Opini post authorBob 18 Desember 2024

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, Apakah Ancaman bagi Demokrasi ?

Photo of Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, Apakah Ancaman bagi Demokrasi ? Khoirul Anam, S.Sos., M.Sos, Pegiat Pemilu di Kalimantan Barat

RENCANA pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh DPRD merupakan sebuah gagasan yang tidak mengedepankan asas demokrasi. Sejatinya, kepala daerah adalah simbol representasi masyarakat yang memahami baik buruknya calon pemimpin adalah rakyat itu sendiri.

Menghilangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung bukan hanya mengurangi nilai-nilai demokrasi, tetapi juga dapat memicu peningkatan politik transaksional dan kepentingan pribadi di dalam partai politik.

Proses ini dikhawatirkan akan mengurangi akuntabilitas dan transparansi dalam pemilihan kepala daerah. Memang benar, demokrasi memerlukan evaluasi. Namun, langkah mundur dengan menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD bukanlah solusi yang tepat.

Jika alasan utama munculnya wacana ini adalah tingginya biaya pelaksanaan Pilkada, perlu diingat bahwa akar masalahnya justru terletak pada mahalnya biaya politik yang dikelola oleh partai politik itu sendiri.

Selain itu, politik uang yang kerap terjadi dalam Pilkada menjadi pembelajaran pahit bagi bangsa ini. Masyarakat telah terbiasa dengan praktik money politics yang seolah dilegitimasi oleh para elite politik.

Pilkada serentak sebelumnya memperlihatkan bagaimana rakyat menganggap politik uang sebagai hal yang lumrah, sehingga ketika tidak ada iming-iming materi, partisipasi cenderung menurun.

Mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD justru dapat memperburuk situasi. Pemimpin yang dipilih melalui jalur tersebut berpotensi lebih mengutamakan kepentingan politik dibandingkan aspirasi rakyat.

Hal ini dapat memicu konflik antara DPRD dan masyarakat yang merasa hak-haknya diabaikan.

Lebih jauh, kebijakan ini juga mengancam otonomi daerah dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal.

Prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 harus menjadi landasan utama dalam setiap proses pemilihan pemimpin. Demokrasi adalah milik rakyat, bukan hanya elite politik.

Jika mahalnya biaya Pilkada menjadi alasan utama, maka pemerintah seharusnya mencari solusi lain yang tidak merusak esensi demokrasi itu sendiri. Mari bersama menjaga dan memperjuangkan demokrasi demi kemajuan bangsa.

Sebelumnya, wacana mengenai Pilkada melalui DPRD kembali mencuat ke permukaan, seiring dengan pidato yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada peringatan HUT Partai Golkar ke-60 di Bogor pada 12 Desember 2024.

Dalam pidatonya, Prabowo mengkritik tingginya biaya yang dikeluarkan dalam Pilkada langsung, yang ia anggap terlalu mahal dan boros. Ia menyoroti negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan India, yang dinilai lebih efisien dengan sistem pemilihan yang hanya melibatkan pemilihan anggota DPRD, yang kemudian memilih kepala daerah.

Menurut Prabowo, sistem ini lebih hemat biaya dan dapat mengalihkan anggaran untuk kebutuhan masyarakat seperti pendidikan dan infrastruktur.

Tentu saja, wacana ini bukanlah hal baru. Pada 2014, Indonesia pernah mengalami perdebatan sengit mengenai mekanisme Pilkada. Saat itu, DPR RI melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pilkada.

Fraksi Golkar, PKS, PAN, PPP, dan Gerindra mendukung Pilkada yang dilakukan melalui DPRD, sementara fraksi lainnya seperti PDI Perjuangan, PKB, dan Hanura menentang dan menginginkan Pilkada tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Perdebatan tersebut mencapai puncaknya pada rapat paripurna tanggal 25 September 2014, yang berakhir dengan hasil voting yang memutuskan Pilkada dilaksanakan melalui DPRD.

Meski begitu, tak lama kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2014, membatalkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur Pilkada oleh DPRD dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014, mengubah UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menghapuskan tugas dan wewenang DPRD dalam memilih kepala daerah.

Pembatalan ini dilakukan untuk mempertahankan sistem pilkada langsung yang sudah berjalan.

Namun, dengan terus berkembangnya dinamika politik dan tantangan anggaran, wacana ini kembali muncul di tahun 2024. Beberapa politisi, termasuk Bahlil Lahadalia dan Jazilul Fawaid, kembali mendukung Pilkada melalui DPRD dengan alasan efisiensi anggaran dan untuk menghindari pemborosan.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga ikut menyetujui rencana yang mengemuka tentang penyelenggaraan Pilkada yang dapat dilakukan melalui DPRD.

Pendapat ini disampaikan setelah Tito melihat hasil dari Pilkada Serentak 2024 yang dinilai mengeluarkan biaya besar.

Menurutnya, biaya yang sangat tinggi dalam penyelenggaraan Pilkada langsung seharusnya bisa dialihkan jika pemilihan kepala daerah dilakukan dengan mekanisme lain, yang dinilai lebih efisien.

Sementara itu, partai-partai seperti Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, dan PAN mendukung ide ini, sementara PDI Perjuangan tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan sistem Pilkada langsung demi menjaga kedaulatan rakyat.

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengingatkan bahaya penggunaan instrumen Pilkada sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.

Ia menegaskan, Pemilu harus menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin tanpa intervensi. Megawati juga menekankan pentingnya menjaga integritas Pemilu.

Selain itu, Megawati juga menyoroti manipulasi kedaulatan rakyat demi kepentingan kekuasaan. Pernyataan Megawati ini menjadi panggilan untuk menjaga demokrasi dan memastikan Pemilu tetap berpihak kepada rakyat, bukan kepentingan segelintir pihak.

Sedangkan PKS melalui Mardani Ali Sera, Ketua DPP PKS, menyarankan agar otonomi daerah dievaluasi, dengan konsep baru di tingkat provinsi yang membatasi jumlah kota atau kabupaten maksimal delapan wilayah. Ia juga mengusulkan agar Bupati dan Walikota diangkat oleh Gubernur, seperti di Jakarta.

Menurutnya, model ini lebih efisien dalam anggaran dan pembangunan, serta dapat menciptakan kota layak huni dengan pendidikan berkualitas dan lapangan pekerjaan.

Di tengah perdebatan ini, ada sejumlah pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan. Apakah efisiensi biaya lebih penting daripada hak rakyat untuk memilih langsung kepala daerah mereka? Jika Pilkada dilakukan melalui DPRD, apakah suara rakyat akan tetap terdengar dengan kuat, atau justru akan tereduksi?

Wacana ini membawa kita pada refleksi tentang sejauhmana sistem demokrasi kita memberikan ruang bagi partisipasi rakyat. Tentu saja, efisiensi anggaran dan pengelolaan sumber daya publik sangat penting, tetapi kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin daerah mereka adalah aspek yang tak kalah penting.

Menghadapi tantangan ini, diperlukan sebuah dialog yang terbuka dan konstruktif, di mana semua pihak dapat menemukan solusi yang terbaik untuk masa depan demokrasi Indonesia.

Pilkada langsung oleh rakyat telah menjadi salah satu pilar penting dalam demokrasi Indonesia. Proses ini memberi rakyat kesempatan untuk memilih pemimpin daerah mereka, menjamin akuntabilitas, dan memastikan bahwa suara mereka didengar dalam pemerintahan.

Namun, usulan untuk mengembalikan Pilkada kepada DPRD memunculkan berbagai kritik yang perlu dipertimbangkan dengan serius. (*)

Keywords

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda