Opini post authorBob 28 Januari 2025

Menanam Moderasi Beragama dalam Karakter Sehari-hari

Photo of Menanam Moderasi Beragama dalam Karakter Sehari-hari Syamsul Kurniawan, (Ketua Lembaga Hubungan Umat Beragama dan Peradaban, PW Muhammadiyah Kalimantan Barat)

DI TENGAH kehidupan yang serba cepat dan seringkali penuh dengan ketegangan, kita dihadapkan pada tantangan untuk menemukan keseimbangan, -baik dalam sikap maupun tindakan.

Dalam konteks ini, James Clear menjelaskan konsep kebiasaan dalam bukunya yang berjudul "Atomic Habits" (2018), di mana ia menekankan bahwa perubahan signifikan dapat dimulai dari langkah-langkah kecil.

Filosofi ini sangat relevan dalam usaha kita untuk menanamkan moderasi beragama ke dalam kehidupan sehari-hari.

Kebiasaan kecil, yang dilakukan secara konsisten, tidak hanya membentuk perilaku, tetapi secara bertahap membangun identitas seseorang.

Jika kita dapat mengadopsi kebiasaan positif yang mendukung pemahaman agama secara moderat, maka kita akan mampu memperkuat karakter yang inklusif dan toleran. Moderasi beragama, dalam hal ini, adalah hasil dari rutinitas sehari-hari yang sederhana tetapi berpengaruh.

Tidak Ditanam Dalam Semalam

Mengaitkan hal ini dengan pendidikan karakter, kita perlu menyadari bahwa karakter yang kuat tidak dibangun dalam semalam.

Ia terbentuk melalui kebiasaan-kebiasaan sederhana yang ditanamkan dengan penuh kesadaran. Dalam konteks moderasi beragama, pendidikan tidak hanya dilakukan dalam ruang kelas formal, tetapi juga dalam lingkungan nonformal dan informal.

Di sinilah pentingnya menanamkan kebiasaan positif yang mendorong moderasi beragama. Kebiasaan berbicara santun kepada orang lain, mendengarkan tanpa prasangka, dan menghargai perbedaan agama adalah contoh kebiasaan kecil yang dapat dipupuk dalam setiap interaksi sosial.

Dengan melakukannya secara konsisten, kita membangun fondasi identitas individu yang lebih kuat dan masyarakat yang lebih inklusif.

Lingkungan jelas memainkan peran krusial dalam membentuk kebiasaan moderasi beragama. Seperti yang dinyatakan oleh James Clear (2018), kebiasaan baik memerlukan dukungan dari lingkungan sekitarnya.

Oleh karena itu, lingkungan keluarga, sekolah, dan komunitas harus berperan aktif mengembangkan ruang dialog antaragama, kerja sama lintas kelompok agama, serta penghargaan terhadap perbedaan.

Pendidikan nonformal, seperti majelis taklim dan kelompok belajar, menjadi wadah yang ideal untuk memfasilitasi dialog antaragama.

Dalam konteks ini, kegiatan diskusi yang melibatkan peserta dari berbagai latar belakang agama dapat dibangun menjadi kebiasaan kecil yang memperkuat nilai-nilai toleransi dan saling menghormati. Pengalaman berbagi cerita dan pemahaman akan menciptakan ruang bagi rasa kebersamaan dan empati.

Dalam lingkungan informal, keluarga juga memegang peran penting. Melalui kebiasaan-kebiasaan kecil yang mengajarkan nilai-nilai empati, rasa hormat, dan cinta damai, keluarga dapat menjadi pilar utama dalam menanamkan moderasi beragama.

Saat anggota keluarga dilatih untuk berkomunikasi dengan terbuka dan penuh saling menghargai, mereka akan lebih siap untuk menghadapi perbedaan di masyarakat yang lebih luas.

Ketika kita mengulangi kebiasaan-kebiasaan ini dalam berbagai konteks kehidupan, moderasi beragama akan menjadi bagian integral dari karakter individu dan masyarakat.

Kebiasaan tidak hanya akan membentuk perilaku kita, tetapi juga akan membentuk pandangan hidup yang lebih luas dan lebih inklusif terhadap keberagaman.

Tantangannya

Namun, kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa tantangan besar, seperti ekstremisme, radikalisme, dan ujaran kebencian, masih mengintai kehidupan beragama di Indonesia.

Dalam menghadapi tantangan ini, moderasi beragama menjadi semakin penting. Sikap moderat bukan hanya pilihan, melainkan kebutuhan untuk menjaga keharmonisan umat beragama di tengah keragaman yang ada.

Ekstremisme terwujud dalam dua kutub yang saling berlawanan: satu ekstrem kanan, yang cenderung kaku dalam menafsirkan ajaran agama, dan ekstrem kiri, yang memberi kebebasan berlebihan dalam memahami sumber-sumber ajaran tersebut.

Dalam kedua kasus ini, moderasi menjadi titik temu yang bisa menyelamatkan kita dari keberagaman yang dipenuhi ketegangan.

Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan—baik dalam keyakinan maupun pandangan—sering kali berakar dari pengalaman yang buruk, informasi yang tidak tepat, atau bahkan manipulasi politik.

Di tengah berbagai tantangan ini, pendidikan yang membangun kebiasaan baik dalam konteks moderasi beragama harus diperkuat. Kita harus terus melakukan upaya untuk merangkul perbedaan, bukan justru memisahkan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Agama aktif mempromosikan moderasi beragama. Program pengarusutamaan moderasi beragama ini diharapkan dapat menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih baik antar umat.

Melalui kerjasama antara pemerintah, ormas, dan lembaga pendidikan, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan sikap moderat.

Namun, satu hal yang perlu dicatat: moderasi beragama bukanlah tanda kelemahan. Menjadi moderat bukan berarti kita tidak berpegang teguh pada keyakinan kita.

Moderasi adalah perwujudan kebijaksanaan dalam beragama, mengingatkan kita bahwa keberagaman harus disikapi dengan kebijaksanaan, bukan dengan kebencian atau pemaksaan.

Oleh karena itu, kita harus menanamkan kebiasaan untuk berfokus pada persamaan, bukan perbedaan.

Dengan memperkuat dialog positif dan bersikap terbuka terhadap orang lain, kita akan membangun rasa saling percaya dan mengurangi ketegangan yang ada. Dialog adalah gerakan maju, sebuah jembatan untuk memahami dan diterima.

Butuh Komitmen

Pada akhirnya, pendidikan nonformal dan informal memiliki peran penting dalam membangun karakter moderasi beragama.

Kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita tanamkan dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk individu dan masyarakat yang lebih inklusif dan toleran. Proses edukasi harus terus berlangsung, menyentuh jiwa dan hati setiap individu.

Melalui interaksi sosial, pengalaman hidup, dan berbagai keterlibatan dalam kegiatan masyarakat, kita dapat belajar untuk hidup rukun dalam keberagaman.

Pendidikan karakter yang terintegrasi di dalam setiap aspek kehidupan akan membawa dampak besar bagi pembangunan karakter bangsa yang moderat.

Akhir kata, mari kita komitmen untuk menanamkan moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memulai dari kebiasaan kecil dan lingkungan yang mendukung, kita dapat mewujudkan komunitas yang lebih kuat, lebih toleran, dan lebih damai.

Pendidikan karakter bukan sekadar tujuan, tetapi perjalanan yang harus terus kita jaga dan lestarikan. (*)

Keywords

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda