PAGI INI, anak saya mulai batuk-batuk, dan saya tahu ini adalah dampak langsung dari kabut asap yang semakin menyelimuti Pontianak dan Kubu Raya. Tentu saja, ini sangat mengganggu.
Di tengah perjalanan mengendarai motor menembus kemacetan kota, kabut asap sudah cukup mengganggu pernapasan kami, terutama saat mengantar anak-anak ke sekolah. Udara pagi ini terasa tidak segar; seakan ada yang menghalangi setiap tarikan napas kami, membuat setiap hembusan udara terasa lebih berat.
Kabut ini lebih dari sekadar polusi yang mencemari udara. Ia adalah simbol dari dosa kita terhadap lingkungan, sebuah bayang-bayang yang terus mengikuti kita. Kabut asap yang menutup langit beberapa hari terakhir bukanlah fenomena alam biasa, melainkan dampak dari perilaku manusia yang telah lama mengabaikan keseimbangan alam.
Setiap hembusan kabut yang meresap ke dalam paru-paru kita adalah pertanda dari ketidaksadaran kita terhadap ekosistem yang kita rusak. Mengingat kita berada di tengah era yang disebut oleh para pemikir seperti Jean Baudrillard sebagai "hyperreality", di mana batas antara realitas dan representasi semakin kabur, kita semakin terlelap dalam simulasi digital yang mengalihkan perhatian kita dari realitas fisik.
Salah satu realitas yang seharusnya kita perhatikan adalah kerusakan lingkungan yang kian parah akibat kebiasaan buruk manusia.
Dalam tulisan The Tao of Islam (1992) oleh Sachiko Murata, penulis mengajukan sebuah konsep yang sangat relevan dalam konteks ini: keterhubungan antara manusia dan alam. Menurut Murata, dalam Islam, alam semesta bukan hanya sekadar objek yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, tetapi merupakan bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dihargai dan dijaga dengan penuh rasa hormat.
Dalam pandangan ini, kabut asap bukan sekadar gangguan fisik, tetapi juga manifestasi dari dosa kita terhadap alam, yang dalam bahasa Murata, adalah ketidakmampuan kita untuk menjalani prinsip keharmonisan dengan alam.
Kabut asap ini bahkan adalah gambaran nyata dari dosa-dosa kita yang sudah lama terabaikan. Setiap kali kita membakar hutan untuk membuka lahan, kita sebenarnya sedang menciptakan lapisan kabut yang menutupi kesadaran kita akan hubungan yang lebih dalam dengan alam.
Apa yang terjadi di hutan, dengan kebakaran yang meluas, adalah ekspresi dari ketidakpedulian kita terhadap keseimbangan yang telah ada sejak lama.
Dan kini, kabut asap itu datang sebagai bayang-bayang dosa yang terus mengikuti kita, menghalangi pandangan kita terhadap bumi yang seharusnya kita rawat.
Masyarakat kita, terjebak dalam rutinitas sehari-hari dan kebiasaan instan yang ditawarkan oleh dunia digital, seringkali lupa bahwa segala tindakan kita berpengaruh pada alam.
Ketika kita membakar sampah atau menggunakan bahan kimia berbahaya dalam pertanian, kita seakan-akan hanya melihatnya sebagai tindakan kecil yang tidak memberi dampak besar.
Namun, pada kenyataannya, kebiasaan-kebiasaan kecil itu telah menciptakan ekosistem yang rapuh, dan kabut asap adalah salah satu dampaknya.
Bagaimana menebusnya?
Namun, di balik kabut asap yang menyelimuti kota ini, terdapat harapan untuk perubahan. Bagaimana menebusnya? Mungkin jawabannya terletak pada kesadaran kita akan hubungan antara manusia dan alam.
Jika kita kembali pada ajaran-ajaran yang menekankan keharmonisan antara keduanya, kita mulai menyadari bahwa setiap kebiasaan kita—baik yang besar maupun kecil—memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan.
Sachiko Murata dalam The Tao of Islam (1992) menggambarkan bahwa keseimbangan bukan hanya sebuah konsep metafisik, tetapi juga nilai yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, setiap langkah kecil yang kita ambil untuk mengurangi kerusakan lingkungan—seperti mengurangi penggunaan plastik atau memilih transportasi yang lebih ramah lingkungan—dapat menjadi langkah penting dalam proses pemulihan, sebagai bentuk penebusan terhadap dosa kita pada bumi.
Kabut asap ini juga memberikan kita kesempatan untuk bertanya pada diri sendiri: apa yang telah kita lakukan untuk mengurangi kerusakan yang kita sebabkan?
Bagaimana kita bisa mengubah kebiasaan buruk kita, seperti kebiasaan membakar sampah atau menggunakan energi fosil secara berlebihan, untuk menjadi lebih ramah terhadap lingkungan? Ini adalah pertanyaan yang harus kita jawab, dan dalam menjawabnya, kita perlu mulai dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan kecil kita.
Salah satu cara untuk memulainya adalah dengan menyadari bahwa setiap tindakan kecil yang kita lakukan dapat menjadi bagian dari solusi.
Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, memilih sumber energi terbarukan, atau bahkan sekadar mengurangi konsumsi plastik sekali pakai, semuanya adalah tindakan yang dapat memberikan dampak besar jika dilakukan secara konsisten.
Dengan kata lain, kita perlu menanamkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang bisa menjadi kebiasaan baik yang teratur, sehingga dapat menciptakan perubahan yang lebih besar.
Namun, untuk melakukan perubahan ini, kita harus berani keluar dari zona nyaman kita. Di era digital, kita seringkali terjebak dalam kenyamanan yang ditawarkan oleh teknologi.
Kita tidak lagi merasakan dampak langsung dari kebiasaan buruk kita terhadap alam karena kita terisolasi dalam dunia virtual.
Namun, kabut asap ini adalah pengingat keras bahwa realitas fisik—dunia tempat kita hidup—terus dipengaruhi oleh kebiasaan kita. Di sinilah pentingnya kesadaran lingkungan yang dimulai dari perubahan pola pikir kita terhadap alam.
Sachiko Murata mengingatkan kita bahwa dalam ajaran Islam, kita diajarkan untuk menghargai alam sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dihormati.
Jika kita mengabaikan prinsip ini, maka kita tidak hanya berdosa terhadap alam, tetapi juga terhadap diri kita sendiri dan generasi yang akan datang.
Dosa kita terhadap alam tidak akan hilang begitu saja, dan kabut asap ini adalah pengingat bahwa kita perlu bertindak sekarang untuk mengubah kebiasaan buruk kita dan menghindari dosa lebih lanjut terhadap lingkungan.
Dalam konteks kabut asap, kita dapat melihat bahwa kesadaran lingkungan tidak hanya penting untuk kesehatan kita sekarang, tetapi juga untuk masa depan.
Jika kita tidak segera bertindak, dampak dari kebiasaan buruk kita akan semakin memburuk, dan kabut asap ini mungkin akan menjadi pemandangan yang biasa kita lihat setiap tahun.
Oleh karena itu, kesadaran akan dampak dari setiap kebiasaan kita harus menjadi bagian dari budaya kita—budaya yang tidak hanya peduli pada kenyamanan saat ini, tetapi juga pada keberlanjutan dan kelestarian alam bagi generasi mendatang.
Kabut asap ini bisa menjadi momen bagi kita untuk merenung dan mengambil langkah-langkah kecil namun penting menuju perubahan.
Setiap kebiasaan yang kita ubah, sekecil apapun itu, bisa mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.
Menggunakan transportasi publik daripada kendaraan pribadi, mengurangi penggunaan plastik, dan menanam pohon adalah langkah-langkah kecil yang dapat memberi dampak besar jika dilakukan secara konsisten oleh setiap individu.
Dengan memulainya dari diri sendiri, kita tidak hanya mengurangi kerusakan yang telah terjadi, tetapi juga memberikan contoh kepada orang lain bahwa perubahan itu mungkin.
Jika kita semua mulai mengubah kebiasaan buruk kita, maka kabut asap yang selama ini menjadi bayang-bayang dosa kita, bisa mulai menghilang, dan kita bisa hidup dalam dunia yang lebih bersih dan sehat.
Sebagai penutup, kabut asap bukan hanya sekadar gangguan fisik, tetapi juga peringatan dari alam bahwa dosa kita terhadap lingkungan sudah sampai pada titik yang mengkhawatirkan.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh James Clear (2018), perubahan bisa dimulai dari kebiasaan kecil yang kita lakukan setiap hari.
Dengan mengubah kebiasaan buruk kita, kita bisa menanggulangi kabut asap ini dan kembali menghidupkan hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Dengan begitu, kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik, tidak hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi mendatang. (*)