Usman bin Tilam (25)
sempat ragu ketika bergabung ke Persatuan Pemadam Kebakaran Jeruju (PPKJ),
pertengahan 2013. Saat itu usianya 19. Walau semangat jiwa mudanya tengah
tinggi, kecut juga usai tahu ada anggota pemadam kebakaran (damkar) yang
berasal dari etnis Dayak.
Trauma konflik etnis di Kalimantan Barat menghantui
kepalanya. Empat etnis di Kalbar, Melayu, Dayak, Tionghoa dan Madura memang
memiliki catatan konflik. Dalam artikel ‘Menelusuri Akar Konflik Antaretnik di
Kalimantan Barat’, Arkanudin (2006) menulis konflik paling banyak melibatkan
Dayak-Madura. Jumlahnya 12 kali disertai kekerasan sejak 1952-1999.
Usman seorang Madura. Dia lahir dan besar di Pontianak. Dampak
kerusuhan Dayak-Madura sempat dirasakannya ketika berusia tujuh tahun. Kala
itu, isu keributan muncul di daerah Sungai Jawi, kurang lebih satu kilometer
dari rumah Usman di Gang Nur Asyikin, Jalan HM Suwignyo, Pontianak Kota.
Di saat sama, kerusuhan pecah di Sampit, Kalimantan Tengah. Sedang
di Kalbar, konflik besar terakhir terjadi tahun 1999 di Sambas. Dua peristiwa
itu melibatkan etnis Madura.
Usman kecil tinggal bersama kedua orang tua dan seorang kakak.
Mendengar kabar sumir itu, sekeluarga was-was. Tilam, ayahnya, membekalinya
katana dan memintanya menjaga ibu dan kakaknya di dalam rumah. Sementara sang
ayah, berjaga di depan gang.
“Pokok asal aku
tengok Bapak ndak ade di depan, aku
susul Bapak ke sana,” cerita Usman mengulang perkataannya 18 tahun lalu dengan
logat Melayu.
Beruntung, semua baik-baik saja. Namun cerita seram dan stereotip
telanjur hidup di kepala. Salah satunya, anggapan bahwa orang Dayak bisa
mencium keberadaan orang Madura.
Hal itu yang terlintas di pikiran Usman, ketika tahu PPKJ
memiliki anggota dari etnis Dayak.
“Madura kalau udah
ketemu orang Dayak dulunya kan gimana kan. Sempat pikir, kalau saya ikut
pemadam, apakah yang ditemui orang kite
semue? Akhirnya, kalau memang ini jalan saya, bisa buat saya berguna untuk
orang lain, saya coba,” jelasnya.
Sejatinya, tekad bungsu tiga bersaudara itu sudah kuat.
Semua bermula dari kedekatannya dengan Sumi—perempuan Melayu yang jadi istrinya
kini. Tujuh iparnya relawan pemadam kabakaran.
Untuk jadi relawan pemadam kebakaran, Usman melawan bayang
masa kecilnya. Bisa dibilang, PPKJ jadi ladang interaksi pertamanya dengan
beragam etnis. Meski mayoritas Melayu, Tionghoa, Bugis dan Dayak jadi bagian
gerakan sosial itu.
Logat Melayu yang kental, bikin ke-madura-an Usman sempat
dipertanyakan rekannya di damkar. Sampai-sampai, dia mengajak teman-teman barunya
berkunjung ke rumah. Bertemu orang tuanya.
Setidaknya butuh waktu sebulan untuk mendekatkan diri.
Hingga ketika Gawai Dayak—perayaan panen tahunan suku Dayak se Kalbar, dan dipusatkan
di Pontianak—tiba, dia diajak seorang rekan, Tedy untuk hadir.
Gawai saat itu masih digelar di Rumah Betang, Jalan Letjen
Sutoyo, Pontianak Selatan. Keringat dingin keluar, walau siang begitu panas.
Terlebih, ketika masuk ruang, bertemu tetua adat. Dia dikenalkan sebagai rekan
di damkar.
“Mohon izin Panglima, saya Usman, saya asli orang Madura,
saya mohon petunjuk,” ujar Usman, kikuk di kelilingi tetua adat Dayak se Kalbar.
Dikenalkan begitu, sang tetua adat malah mengapresiasinya.
Mengajak semua yang ada di ruangan mengikuti dua orang itu; bergerak karena
jiwa sosial.
“Bang Usman, kalau Bang Usman diapa-apakan dengan orang
Kalimantan, terutama dari suku Dayak, cari saya,” ujar tetua adat menutup
perkenalan.
Enam tahun jadi pemadam, kini Usman punya banyak teman dari
beragam suku dan agama. Saat ini, dia bahkan jadi Ketua Perkumpulan Pemadam
Kebakaran Suwignyo (PPKS), setelah sebelumnya sempat dua tahun lebih bernaung
di Persatuan Pemadam Mariana (PPM).
“Ternyata tidak semua orang jahat sama saya, banyak yang
lebih baik malah dari saya. Di sana banyak dapat nasihat. Kalau orang udah kasih nasihat, berarti dia baik
dengan saya. Akhirnya berpikir ternyata di Pontianak banyak orang yang baik
daripada jahat,” katanya.
Keberadaan damkar swasta di Pontianak dimulai komunitas
Tionghoa tahun 1948. Lokasinya di Siantan, Pontianak Utara. Wilayah itu
merupakan pemukiman buruh sekitar pabrik karet, kopra dan tengkawang—komoditas ekspor
andalan yang rawan kebakaran.
Setidaknya, ada dua kebakaran besar tahun 1947 yang
meningkatkan kesadaran warga. Yakni terbakarnya gudang dan rumah pengasapan
karet NV. Djung Nyan Sung yang nyaris menghanguskan satu kampung di Parit
Pekong, tepi Sungai Kapuas.
Dari sekadar mempersiapkan ember, pasir dan racun api di
titik tertentu, akhirnya sejumlah tokoh yang dipelopori Tan Khie Ho—pengelola
pabrik karet Liang Huat—mengambil inisiatif mengumpulkan uang Rp20 ribu secara
gotong-royong. Dua unit mesin pompa air merek Fa Gerbs Kronenburg Culemborg
3.000 RPM bikinan Belanda pun terbeli.
Tepat 13 Februari 1949, berdirilah Badan
Pemadam Api Siantan (BPAS) dengan 50 anggota—cikal bakal damkar swasta di
Pontianak.
Sejatinya memang ada Dinas Pemadam Kebakaran milik
pemerintah. Namun geografis Pontianak yang di belah Sungai Kapuas dengan
kecamatan Pontianak Kota, Barat, Tenggara dan Selatan di satu sisi, dan
Pontianak Timur dan Utara di sisi lain, menyulitkan pergerakan. Damkar
pemerintah berada di sisi seberang.
Sampai tahun 1957, BPAS memiliki tiga unit damkar yang
tersebar di Kelurahan Siantan Hulu, Siantan Tengah dan Siantan Hilir. Tanggal 25 Juli
1976, Pemadam Kebakaran Panca Bhakti berdiri di Pontianak Barat. Keduanya
sama-sama bernaung di bawah yayasan Tionghoa. Namun relawan dari etnis lain
yang sama-sama merasa terancam akan musibah kebakaran mulai bergabung, meski
jumlahnya belum banyak.
Kebakaran besar di kawasan Pasar Sudirman dan kemarau
panjang buat kedekatan dan peran damkar swasta menarik perhatian masyarakat.
Selain memadamkan api, selama kemarau, tangki-tangki damkar turut menyalurkan
air bersih untuk warga. Perkembangan armada yang dimulai dari mesin pompa dalam
gerobak pun berubah jadi mobil-mobil dengan kapasitas tangki besar.
Perkembangan pesat damkar swasta di Pontianak terjadi di
tahun 2000. Hingga kini, setidaknya 39 damkar swasta tersebar di Pontianak,
empat di Mempawah dan 12 di Kubu Raya. Dari yang berarmada mobil, hingga hanya
satu unit motor. Semuanya relawan tak digaji. Keberadaan mereka seakan
menyaingi jumlah kebakaran di Pontianak yang rata-rata 100 kali setahun.
“Selain tidak ada gaji, semua pasti ada pengorbanan. Ini
nilai luhur dari nilai bangsa Indonesia, gotong-royong, dan implementasi
pengamalan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika,” sebut Ketua Forum Komunikasi
Kebakaran Pontianak, Ateng Tanjaya.
Ateng Tanjaya merupakan Ketua BPAS tahun 1984 hingga 1996.
Lelaki yang dijuluki ‘Manusia Api’ ini sudah berkecimpung di dunia damkar sejak
1971. Forum yang diketuainya sendiri berdiri 1980.
“Saat terjadi kerusuhan, sudah berbahaya. Artinya SARA ini
mungkin paling berat kalau kedatangan pemadam tidak diharapkan,” cerita lelaki
Tionghoa yang mengaku tak bakat dagang itu.
Tren pembakaran dalam kerusuhan di Pontianak, berkembang
tahun 1990-an. Api digunakan sebagai alat memusnahkan lawan. Damkar pun dilema,
jika tak hadir, kasihan warga. Namun di lapangan, seringnya yang dihadapi bukan
jago merah, melainkan perusuh.
“Sejak itu saya berpikir, bagaimana menghadapi golongan A,
B, C. Makanya saya bergerak ke tokoh masyarakat, menjadikannya pemadam, walau
hanya seksi keamanan di unsur kepengurusan, atau penasihat,” katanya.
Para tokoh inilah yang ikut turun ke lapangan dan memberi
rasa aman untuk pemadam. Jaringan itu dibuka Alfa Tango—panggilan akrabnya di
pemadam—lewat Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI) dan Radio Antar
Penduduk Indonesia (RAPI). Komunikasi antardamkar memang memanfaatkan frekuensi
tersebut.
“Kita rangkul para tokoh dari tiap kampung, jadi penasihat
atau pelindung organisasi kebakaran. Jadi jika terjadi sesuatu, beliau ke depan
karena menyangkut SARA ini rentan. Tanpa sadar akhirnya berkembang, kadang kita
sampai TKP, mereka sudah ada duluan, berperan besar mengurai massa,” jelasnya.
Selain tokoh-tokoh sentral, aparat kepolisian dan TNI juga
didekati. Koordinasi terus dijalin. Apalagi belakangan kebakaran hutan dan
lahan kerap terjadi.
“Kalau dulu sangat terbatas saudara (etnis) lain, sekarang berkembang,
dan mereka manusia Pancasila. Pemukiman makin padat dan ada kebanggaan jika
bisa membantu semua,” katanya.
Semangat membantu itu juga bermata dua. Pesatnya partumbuhan
damkar swasta seringkali menimbulkan friksi di lapangan. Bukan soal etnis,
melainkan adu sikut ingin menonjol di lokasi kebakaran.
Alhasil, dibuat
rayonisasi. Damkar bertanggung jawab untuk wilayah masing-masing. Koordinasi
lewat forum dikedepankan, damkar lain disilakan merapat jika kemungkinan api sulit
dipadamkan.
“Kalau mau bantu untuk kepentingan masyarakat boleh, tapi
kalau sentimen kelompok ingin terkenal, jangan, rugi masyarakat,” ujarnya.
Relawan damkar swasta kini beragam suku agama. Jumlahnya seribuan,
namun ada seleksi alam. Tidak semua anggota aktif di lapangan. Hanya mereka
yang berjiwa sosial yang tahan.
“Semua kita terima, syaratnya ya pengorbanan karena tidak
digaji. Nanti kelihatan, akan beda dengan yang memang panggilan jiwa,”
sebutnya.
“Di sisi lain, musibah ini kan takdir, Tuhan juga adil, memberi
bencana tidak memandang suku agama ras apa pun. Mungkin nilai-nilai begini yang
membuat damkar swasta berkembang subur di Pontianak,” sambungnya.
Hanya saja Ateng tak memungkiri, bibit-bibit konflik kembali
muncul. Terutama penggunaan politik identitas dalam pemilihan umum. Dalam
Pilpres lalu misalkan, dia cukup kewalahan sampai memberi batasan di grup
WhatsApp pemadam. Padahal, suasana antaretnis dalam pemadam sangat cair. Stigma
dan stereotip, termasuk pada Tionghoa, mulai pudar.
“Kadang niatnya bercanda satu sama lain, lalu nanti
tersinggung. Banyak sudah contoh, kita tetap coba jaga dan ingatkan tujuan
relawan,” katanya.
Kegiatan damkar swasta tak sekadar padamkan api atau hal-hal
sosial lain. Sejak dua tahun terakhir, tiap malam Idulfitri, mereka keliling
kota mengumandangkan takbir. Tak hanya damkar dengan relawan muslim, semua ikut
menyambut hari lebaran milik penganut Islam.
Sejatinya, gelaran itu sudah lima kali dilangsungkan.
Penggagasnya damkar Swadesi Borneo. Namun di tiga agenda awal, hanya menyasar
wilayah Pontianak Barat, zona sendiri. Para pesertanya pun damkar di wilayah
itu.
“Tahun 2019 ini 40 pemadam ikut, bukan diajak malah mereka
yang tanya. Mereka tahu pencetusnya waktu itu Swadesi,” cerita Derry Herlino,
Komandan Swadesi Borneo.
Damkar yang ambil bagian bukan hanya dari Pontianak. Ada
juga asal Kubu Raya dan Mempawah, dua kabupaten tetangga. Bahkan dalam gelaran
keempat, damkar dari Kota Singkawang—152 kilometer jaraknya dari Pontianak
ingin ikut serta.
Uniknya, setiap armada damkar dihias dengan ornamen
Idulfitri. Panitia hanya menyediakan satu spanduk berpesan Bhineka Tunggal Ika.
Selain itu, selama keliling kota dengan jarak 15 kilometer, semuanya
membunyikan takbir, alih-alih sirene.
“Memang menggunakan rekaman. Baik dari Youtube atau MP3.
Ibaratnya sambil bertakbir, sambil siaga,” kata lelaki Melayu yang jadi relawan
damkar sejak 2005 itu.
Tindak tanduk damkar swasta tentu membantu pemerintah kota.
Mulai dari menjinakkan api di gedung, hingga lahan gambut sekitar Pontianak. Apalagi,
mereka bekerja tanpa gaji. Malah tak jarang keluar doku untuk perbaiki amunisi.
“Saya salut juga dan mengapresiasi tinggi semangat
pengabdian mereka luar biasa, terlebih pemadam kebakaran swasta yang tidak
menerima gaji atau upah dari pengabdiannya. Saya terima kasih kepada pemadam
kebakaran,” ungkap Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono.
Edi menyebut pertumbuhan damkar menunjukkan jiwa sosial
masyarakat yang tumbuh. Karena memandang siapa pun termasuk dirinya, rentan
terhadap kebakaran. Bukan tidak mungkin pemerintah akan kewalahan mengingat
intensitas kebakaran yang tinggi di Pontianak, terutama musim kemarau.
“Uniknya, relawannya tidak hanya satu etnis, tapi banyak
dari etnis lain. Secara tidak langsung mereka sangat membantu harmonisasi di
Pontianak, minimal sesama mereka tidak terjadi konflik,” katanya.
Kapolda Kalbar, Irjen Pol Didi Haryono pun turut
mengapresiasi kontribusi damkar swasta. Tidak hanya dalam kerja sama memadamkan
api ketika kebakaran hutan dan lahan, tapi juga turut menjaga situasi keamanan
dan ketertiban di masyarakat.
“Kontribusi dan kinerja Pak Ateng dengan seluruh jajaran
pemadam kebakaran di Kota Pontianak ini benar-benar sangat membantu dalam
mengelola situasi keamanan dan ketertiban di masyarakat,” kata Kapolda saat
anjangsana ke tokoh masyarakat kemarin.
Rekonsiliasi dan
Harmoni Alami
Sosiolog Universitas Tanjungpura Pontianak, Viza Julian mengungkapkan
dengan rentetan panjang konflik di Kalbar, sejatinya apa yang terjadi di damkar
swasta bisa disebut sebagai rekonsiliasi alami, ketimbang direkayasa. Sesuatu
yang ideal dan sampai di akar rumput, meski memakan waktu lama.
“Jika melihat konteks di Kalbar, sejak tahun 1997-1999
hingga sekarang, artinya butuh waktu 20 tahun untuk bisa mulai ada tanda-tanda,”
katanya.
Namun di sisi lain, interaksi di dalam damkar dapat dibilang
proses harmonisasi mencegah konflik. Perkenalan dan komunikasi antaretnis,
membuat stigma dan stereotip patah.
“Hal ini yang sebenarnya terjadi dalam kasus damkar tadi. Mereka
melakukan harmonisasi satu sama lain yang membuat mereka menyadari ternyata
orang etnis ini tidak seperti ini, seperti itu, dan dugaan-dugaan lainnya,”
terangnya.
Hanya saja yang perlu diwaspadai kini adalah politik
identitas yang kerap digaungkan dalam Pemilu. Contohnya dalam Pilgub Kalbar
2018 dan Pilpres 2019.
“Jangan-jangan apa yang sudah dimulai sejak 20 tahun bisa
selesai dalam beberapa bulan saja. Politik identitas merupakan senjata yang
ampun sekaligus murah, oleh karena itu penting bagi kita memusuhi pola politik
identitas sebagai basis promosi politik kelompok tertentu,” tegasnya.
Untuk mencegah itu, perlu dibangun masyarakat multikultural
yang saling menghargai perbedaan, tidak memaksa semua orang menjadi sama, dan
percaya bahwa berbeda itu tidak masalah.
“Jika sudah terbiasa memiliki teman dari banyak etnis dan
agama, dampak politik identitas mudah-mudahan tidak terlalu berbahaya. Meski
jika dilihat dalam konteks Indonesia, politik identitas ini benar-benar merusak
dan sangat berbahaya,” tutupnya. (kristiawan
balasa)
Breaking News
- Anak Durhaka Keok di Pengadilan Pontianak, Perseteruan Ibu Fatimah dan Anak Angkat
- Danrem 121/Abw Sambut Kedatangan Perdana Panglima TNI di Wilayah Aruk Perbatasan RI-Malaysia
- Satgas Pamtas RI-Mly Yonif 645/Gardatama Yudha Terima Kunjungan Kerja Panglima TNI
- Polres Kubu Raya Siap Tindak Tegas Pedagang yang Menimbun Stok Bahan Pokok
- Kepala BKPSDM Harap ASN Landak Berintegritas Tinggi
- Perjelas Ketentuan Tato Karena Adat dalam Penerimaan Anggota Polri, Ketua DAD : Generasi Muda Dayak Tak Perlu Lagi Ragu Mendaftar
- Danlanud Supadio Sambut Kunjungan Kerja Panglima TNI di Kalimantan Barat
- Pemkab Landak Optimalkan Penanganan Kasus Rabies
- Dandim 1016/Palangka Raya Sambut Kedatangan Panglima TNI
Damkar Swasta Pontianak: Harmonisasi Etnis dan Agama
