Oleh: Lani Ardiansyah (Ucup) | Community Organizer Gemawan
“Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat,
wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju”. Kutipan lagu ‘wakil rakyat’ yang dirilis Iwan Fals tahun 1987 itu merupakan bentuk kritik
terhadap politisi di Senayan yang sering tertangkap kamera sedang tidur waktu
siding soal rakyat.
Lagu tersebut jika dihubungkan
dengan kondisi saat ini sebenarnya masih sangat relevan di mana suara anggota dewan
sudah tidak lagi sejalan dengan apa yang diharapkan rakyat. Padahal rakyat memilih
adalah hak yang telah dijamin oleh konstitusi.
Tugas wakil rakyat yang
dipilih memperjuangkan aspirasi rakyat dan mewujudkannya menjadi nyata bukan lotre yang mengharapkan kebetulan semata.
Tali mandate rakyat tidak terputus ketika pemilihan umum usai, namun terus tersambung
ketika wakil rakyat bertugas di parlemen.
Jika hal tersebut selalu terulang,
masih perlukah wakil
rakyat yang selalu memikirkan dirinya sendiri dan mengabaikan hak rakyat yang
telah mengantarkannya duduk di gedung legislatif?
Seharusnya mereka mendahulukan
kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.
Sebab mereka adalah pejabat yang fungsinya menyerap, menghimpun, menampung, dan
menindaklanjuti segala aspirasi rakyat dalam bentuk kebijakan.
Akan tetapi realitanya selama ini, wakil rakyat telah menyelewengkan mandate dan kepercayaan rakyat dengan berperilaku semaunya. Mulai dari korupsi memperkaya diri, hingga membuat rancangan undang-undang yang tidak sesuai dengan amanat reformasi. Mereka telah mengebiri dan membajak demokrasi.
Hal itu dapat dilihat dari
maraknya aksi mahasiswa yang turun ke jalan untuk menuntut beberapa RUU yang
dianggap bermasalah. Misalnya, revisi RUU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pertahanan,
RUU Minerba, RUU Perkelapasawitan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Sumber Daya Air,
RUU PKS.
Dewan Perwakilan Rakyat
justru memaksa pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang korup, otoriter, dan menciptakan
ekonomi yang eksploitatif. Di sisi lain, proses pembahasan RUU tersebut berjalan sangat singkat dan sangat
dipaksakan mengingat saat ini adalah masa transisi kekuasaan wakil rakyat.
Kita tentu tidak mau menjadi
bangsa keledai yang mengulangi kesalahan berulang. Di akhir masa jabatan, SBY
bersama DPR mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur,
Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada).
Keputusan politik ini dianggap
jalan mundur bagi demokrasi karena salah satu pasal krusial dalam UU tersebut mengatur
bahwa kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan dipilih dan
ditetapkan oleh DPRD.
Publik bereaksi dan menyampaikan
protes keras atas kebijakan itu hingga menimbulkan kegaduhan yang meluas. Pada akhirnya,
SBY mengambil langkah menerbitkan Pasal 22 UUD Tahun 1945 yang berbunyi, dalam ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPPU) untuk mengembalikan kuasa rakyat seperti model
sebelumnya yaitu pilkada langsung.
Apakah langkah politik serupa
dapat dilakukan oleh Bapak Presiden Jokowi?
Dinamika politik Pilpres kemarin member pelajaran demokrasi yang sehat, di mana adanya kelompok oposisi terhadap apa pun kebijakan pemerintah. Begitu juga dalam proses kontestasi pilkada selama ini.
Namun semangat oposisi
yang mengkritisi kebijakan pemerintah tidak kita lihat dalam pembahasan beberapa
RUU yang dipaksakan sekarang ini. Terlihat pemerintah dan politisi senayan seperti
satu suara.
Tawaran Solusi
Deskripsi di atas jika diturunkan
dalam konteks lokal, pelantikan anggota DPRD Kalbar 30 September 2019 ini merupakan
momentum bersama untuk memikirkan ulang beberapa agenda yang dapat dilaksanakan;
pertama, menerapkan mekanisme
konsultasi publik terhadap setiap kebijakan yang akan dibuat oleh legislator.
Kedua, gerakan cabut mandat dengan mekanisme recall dikembalikan kepada rakyat minimal usulan dari dapil. Ketiga, tanggung gugat wakil rakyat dengan
membuat citizen report card yang di-publish per enam bulan untuk evaluasi kinerja
wakil rakyat yang bertugas.
Jika memang Rakyat sudah
tidak memiliki perwakilan dalam setiap aspirasi dan tidak pernah dilibatkan dalam
suatu rumusan (partisipatif) untuk apalagi kita memiliki legislatif yang
katanya sebagai wakil rakyat. Maka hanya ada satu kata: LAWAN!