadget”

Pandemi telah mempercepat masyarakat kita untuk terbiasa dengan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) mulai dari belajar daring, transaksi online, transportai online, rapat online dan lain sebagainya.

Jika masyarakat sudah terbiasa dengan TIK, sudah saatnya pemerintah dalam hal ini penyelenggara pemilu untuk memikirkan atau mencari format bagaimana Pilkada atau Pemilu langsung kedepan beralih dari bilik suara (TPS) ke “bilik gadget” atau pemilihan elektronik atau E-Voting atau digitalisasi pemilu.

Tentu “bilik gadget”ini dikuti dengan fasilitas, sarana, prasarana infrastruktur jaringan elektronik yang memadai sampai ke pelosok negeri dengan sumber daya manusia (SDM) yang mumpumi. Jika Pemilu atau Pilkada akan datang mampu kita selenggarakan secara digital maka kondisi luar biasa seperti wabah atau bencana lainya tidak akan menggangu tahapan Pemilu atau Pilkada, Selain itu anggaran jauh lebih efesien, salah satunya karena digital tidak memerlukan kertas atau surat suara yang “memakan” biaya besar, waktu yang diperlukan jauh lebih efektif karena hasilnya bisa diketahui sekian menit atau jam dan kampanye bisa dilakukan secara online.

Situasi Pilkada saat ini mengingatkan kita akan-kata dari Moh. Hatta: “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.

Jangan mengharapkan bangsa lain respek terhadap bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesama saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan Ibu Pertiwi.” (*)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda