Opini post authorBob 27 Juli 2020

Kurikulum di Masa Pandemi

Photo of Kurikulum di Masa Pandemi Oleh:Syamsir Alam, Divisi Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma

Oleh:

Syamsir Alam, Divisi Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma

PANDEMI covid-19 memengaruhi hampir semua sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor pendidikan. Pengaruh pada sektor pendidikan, terutama pada kelompok anak (yang sangat membutuhkan), bahkan semakin memburuk jika dibandingkan dengan sebelumnya karena dipicu dengan berbagai persoalan ekonomi dan akses (terhadap lingkungan belajar yang baik). Sementara itu, dukungan masyarakat dan pemerintah terhadap kelompok anak ini masih dirasakan sangat kurang.

Sayangnya, diskusi yang mengemuka pada sejumlah forum webinar hari-hari ini masih belum menyentuh persoalan mendasar anak, khususnya kelompok anak (yang sangat membutuhkan), yaitu bagaimana cara memperbaiki learning loss (kehilangan pembelajaran) yang mereka sudah alami dan rasakan selama beberapa bulan terakhir.

Sementara itu, diskusi tentang rencana belajar kembali di sekolah yang sedang marak, isunya masih berkisar pada persoalan logistik tentang bagaimana pengelola sekolah memastikan jarak sosial yang sesuai di sekolah, mengatur jadwal pembelajaran yang sebagian berbasis internet dan tatap muka (in person) dengan mempertimbangkan segala keterbatasan dan perbedaan ketersediaan perangkat. ‘Mereka (pengelola sekolah) lebih fokus pada masalah permukaan dan kurang memperlakukan masalah mendasar dalam memberikan pendidikan berkualitas untuk kelmpok siswa (yang sangat membutuhkan)’. (Hanushek E: 2020).

Menurut Hanushek, sekolah harus fokus pada the loss of learning dan kesenjangan prestasi yang diakibatkan oleh terganggunya proses pembelajaran siswa selama beberapa bulan terakhir untuk mempersiapkan semua siswa agar dapat berhasil dalam pembelajaran. Kesenjangan digital juga telah memperparah perbedaan (quality discrepancy) yang disebabkan keterbatasan kemampuan ekonomi (sebagian kelompok) keluarga mendukung dan membimbing anak-anak mereka dalam belajar di rumah. Namun, perlu menjadi perhatian bahwa the loss of learning dan kesenjangan prestasi bukanlah persoalan yang dapat diperbaiki teknologi sendiri. Karena kesenjangan prestasi ini menyangkut bagaimana pimpinan sekolah dan guru mengelola pembelajaran dan kurikulum, termasuk penilaian secara adil dan rigor (berkualitas, menyeluruh, dan akurat), khususnya pembelajaran yang dilakukan secara luring dan daring.

Pembelajaran Jarak Jauh

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) telah menyebabkan kekagetan dan kegamangan pada sebagian pimpinan sekolah dan guru. Mereka berpikir dan bertindak sepertinya kita masih hidup dalam situasi normal, sehingga PJJ yang diselenggarakan baru sebatas memindahkan tempat belajar, dari ruang kelas (di sekolah) ke kamar (di rumah).

Sementara itu, substansi pembelajaran, kurikulum, dan penilaian belum berubah dan disesuaikan sehingga lebih relevan dengan kebutuhan hidup kekinian dan karier pendidikan siswa ke depan. Pimpinan sekolah dan guru bekerja dengan penuh kegamangan. Apalagi, Kemendikbud juga belum mendiskusikan secara mendalam persoalan pokok pendidikan ini, sehingga dapat memberikan acuan yang jelas dan terukur tentang bagaimana mengelola kurikulum dan pembelajaran (termasuk penilaian) selama masa darurat ini.

Sekolah-sekolah yang memiliki sumber daya yang cukup seharusnya dapat cepat melakukan penyesuaian, karena Kemendikbud sudah memberikan ruang untuk menyesuaikan kurikulum sesuai kondisi satuan pendidikan. Sekolah dapat membedah ulang kurikulum dan mengubah strategi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan saat ini.

Memahami atau Mencapai Target Kurikulum

Mindset guru dalam proses pembelajaran di masa pandemi masih belum banyak berubah maju. Kecemasan akan ketidaktercapaian kurikulum (curriculum coverage) masih menghantui mereka. Guru masih terlalu banyak berfokus pada kegiatan pembelajaran yang terfragmentasi pada topik bahasan yang diskret, bukan menyusun rencana pembelajaran yang koheren untuk sebuah kinerja berjangka panjang.

Karena hanya fokus pada ketuntasan kurikulum, banyak rencana terlalu fokus pada apa yang akan dilakukan guru dan siswa daripada memetakan rencana untuk menyebabkan hasil spesifik dan perubahan dalam kemampuan, sikap, dan perilaku (Wiggins G: 2013). #Yang lebih mengejutkan, menurut Wiggins, sejumlah rencana pembelajaran disusun tidak menjadikan keterlibatan siswa (student engagement) sebagai pertimbangan utama. Wiggins memberikan berbagai resep buat guru dalam mendesain pembelajaran bermakna (meaningful) yang menurut hemat penulis sangat relevan bila digunakan pada situasi pembelajaran di masa pandemi sekarang ini.

Wiggins menyarankan guru agar selalu mengajukan sejumlah pertanyaan untuk diri sendiri saat membuat desain pembelajaran, antara lain guru perlu bertanya apakah yang harus dilakukan siswa dengan konten yang akan diajarkan? Standar konten dan tujuan apa yang terkait dengan program yang menjadi target dari unit ini?

Kemudian, fakta dan konsep dasar apa yang harus diketahui siswa sehingga mereka dapat mengingat dan menggunakannya dalam jangka panjang? Kriteria apa yang akan digunakan dalam setiap penilaian untuk mengevaluasi pencapaian hasil yang diinginkan? Penilaian apa yang akan memberikan bukti yang valid tentang sasaran? Bagaimana guru melakukan penilaian pendahuluan (preasess) dan penilaian formatif? Bagaimana guru melakukan penyesuaian--jika diperlukan berdasarkan umpan balik--hasil penilaan formatif?

Penilaian Formatif

Grand Wiggins menekankan pentingnya penggunaan penilaian formatif dalam pembelajaran bermakna. Penilaian formatif merupakan penilaian yang terintegrasi dengan pembelajaran. Informasi hasil dari penilaian formatif digunakan sebagai dasar pemberian feed back (umpan balik) bagi kemajuan belajar siswa. Feed back (umpan balik), ketika digunakan sebagai bagian dari sistem penilaian formatif, efeknya akan sangat efektif untuk meningkatkan prestasi siswa. Sebaliknya, umpan balik jika hanya digunakan sebatas formalitas, akan menjadi kurang berguna.

Seperti dikemukakan John Hattie dan Helen Timperley (2007), ‘Umpan balik tidak memiliki pengaruh dalam ruang hampa. Agar berpengaruh kuat, harus ada konteks pembelajaran umpan balik itu ditujukan.” Hattie dan Timperley (2007). Lebih lanjut, mereka mengatakan sistem penilaian formatif memiliki tiga komponen: umpan (feed up), umpan balik (feed back), dan umpan maju (feed forward). Feed up memastikan bahwa siswa memahami tujuan penugasan, tugas, atau pelajaran, termasuk bagaimana mereka akan dinilai. Umpan balik memberi siswa informasi tentang kesuksesan dan kebutuhan mereka. Feed forward memandu pembelajaran siswa berdasarkan data kinerja.

Ketiganya diperlukan jika siswa ingin belajar di tingkat tinggi. Masing-masing dari ketiga komponen itu memiliki pertanyaan panduan untuk guru dan siswa, yaitu; ‘where am I going?’ (Saya akan ke mana dengan pembelajaran ini)? (feed up); ‘how am I doing?’ (bagaimana saya melakukannya)? (feed-backs); dan ‘where am I going next’ (ke mana saya akan pergi selanjutnya? (feed forward). Wallahualam bissawab. Sumber: Media Indonesia


Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda