Ponticity post authorKiwi 03 April 2024

Sengketa 'Tanah Gombang' di Qubu Resort

Photo of Sengketa 'Tanah Gombang' di Qubu Resort

PONTIANAK, SP – Perselisihan antara pihak Qubu Resort dan Ridha Aksa Nan Gombang (Edo) atas kepemilikan objek tanah yang berada di Gang Hidayah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, kian memanas. Setelah sekian lama bungkam, pemilik tanah dari Qubu Resort akhirnya angkat bicara.

Eko, perwakilan pemilik tanah Qubu Resort mengaku merasa dirugikan atas klaim dan aksi-aksi "teror"  yang dilakukan oleh Edo dan kuasa hukumnya, Flavia Flora di Qubu Resort.

“Saya rasa permasalahan ini sangat sederhana. Tetapi pembawaan dari pihak yang mengklaim itu seperti aksi teror. Jadi masalah ini akan kita bawa ke pengadilan. Biar pengadilan yang memutuskan. Selesai.  Jika mereka tidak mau ke pengadilan, maka perlu kita pertanyakan apa motif mereka. Kenapa mereka ngotot agar tanah itu harus kami yang beli,” ujar Eko kepada Suara Pemred, belum lama ini.

Eko menjelaskan, pihaknya melalui kuasa hukumnya sudah melakukan pertemuan dengan pihak Edo dan Flora. Maka jika ada saling klaim atau tumpang tindih atas tanah tersebut, cara terbaik untuk menyelesaikannya adalah berdasarkan jalur hukum.

“Maka dari itu saya selaku perwakilan pemilik tanah telah meminta kuasa hukum untuk segera melayangkan gugatan melalui semua jalur atau mekanisme hukum yang ada,” tegasnya. 

Eko juga ingin meluruskan bahwa Qubu Resort tidak ada kaitannya dengan masalah tanah ini. Apalagi selama ini dari tanah itu dibeli sampai sekarang, dia yang mengelolanya.

"Tanah ini kan tanah pribadi, atas hak nama pribadi, hak guna perorangan, bukan hak guna bangunan. Waktu kita beli tanah itu, emang Qubu Resort sudah berdiri? Kan belum. Jadi jelas bahwa Qubu Resort tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan tanah ini. Saya selaku pemilik tanah siap menghadapi permasalahan ini sesuai dengan jalur hukum,” tegasnya.

Menurut Eko, inti masalah ini adalah soal klaim-mengklaim atas tanah tersebut. Edo dan Flora yang belakangan muncul sebagai pihak yang mengklaim, kemudian melakukan aksi-aksi keributan yang terkesan seperti sebuah aksi teror kepada berbagai lini bisnis dan usaha yang ada di Qubu Resort.

“Dan sekarang saya juga mau bertanya, kenapa Flora maupun Edo selalu menyerang Qubu Resort. Kenapa tidak mempertanyakan hal ini kepada pemilik tanah atau menyerahkannya melalui jalur hukum. Kan negara kita memiliki wadah atau landasan untuk menyelesaikan masalah tanah. Kalau semua orang bisa bertindak seperti preman, meneror, dan menciptakan opini serta citra negatif, tentunya bukan hal yang baik,” katanya.

Eko menambahkan, jika semua orang bisa bertindak semena-mena seperti Edo dan Flora, ini akan menjadi efek domino yang merugikan bagi pelaku usaha-usaha yang lain. Baik kepada dirinya, maupun pada kolega-kolega lain yang mungkin ingin mengembangkan atau melakukan investasi usaha di Kubu Raya.

"Masa satu orang bisa datang mengklaim, trus dia tidak mau ke pengadilan. Trus maunya Qubu Resort yang harus beli tanah yang mereka klaim itu. Bagaimana bisa seperti itu. Kalau dibiarkan, bisa saja besok lusa muncul orang-orang seperti Flora mengklaim sana-sini. Jadi jika objek permasalahannya tidak diselesaikan di pengadilan, maka persoalan ini tidak akan selesai," tegasnya.

Eko mengatakan, akibat adanya “ribut-ribut” antara pihak Qubu Resot dan Flora ini, citra atau nama baik dirinya sudah dirusak. Muncul juga negatif opinion terhadap dirinya, terutama kepada pihak Qubu Resort yang notabene seharusnya tidak ada kaitannya dengan masalah tanah ini.

“Jadi pemberitaan sekarang ini kan, owner atau pemilik tanah seolah-olah pengecut, tidak mau ketemu. Kalau ketemukan selesai. Bagaimana mau selesai, objek permasalahannya apa, klaim mereka apa. Sangat bertolak belakang,” kata Eko.

Jadi katanya, selaku pemilik tanah pihaknya siap menghadapi masalah ini. Apalagi dia sebelumnya sudah menunjuk kuasa hukum dan tentunya memiliki alamat kantor yang jelas.

“Kalaupun Edo dan Flora ini mau menyampaikan surat atau protes kenapa tidak ke kantor hukum kami, kenapa harus menggangu kegiatan bisnis hotel dan lainnya di Qubu Resort. Kan tidak bisa seperti itu. Makanya hari ini saya menegaskan hal ini (aksi terror) tak boleh lagi diteruskan,” katanya.

Eko menjelaskan, pihaknya membeli tanah tersebut sekitar tahun 2008 dari Nurifah Gombang dengan dasar yang kuat dan telah melewati berbagai proses yang sesuai dengan hukum. Baik itu pengecekan sertifikat maupun Berita Acara Pengukuran Pengembalian Batas.

Jadi, tidak mungkin pihaknya membeli tanah dengan cara yang tidak baik. Apalagi, penunjukan batas juga dilakukan oleh Nurifah sendiri. Nurifah inilah yang menunjukan apa yang tertuang di dalam Berita Acara Pengukuran Pengembalian Batas milik pihaknya.

“Jadi secara otomatis waktu kita memperoleh tanah itu, pengukuran balik batas dilakukan oleh pihak BPN juga dan pastinya patok juga diletakkan. Makanya setelah transaksi selesai, kita pemperoleh hak atas tanah itu. Adanya balik nama, semua itu kan dijalankan dinotaris. Nah, makanya kita pagar dan kita kelola dari 2008 sejak transaksi jual beli dilakukan pada 2008,” ungkapnya.

Selama berjalannya waktu dan selama Nurifa ( almarhumah Bu Gombang ) masih hidup, juga tidak pernah ada masalah. Namun kini kenapa masalah muncul setelah Nurifa meninggal.

“Mereka (pihak yang mengkalim), juga membuat narasi bahwa pihak kami ada menawarkan diri ingin membeli tanah tersebut. Logikanya tidak mungkinlah kami membeli tanah itu. Kami ingin menegaskan selaku pemilik tanah tidak mungkin membelinya, karena perolehan atas tanah itu adalah sah. Adapun soal pagar yang mereka ributkan, itu balik batasnya kan sudah dilakukan. Kita pagar sesuai dengan patok yang ditunjuk BPN,” tegas Eko.

“Kita tegaskan lagi bahwa kami tidak ada buka harga atau pun nego-nego seperti yang mereka sampaikan. Mereka juga hanya membangun narasi seolah-olah mereka dipimpong,” imbuhnya.

Menurut Eko, pihak Flora saat ini juga semakin intens melakukan aksi “teror” dengan keinginan agar tanah itu segera dibeli oleh Qubu Resort. Namun menurutnya jika tanah itu dia beli, berarti pihaknya mengakui bahwa tanah itu milik pihak yang mengklaim.

“Jadi cara mereka "meneror" ini, memainkan opini memaksa saya untuk kalah. Sedangkan saya mau kalah gimana, sedangkan persoalan klaim-mengkalim tanah ini kan harus diselesaikan,” katanya.

Adapun terkait klaim Edo dan Flora atas tanah tersebut dengan berbekal dokumen dan sertifikat. Eko mengangatakan bahwa hal itu tidak bisa dibuktikan secara sepihak dan harus dibuktikan di pengadilan.

“Kita ini kan negara hukum. Jadi harus diselesaikan di pengadilan. Bawa saja dokumen milik mereka tersebut, kita buktikan di pengadilan,” katanya lagi.

Eko juga mengaku bingung, kenapa Flora yang datang sebagai kuasa hukum Edo juga mengaku sebagai pihak pembeli atas tanah itu.

“Dengan status yang tidak jelas itu, saya jadi ragu atas klaim mereka. Tujuan mereka apa. Makanya saya minta penasihat hukum untuk melakukan perlawanan di jalur hukum. Untuk masalah ini kita harus ke pengadilan, tidak bisa dilakukan secara klaim-mengklaim,” katanya.

“Mereka juga sepertinya ingin menghalangi langkah kami untuk berupaya hukum. Makanya tadi saya sampaikan kenapa waktu kita beli pada 2008 tidak langsung diklaim. Kenapa tidak langsung diklaim,” tambahnya lagi.

Sementara itu, Penasihat Hukum dari pemilik tanah, Samsir menegaskan, pihaknya segera akan melakukan upaya gugatan hukum melalui jalur atau mekanisme hukum yang ada.

“Pemilik tanah menginginkan upaya hukum melakukan gugatan. Mewakili klien saya, kami akan segera melakukan gugatan di pengadilan negeri dan di PTUN. Mungkin jika Qubu Resort merasa dirugikan, Qubu Resort juga dapat melakukan gugatan,” katanya.

Terkait persoalan tanah, Samsir menjelaskan, bahwa ketika tanah dijual ke kliennya pada 2008 lalu, suami Nurifah Gombang, yakni Gombang Titjo, sudah meninggal dunia.

“Jadi waktu itu kita lihat memang tidak ada persoalan harta bersama dalam perkawinan keduanya. Karena sertifikat tanah tersebut sudah atas nama pribadi atau atas nama orang pribadi. Berarti sudah selesai disitu tidak ada lagi haknya Gombang Titjo,” kata Samsir.

Selain itu sepengetahuan pihaknya, dari pernikahan Gombang Titjo dengan Nurifah juga tidak memiliki anak.

“Jadi tidak ada turunan untuk ahli warisnya. Kalaupun sekarang ada muncul ahli waris, kita juga harus lihat. Yang jelas kita kan tahu bahwa Pak Gombang ini adalah seorang polisi. Bagi seorang polisi tidak ada istilahnya kawin atau menikah lebih dari satu kali. Kalau kita bicara hukum kan begitu, karena tidak mungkin seorang polisi memiliki istri yang kedua atau ketiga. Kalau pun ada pernikahan kedua atau ketiga kan tidak boleh dicatat,” terangnya.

Samsir menambahkan, selama ini pihak yang mengkalim tanah tersebut bicara berdasarkan katanya saja. Mereka tidak pernah menunjukan kepada media dasar klaim mereka. Apakah itu berupa sertifikat tanah atau dokumen lainnya.

Namun sejauh ini yang diperlihatkan hanyalah fotocopy berkas penetapan waris dan Berita Acara Pengukuran Ulang dan Pemetaan Kadastral dari pihak BPN.

“Nah, coba perhatikan poin-poin dari BA Pengukuran Ulang BPN yang dimohonkan oleh pihak Edo tersebut. Di dalam poin-poin itu jelas sekali bahwa tanah tersebut belum jelas secara yuridis adalah milik mereka. BPN belum bisa memastikan secara tegas bahwa tanah yang ditunjuk itu adalah tanah milik mereka,” tegas Samsir.

Adapun poin yang dimaksud Samsari yakni bahwa dalam penunjukan berdasarkan BA yang dimiliki pihak Edo, lokasi tanah yang ditunjuk “digarisbawahi” telah dikuasi pihak lain. Itu artinya ada tumpang tindih, meski menurut versi Edo bahwa dalam persoalan ini tidak ada tumpang tindih.

“Logika hukumnya, kenapa BPN mengeluarkan BA milik Edo tersebut, sementara BA milik kami yang tahun 2008 juga adalah produk dari BPN. Apakah boleh begitu” kata Samsir.

“Nah versi kita berdasarkan fakta. Kita membeli tanah bukan ibaratnya membeli kucing dalam karung. Sebelum kita membeli kita bertanya kepada penjual. Tanah yang akan dijual lokasinya dimana. Walaupun si penjual sudah menunjukan lokasi berdasarkan dokumen sertifikatnya, kita kan tidak cukup percaya hanya mendengarkan keterangan dari pemilik. Nah kita tentunya meminta bukti dari pemilik supaya melakukan pengembalian batas,” kata Samsir.

Berdasarkan hal itu, pada sekitar Februari 2008, pemilik tanah (Nurifah) mengajukan permohonan pengembalian batas ke BPN. Kemudian dilakukanlah pengembalian batas dan yang penunjuk pengembalian batas ini juga adalah Nurifah Gombang sendiri, yang tentunya lebih mengetahui batas-batas tanahnya sendiri.

“Dalam proses pengukuran pengembalian batas ini, juga telah pula dipasang patok-patok sebagai tanda pembatas tanah. Oleh BPN, kemudian terbitlah BA Pengukuran Pengembalian Batas. Dari pengembalian batas itu jelas bahwa tanah di bagian belakang berbatasan langsung dengan jalan di Gang Hidayah. Sehingga dengan kondisi itu, klien kita barulah menyetujui dilakukan transaksi jual beli,” terangnya.

"Jadi kita ini kan membeli sesuatu tentunya memikirkan manfaat dan segala macam juga. Setelah memastikan tanah itu ada akses jalan barulah kita beli. Transaksi berlangsung beberapa bulan berikutnya, yakni sekitar April 2008. Jadi istilahnya kita bukan beli kucing dalam karung," imbuhnya.

Samsir juga membantah pihaknya (pemilik tanah) tidak kooperatif terhadap pihak yang mengkalim tanah tersebut. Karena menurutnya, dia telah dua kali melakukan pertemuan dengan Edo dan Flora.

“Saya pernah mengundang mereka dua kali ke kantor saya. Tanggalnya saya lupa, tapi yang jelas dua kali pertemuan. Dalam pertemuan itu saya bilang, Anda menganggap tanah ini tidak bermasalah, tapi sesuai BA yang Anda pegang itu, kan juga bermasalah. Ada tumpang tindih dan ada segala macam,” ungkap Samsir.

Samsir menjelaskan, jika dilihat, sertifikat milik Edo luasnya 14.000 meter persegi, sedangkan sertifikat milik kliennya yang ditimpa sekitar 7.000 meter persegi.

“Nah sekarang kita mau selesaikan bagaimana, apakah kita harus membayar tanah 14.000 meter persegi itu, atau 7.000 meter persegi sekian ini. Kalau kami bayar yang 7.000 meter persegi ini, artinya kami harus membayar dua kali dong,” jelasnya.

Samsir tidak bicara soal tumpang tindih karena pada BA Pengukuran Pengembalian Batas yang pihaknya miliki tidak ada bicara soal tumpang tindih. Logikanya, kalau ada tumpang tindih, tidak mungkin pihaknya mau membeli. Namun demikian, indikasi adanya tumpang tindih ada karena pihak Edo melakukan penunjukan lokasi tanah, bahkan sampai tiga kali.

“Jadi waktu mereka mengajukan permohonan pengembalian pengukuran batas, BPN kan tidak bisa mencarikan tanahnya dimana, jadi yang menunjukan mereka yang mengaku dari pihak ahli waris ini. Jadi yang jelas dari pihak mereka ini menunjukan tiga kali, di tiga lokasi yang berbeda. Terakhir, ditunjukanlah lokasi yang saat ini (Qubu Resort), dan yang menjadi masalah saat ini," terangnya.

Menurut Samsir, dalam pertemuan itu, pihaknya juga menegaskan bahwa masalah ini bisa menjadi konflik tanah. Jadi pihaknya tidak bisa bicara soal jual beli dan segala macamnya. Persoalan batas tanah haruslah diselesaikan dahulu. Apakah ini benar tanah milik mereka atau milik kliennya.

“Untuk itu saya bilang, saya persilahkan mau Anda yang mengungat atau kami yang menggugat ke pengadilan. Tapi mereka menjawab, tak mau menggugat dan tetap ngotot meminta agar tanah itu dibayar Rp5 juta per meter. Yang bilang Rp5 juta adalah Flora, sementara Edo hanya senyum-senyum saja tanpa menyebutkan iya atau tidak," ungkap Samsir.

“Yang jelas dari pihak Flora menawarkan Rp5 juta per meter, kemudian saya jelaskan hal ini tidak akan bisa selesai, karena ini ada permasalahan yang sangat rumit dan belum jelas tanahnya,” tambahnya.

Terkait pagar milik Qubu Resort yang diklaim masuk dalam tanah milik Edo atau dicaplok oleh Qubu Resort, menurut Samsir itu adalah klaim yang tidak benar alias fitnah. Karena faktanya ukuran tanah yang pihaknya beli adalah 7.000 meter persegi, sesuai sertifikat dan sesuai BA Pengukuran Pengembalian Batas dari BPN.

“Kita memiliki dasar yang kuat. Selain punya sertifikat, kita juga mendirikan pagar berdasarkan patok yang dipasang BPN,” tegasnya.

Adapun jika bicara soal klaim yang disampaikan pihak Edo dan Flora, tentunya persoalan ini juga akan masuk ke sertifikat orang lain (di luar Qubu Resort). Karena sesuai BA yang mereka miliki disebutkan ada tiga sertifikat yang ditimpakkan. Itu pun luasnya tidak sesuai atau sampai 14.000 meter persegi seperti klaim yang disampaikan pihak yang menyebut dirinya ahli waris tersebut.

“Jadi yang diukur itu sesuai penunjukan dia ada sekitar 10.000 meter persegi. Kita tidak tahu persisnya berapa. Jadi 10.000 itu masuk ke sertifikat yang ada di Qubu Resort, dan masuk juga ke sertifikat yang lainnya. Jadi kalau kita mau objektif, jika tanah dia 14.000 tunjukkan sampai mana batas tanah itu. Lalu kenapa jika klaim mereka demikian, bagian lain yang masuk dalam penunjukan tanah dia kenapa tidak mereka "serang", kenapa hanya Qubu Resort,” kata Samsir.

Senada dengan Samsir, Eko menambahkan, sebelumnya pihak yang mengklaim juga ada menunjuk (lokasi tanah) sebanyak tiga kali. Lokasi penunjukan itu berpindah-pindah.

“Jadi mungkin mereka mencari posisi yang paling empuk dimana. Ini kan indikasinya seperti itu. Makanya seperti yang saya sampaikan tadi, persoalan ini penyelesaiannya harus di pengadilan. Apalagi sekarang pertikaiannya sudah seperti ini,” kata Eko.

“Walaupun dia menawarkan akan kasih gratis, atau apa pun. Tidak mungkin kita beli. Karena situasinya, mereka sudah dengan sengaja membangun opini negatif dan merusak serta meneror kami. Ini akan dan harus kami lawan,” tegasnya lagi.

Merujuk dari petujuk terbitnya BA milik Edo, sebuah sumber yang mengaku mantan pemain tanah kepada Suara Pemred mengungkapkan, dalam dunia permainan pertanahan, para mafia tanah selalu menggunakan oknum-oknum BPN dan perangkat-perangkat lainnya untuk mengubah peta tanah, batas tanah. 

“Banyak kasus yang terjadi timpa menimpa lahan, batas lahan, atau lainnya dengan munculnya sertifikat. Kan lucu yang membuat sertifikat itu BPN, yang ukur balik batas petugas BPN, kok sering terjadi sertifikat ganda dengan lahan yang sama. Jadi biang keroknya ya mereka itu, yang harus ditindak tegas, “kata lelaki yang  memintya namanya tidak disebutkan sambil menarik nafas panjang.

Caplok Tanah

Sebelumnya, dalam sebuah kesempatan, Edo bersama Flora juga berkunjung ke Kantor Suara Pemred. Dalam kesepatan itu mereka menegasakan bahwa pihak Qubu Resort telah mencaplok tanah milik mereka.

“Yang saya tuntut ini yang punya saya, bukan yang punya Bu Gombang (Nurifah). Yang dijual oleh Bu Gombang itu yang miliknya yang 7.000 meter persegi, tapi yang dipagar oleh oleh Qubu Resort sekarang adalah tanah milik saya. Artinya luasan tanah yang berada di dalam pagar Qubu Resort itu lebih dari 7.000 meter persegi,” kata Edo.

Edo menerangkan, pengurusan atau permohonan pengukuran ulang batas atas tanahnya pernah diurus pada tahun 2008-2009 lalu. Saat itu bukan dirinya yang mengurus, namun koleganya. Hanya saja pengurusan ukur ulangnya tidak sampai selesai dan tidak pernah dikeluarkan oleh pihak BPN.

Kemudian pada tahun 2013, kakaknya Nararia juga kembali ke Pontianak untuk mengurus ukur ulang dan balik batas. Tapi karena terhalangi oleh pekerjaan, kakaknya harus balik ke Jakarta dan prosesnya juga tidak sampai selesai.

"Jadi sejak 2017, saya yang mengurus ukur ulang balik batas. Waktu itu lancar-lancar saja. Pengurusannya berdasarkan sertifikat. Saat itu sempat ukur ulang, cuma prosesnya lama, itu sampai dua tahun dan saya harus membayar administrasinya lagi,” katanya.

Singkat cerita, BA ukur ulang dan balik batas tersebut akhirnya selasai pada Februari 2024.

“Temuan saya di lokasi tanah ada bangunan pagar di atas tanah saya. Karena BPN menunjukan bahwa tanah saya ada di dalam pagar. Sudah dipagari oleh Qubu Resort,” imbuhnya.

Edo mengaku pada suatu waktu pihaknya sempat bertemu dengan perwakilan Kubu Resort (Pak Ati) untuk membahas persoalan hal ini. Dalam pertemuan itu, tak ada hasil apa-apa. Hanya saling bertukar data, setelah itu tidak ada jalan keluarnya.

“Pasca pertemuan itu tidak ada komunikasi lagi, sampai akhirnya saya mengurus pengukuran ulang dan meminta bantuan Flora. Ini pernah ketemu lagi dengan Pak Ati dan dia mengusulkan kayak untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan atau dalam arti "membeli". Hanya saja waktu itu untuk nego harga belum sampai,” akunya.

Edo menjelaskan. Dia meruapakan anak dari pernikahan Gombang dengan Susianti yang menikah sebelum tahun 1979.

“Saya tiga bersaudara. Kakak saya paling tua, lahir tahun 1979. Namanya Nararia, kemudian anak kedua bernama Riana Gomang dan saya terakhir,” kata Edo.

Ibunya Susiati saat ini sudah meninggal dunia. Sementara ayahnya juga sudah meninggal dunia satu minggu setelah dirinya lahir.

“Jadi yang menjual tanah ke Qubu Resort adalah istri Gombang yang pertama (Nurifah). Proses jual beli itu tidak ada komunikasi dengan kami. Statusnya saat itu sejak tahun 1999 sudah ada putusan pengadilan,” kata Edo.

Jadi tanah yang berbeda jelasnya, bukan tanah yang sama. Ukurannya saja berbeda. Punya Bu Nurifah 7.000 meter persegi, sementara miliknya 14.000 meter persegi. Posisi tanahnya bersebelahan atau berdempetan. Milik Bu Nurifah berada di tengah-tengah, sementara miliknya yang ada akses jalan di Gang Hidayah.

“Jadi yang saya tuntut ini adalah yang punya saya, bukan yang punya Bu Nurifah. Karena yang dijual oleh Bu Nurifah itu tanah miliknya yang seluas 7.000 meter persegi, tapi yang dipagar oleh Qubu Resort sekarang adalah tanah milik saya. Artinya luasan tanah yang berada di dalam pagar Qubu Resort itu lebih dari 7.000 meter persegi dong,” katanya.

“Saya tanya ke BPN, apakah tumpang tindih. Mereka bilang tidak ada indikasi tumpang tindih. Tetapi faktanya di lapangan sudah dikuasai. Hanya itu saja. Selain pagar ada juga bangunan lain seperti kantin untuk karyawan Qubu Resort,” tambahnya.

Sementara itu, kuasa hukum Edo, Flora menjelaskan, bahwa Gombang dan Nurifah adalah seorang polisi. Tapi mereka tak punya anak. Karena tidak punya anak kemudian bercerai dan ada putusan pengadilannya, pembagian harta gono gini, dan sebagainya.

“Jadi ada putusan pengadilan yang menyatakan Edo ini ahli waris dengan bagian-bagiannya. Kakaknya juga, abangnya juga,” kata Flora.

Nah dalam perjalanannya entah bagaimana, Ibu Gombang (Nurifah) ini menjual tanah kepada Qubu Resort seluas 7.000 meter persegi.

"Sekarang kalau memang tanah itu dibeli oleh Qubu Resort, tanpa sepengetahuan Edo juga,” katanya.

Kemudian tahun berikutnya, karena orang tua mereka sudah tidak ada lagi. Mereka (ahli waris) mengukur ulang kepada BPN. Tiga kali mereka mencoba memproses pengukuran ulang itu. Tapi selama hampir delapan tahun BPN tidak bisa mengeluarkan BA ruling tersebut.

"Ini sudah lama. Jadi Edo ini sudah berusaha suruh orang mengurus ya, tapi tidak bisa. Ada saja alasan BPN, begini-begono. Trus Edo bilang ke saya ada jual tanah murah karena butuh uang. Nah saya sendiri kan suka jika ada tanah bermasalah, karena pasti murah. Trus saya tanya permasalahannya apa karena BA masih di BPN. Maka saya uruslah. Urus karena dikasih surat kuasa agar aku enak nanti bagaimana prosesnya.

"Akhirnya saya "kelahikanlah” BPN. Kelahi-kelahi, akhirnya hampir tiga minggu dikeluarkanlah BA itu oleh BPN,” imbuhnya.

Menurut Flora, di BA itu sudah jelas, hanya saja ukurannya yang awal 14.000 meter persegi menjadi berkurang 10.000 lebih meter persegi. Pihak BPN menyatakan, karena sudah mengukur tiga kali, tanahnya itu di belakang Qubu Resort.

“BPN tidak melesat. Akhirnya saya bawalah BA tersebut ke tempatnya Ibu Henny pada Februari 2024. Awal-awalnya baik. Tapi kemudian Ibu Henny mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menentukan kebijakan karena masalah tanah sudah ada orang yang mengurusnya. Kami juga seakan dipimpong,” kata Flora.

Sejak saat itu situasi semakin memanas. Jika demikian, bagaimana urusan ini bisa selesai. Mengantung terus. Sementara tanah ini sudah jelas ada BA BPN. Edo juga memiliki putusan pengadilan dan mempunyai sertifikat.

“Lalu sekarang kalian punya (sertifikat) dimana? Ibu Henny juga bingung, dimana ya tanah kami. Jadi saya bilang, anggap saja tanah yang diukur BPN itu tanah yang kamu pagar itu 10.000 meter persegi. Anggap saja kalian ambil 7000, trus kami punya 3.000 kenapa dipagar. Itu maksud saya. Yang saya kesal itu kenapa kalian pagar. Itu tidak boleh,” katanya.

Menurut Flora, tanah milik Qubu Resort itu yang berada disebelah pagarnya atau tidak memiliki akses jalan. Namun karena tanah milik Edo punya akses jalan keluar ke Gang Hidayah, maka pihak Qubu Resort mengambil tanah tersebut.

"Saya sih sebenarnya tidak mau kelahi. Kalau memang pihak Qubu Resort mau beli, belilah. Tak masalah, biar saya mengalah. Tapi kalau tidak mau, biar saya yang membelinya buat tanam-tanam cabai. Tapi mereka kan tidak mau bongkar pagar dan sebagainya, masih ngotot bahwa tanah itu milik mereka,” kata Flora.

Terkait kenapa pihaknya tak ingin persoalan ini diselesaikan ke ranah hukum, Flora beralasan tak ingin memberikan dampak yang merugikan bagi pihak-pihak terkait.

“Saya tuh sebenarnya bukan tidak bisa untuk gugat-menggugat. Tapi saya memikirkan dampak domino.  Kalau lewat jalur hukum, itukan otomatis ada dampaknya. Bisa kena pihak-pihak terkait yang memberikan izin, yang membuatkan sertifikat,” katanya.

Menurut Flora dampak domino yang muncul akan kuat sekali. Terlibatlah mereka-meraka nantinya. Selain itu, nanti pastilah Qubu Resort di-police-line atau disegel, lalu bagaimana mereka mendapat penghasilan, sementara karyawannya butuh gaji.

“Itu dulu dampak domino yang saya pikirkan. Kalau misalnya sekarang ownernya kena penjara, bagaimana dia mau cari uang untuk membayar gaji karyawannya lagi. Kalau karyawan tidak mendapatkan gaji bagaimana mereka memberi makan anak istrinya. Terus masalah waktu juga. Kita kan tidak tahu dengan umur atau usia kita hidup,” katanya.

Flora juga mengaku sempat bertemu kuasa hukum pemilik tanah (Samsir) dari pihak Qubu Resort, namun kuasa hukum mengatakan jika tak ada kepastian, maka sebaiknya ke pengadilan.

“Saya jawab saya tidak mau. Lalu nanti kita beginilah, nanti begitulah. Pasca itu, kemudian saya WA tak dibalas. Saya pikir tak ada pengacara lagi kah Qubu Resort ini. Maka saya pergi lagi ke Qubu Resort,” kata Flora.

Flora mengatakan saat pertemuan dengan penasihat hukum Qubu Resort, pihaknya juga menunjukan dokomen serta sertifikat sebagai dasar klaim mereka. Pihak Qubu Resort juga sudah melihat dokumen-dokumen tersebut. Namun sayangnya, dari pihak Qubu Resort tak mengizinkan pihaknya untuk melihat dokumen mereka.

“BA kami juga mereka lihat. Trus mereka bilang ingin foto copy. Ya silahkan, foto copy saja kami bilang. Tapi sekalinya yang mereka punya (sertifikat), kami tak boleh melihat. Tak boleh dilihatkan. Tapi kami nakal sakit, curi-curi lihat dan mengetahui kenapa BA milik meraka namanya beda. Yang mengajukan Nurifah sementara yang mengambil dan tanda tangan namanya beda lagi,” kata Flora.

“Jadi kami tuh maunya begini, mereka punya sertifikat, kami juga punya sertifikat. Yok kita sandingkan. Kita lihat bersama. Biar clear. Tapi mereka tidak mau. Perlihatkan yang asli dengan yang asli.

Flora mengaku pihaknya dua kali bertemu dengan Samsir. Dalam mediasi atau pertemuan itu kesepakatan tak pernah terjadi.

“Apa yang menjadi keinginan kami. Beri kami keputusan, ya atau tidak (membeli tanah tersebut). Kalau sekarang pihak Qubu Resort mau membeli, silahkan. Kalau pun tidak silahkan. Dua itu saja. Yes or Not,” kata Flora.

Menurut Flora, kuasa hukum akan membicarakan ini dengan pemiliknya (owner). Tapi kalau pemilik menolak, silahkan bertemu di pengadilan.

“Langsung saya jawab, saya tidak mau. Dipaksa bagaimana pun saya tidak mau ke pengadilan. Kenapa tidak mau ke pengadilan, saya janji sama BPN jika keluarkan BA, maka tidak akan mengugat BPN,” ungkap Flora.

“Udahlah saya terima jawabannya seperti itu. Maksud saya begini, kalau mereka mau beli ya silahkan. Nanti kita nego harganya. Tapi kalau memang tidak mau, katakan tidak mau. Nanti kami kepung, kami robohkan dulu tembok-tembok mereka. Mereka kan bisa membangun pagar, kami bisa merobohkannya. Tapi mereka juga tidak mau,” imbuhnya.

Selesaikan Masalah dengan Baik

Pj Bupati Kubu Raya, Syarif Kamaruzaman meminta pihak manajemen Qubu Resort dengan pihak penggugat (ahli waris tanah) dapat menyelesaikan permasalahan mereka dengan baik.

Menurutnya, semua permasalahan itu ada jalan keluarnya, apabila kedua belah pihak mau bersama-sama atau sepakat menempuh jalan yang benar yakni jalur hukum yang berlaku di tanah air.

"Saya rasa semua permasalahan ini bisa diselesaikan dengan baik, agar tidak ada persoalan, sehingga perekonomian tetap bisa berjalan dengan kondusif, dan semuanya dapat bersinergi dengan pemerintah daerah," ujar Syafif Kamaruzaman.

Sementara, Dudung Dwimarda, Ketua RT 11, Desa Parit Baru, Kecamatan Parit Baru, Kabupaten Kubu Raya, meminta kedua pihak dapat duduk satu meja mencari solusi terbaik, bagaimana mengatasi permasalahan yang ada.

“Kenapa permasalahan ini baru terjadi. Kita pun berharap aksi teror yang dilakukan oleh premanisme kepada manajemen Qubu Resort itu tidak terulang kembali,” katanya.

Sebelumnya, pihak manajemen Qubu Resort tak terima dan merasa dirugikan atas aksi "teror" yang dilakukan oleh Edo, seorang yang mengaku sebagai ahli waris atas tanah di Gang Hidayah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya.

Aksi ini dilakukan oleh Edo bersama Flora kuasa hukumnya, sebagai buntut dari persoalan tanah yang berlokasi di belakang areal Qubu Resort.

Dalam aksinya, Edo yang mengaku sebagai ahli waris atas tanah tersebut menuding pihak Qubu Resort telah mencaplok tanah miliknya.

Edo bersama kuasa hukumnya, Flavia Flora, secara rutin melakukan aksi keributan dan memberikan ancaman kepada pihak manajemen Qubu Resort, sehingga mengganggu kelancaran sektor usaha di area pariwisata dan taman rekreasi yang berada di Jalan Arteri Supadio KM 12.8 tersebut.

"Bahkan mereka ikut membawa massa membuat keributan, mereka berupaya menyegel hotel, menggembok gerbang masuk dengan rantai, membuang sampah di lobby hotel dan restoran, hingga mengancam para karyawan di Qubu Resort layaknya seperti preman jalanan, kata pihak Manajemen Qubu Resort, Uray Henny.

Akibat ulah Edo dan Flora itu, Uray Yenny mengaku bisnis hotel mereka terganggu, merugi bahkan nama baik Qubu Resort juga menjadi rusak.

Menurut Uray Yenny, lokasi tanah yang dipermasalahkan berada di belakang area Qubu Resort. Sedangkan lokasi yang menjadi sasaran untuk “diganggu” oleh Edo dan Folra di depan hotel.

“Padahal aktivitas hotel dan fasilitas lainnya tidak ada kaitannya dengan tanah itu. Perbuatan ini dilakukan mereka secara rutin, setiap dua hari sekali dan semakin intens. Bahkan mereka juga membawa massa hingga 10 orang,” katanya.

“Mereka juga mengancam karyawan kami hingga ketakutan. Tamu-tamu yang datang dan melihat tingkah mereka menjadi takut untuk datang dan chek in di hotel ini. Tamu menjadi terusik, bahkan ada yang khawatir  apakah mereka (tamu) bisa nyaman dan aman. Pada intinya usaha hotel juga menjadi terganggu," sebutnya.

Uray menambahkan, mereka (Edo dan Folra) juga pernah ingin menggembok pintu hotel, sehingga membuat pihaknya harus berjaga selama berjam-jam.

"Kalau pintu masuk di depan (gerbang) tuh sudah pernah digemboknya. Sudah tiga kali. Kita buka, trus mereka gembok lagi. Begitu berulang kali, dan mereka selalu mengancam akan mengekspos ke media jika tidak mau menuruti apa yang dia inginkan," ungkapnya.

Tambahnya, mereka juga bahkan membuang sampah dan botol-botol menggunakan karung di depan pintu masuk hotel dan mengancam akan menurunkan material batu sebanyak satu dam truk untuk menutup pintu masuk Qubu Resort, serta masih banyak lagi ancaman lain.

Atas aksi “teror” yang dilakukan oleh kelompok Flora tersebut, pihak Qubu Resort telah membuat pengaduan ke pihak kepolisian.

“Pertama kita ada buat laporan ke Polda Kalbar ketika grup Flora membuat keributan di wilayah tanah belakang. Kondisinya saat itu sudah mencelam karena terjadinya pengancaman-pengancaman,” katanya.

Kemudian saat grup Flora melakukan penggembokan pagar masuk Qubu Resort pihaknya juga membuat pengaduan ke Polres Kubu Raya. Kemudian ditambah lagi pengaduan atas aksi Flora melemparkan beling atau pecahan botol dan sampah di dalam hotel.

“Jadi aksi itu dilakukan Flora secara berturut-turun dia sudah di luar batas kemampuan manajemen Qubu Resort untuk mengatasinya,” tambah urai.

Kami juga menyanggah pernyataan yang menyebutkan bahwa pihak Qubu Resort tidak menerima atau mendengar keluhan mereka. Sejak Februari 2024 kami menyambut mereka dengan baik, ada proses dan pertemuan.

“Itu bisa dilihat dari postingan media sosial milik saya. pertemuan itu berjalan baik,” kata Uray Henny.

Namun anehnya, Flora selalu mengirim surat meminta eksavator harus pindah, kemudian bersurat dia akan menggembok, kemudian mengirim surat lagi meminta Qubu Resort membayar biaya untuk parkir eksavator di atas lahan itu.

“Inikan sangat aneh sekali. Dan dia terus melakukan teror-teror yang kita tidak tahu akan sampai kapan,” keluhnya.

Uray mengaku bahwa tindakan-tindakan Flora yang dinilainya sudah anarkis tersebut, sangat merugikan Qubu Resort, merugikan karyawan dan tamu-tamu yang ada.

“Berapa banyak kerugian untuk usaha kami yang harus dipertanggungjawabkan dengan direksi kami, terutama soal rusaknya citra dan opini negatif yang muncul atas aksi Flora ini. Dia anarkis, melakukan serangan dengan ancaman-ancaman akan membawa massa dan lainnya,” kata Uray Henny.

Terbaru kata Uray, terjadi pada Minggu (31/3/2024) malam, kisruh antara pihak Flora dan karyawan terjadi di lokasi parkir. Flora bersama kelompoknya memarkirkan mobilnya secara melintang di depan pintu masuk, sehingga menggangu kendaraan lain untuk keluar masuk.

“Saya jelaskan untuk kejadian tadi malam, ini sudah puncak kesabaran kami. Sejak dua hari ini kami tidak izinkan dia masuk ke lokasi Qubu Resort melalui pintu gate depan. Karena aksi dia sudah sangat menyeramkan. Dan ini karyawan kami yang meminta,” tegasnya.

Uray Henny pun meminta pihak kepolisian dapat bertindak lebih tegas. (mar/ind/hd)

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda