Opini post authorBob 26 Januari 2023

Discourse Analysis Gender

Photo of Discourse Analysis Gender Mahasiswa Doktoral Sosiologi UMM, Amalia Irfani

Penulis: Amalia Irfani

Mahasiswa Doktoral Sosiologi UMM

 

Tercerahkan, adalah satu dari beberapa rasa dalam kata yang tepat untuk melukiskan perasaan penulis saat mendapat ilmu, pengetahuan dan motivasi hangat dari sosok perempuan hebat yang berkomitmen untuk memberi banyak kebaikan kepada negeri salah satunya melalui kajian ilmu.

Perempuan harus berpikir realistis, harus cerdas memahami situasi untuk tidak menjadi bagian beban laki-laki, sebab berdaya perempuan akan juga melahirkan generasi tangguh yang siap menghadapi gelombang hidup yang tak pasti. Perempuan cerdas tersebut bernama Harmona Daulay, Dosen sosiologi Universitas Sumatera Utara dan menjabat sebagai Ketua Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI).

Dalam pemaparannya tentang analisis wacana pada studi gender dalam sosiologi, pada kuliah tamu Doktoral Sosiologi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) selasa (24/01),

Bu Mona sapaan akrabnya memberikan paradigma lain untuk para mahasiswa Doktoral dan magister yang sedang proses tahap akhir (disertasi/tesis) dalam melihat fenomena masyarakat tidak hanya dari kajian lapangan.

Tetapi bisa mencoba sebuah paradigma baru yang jika dijadikan metodelogi dalam membedah suatu fenomena terasa berbeda, sebab menghadirkan kritik dalam relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Relasi Gender

Berbicara tentang gender harus dari banyak perspektif, banyak pemahaman dan juga telaah serta berusaha tidak terbawa “alam” penafsiran sempit. Hal ini karena relasi antara laki-laki dan perempuan belum menemukan titik temu pasti.

Perempuan masih dianggap sebagai makhluk lemah, tidak berdaya dan hanya harus dirumah. Di kehidupan sosial pun, kekerasan terhadap perempuan masih melekat kuat bahkan menjadi budaya yang dianggap biasa dan sah-sah saja.

Harmona Daulay mengurai bagaimana kekerasan berbasis gender seringkali terjadi disekitar kita, dan bisa jadi kita bagian dari aktor kekerasan tersebut.

Bullying adalah salah satunya, dimana perempuan akan selalu terstigma tidak baik hanya karena status yang tidak bisa ia pilih. Status sebagai single parent atau janda entah kenapa selalu menjadi pemantik kesan kurang baik. Berbeda jika mengungkapkan status laki-laki, walaupun tidak selalu laki-laki dengan verbal positif, perempuan lebih cenderung mendapat kekerasan simbolik, karena ketidakberdayaannya.

Hal yang harus bersama kita jadikan kesepahaman jika tujuan memberikan porsi adil dalam rangka menunjang pembangunan nasional dapat terwujud. Harmona menggarisbawahi, laki-laki dan perempuan ibarat kepala dan leher, tidak ada hubungan mendominasi tetapi hubungan egaliter dan saling melengkapi. Relasi yang sebetulnya dapat terbangun dengan baik jika pemahaman tidak sekedar tahu saja, tetapi dijadikan acuan bertindak dalam kehidupan sosial.

Hak dan Keadilan Gender

Negara menjamin semua penduduknya mendapat hak yang sama dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan bahkan perlakuan hukum. Undang-undang nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional menjelaskan bahwa perempuan berhak mendapatkan hak dan kebebasan yang sama untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam proses pembangunan nasional.

Undang-undang tersebut secara terang menjelaskan ada ruang yang sama diberikan kepada laki-laki dan perempuan untuk dapat mengeksplorasi diri sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat bermanfaat bagi lingkungan keluarga dan masyarakat.

Sebagai contoh kasus yang hingga hari ini masih menjadi pekerjaan rumah bangsa, kuota tiga puluh persen keterlibatan perempuan dalam politik yang masih belum bisa tercapai.

Padahal banyak perempuan yang sebetulnya cakap namun tidak memiliki modal ekonomi dan sosial untuk tampil. Sesungguhnya jika kuota tersebut terpenuhi sudah sangat mengakomodir hak dan keadilan perempuan dalam kehidupan berbangsa bernegara.

Secara formal diberi porsi dan dilindungi hak-haknya, namun berbeda secara non formal. Masih banyak kita temui pemahaman dan perlakuan yang menunjukkan diskriminatif.

Dianggap kurang mampu atau tidak layak memangku suatu jabatan tertentu merupakan hal jamak kita temui. Harmona Daulay mengajak agar kita tidak lagi berpikir etnosentris, dan tidak menjadikan landasan agama menutup ruang bergerak perempuan.

Agama menurutnya panduan yang tidak lagi bisa diperdebatkan, tetapi dalam ranah sosial memberikan ruang bergerak kepada perempuan agar lebih berdaya adalah sebuah ketahanan generasi sebab perempuan melek pendidikan, cerdas sosial akan juga melahirkan generasi cemerlang.

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda