Ponticity post authorelgiants 04 September 2024

BPN Disebut Jadi Biang Kerok, Sengketa 'Tanah Gombang' di Qubu Resort

Photo of BPN Disebut Jadi Biang Kerok, Sengketa 'Tanah Gombang' di Qubu Resort

PONTIANAK, SP – Polemik terkait status kepemilikan tanah di Gang Hidayah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, antara Tan A Bih (pemilik lahan Qubu Resort) dan Ridha Aksa Nan Gombang (Edo) berlanjut ke meja hijau. Kedua pihak yang bersengketa saling ngotot memiliki hak atas tanah tersebut.

Eko, perwakilan pemilik tanah Qubu Resort mengatakan, pihaknya telah melakukan gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak guna menyelesaikan persoalan saling klaim atas kepemilikan tanah tersebut.

“Kita ingin menyelesaikan persoalan sesuai aturan yang berlaku. Saat ini posisinya masih sidang mediasi. Kedua pihak masih mempertahankan hak masing-masing. Tapi dia posisinya tetap selalu minta pertanggungjawaban dari kami,” kata Eko kepada Suara Pemred, belum lama ini.

Eko berharap dengan adanya peradilan dapat mewujudkan kepastian hukum. Dia juga akan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.

“Kita inginnya perkara ini kalau bisa sampai ada putusan inkrah. Biar tidak bolak-balik lagi. Diselesaikanlah,” ujarnya.

Namun begitu, Eko juga berharap perlindungan dan diperlakukan secara adil dalam proses ini. Karena pihaknya juga merupakan korban, bukan pihak yang semena-mena mencaplok atau merampas tanah milik orang lain.

“Kami menghormati proses hukum, cuma kami ingin tegaskan bahwa kami juga adalah korban dan kami tidak merampas tanah itu. Tanah dibeli dengan sah dan juga telah disahkan oleh BPN. Jadi korban yang sebenarnya adalah kami selaku pihak pembeli,” katanya. 

Eko menjelaskan, pihaknya dalam hal ini Tan A Bih, membeli tanah tersebut sekitar tahun 2008 dari Nurifah Gombang dengan dasar kuat dan sesuai dengan hukum. Baik itu pengecekan sertifikat, maupun Berita Acara (BA) Pengukuran Pengembalian Batas. Penunjukan batas juga dilakukan oleh Nurifah sendiri bersama pihak BPN.

“Jadi waktu kita memperoleh lahan itu, pengukuran balik batas dilakukan sendiri oleh Nurifah dan pihak BPN. Mereka turun ke lapangan, menunjuk patok, dan ikut menetapkan batas-batas tanah. Makanya setelah transaksi selesai kita pemperoleh hak atas tanah itu. Adanya balik nama, semua dijalankan dinotaris. Nah, makanya kita pagar lahan itu dan kita kelola sejak transaksi jual beli dilakukan pada 2008,” ungkapnya.

Menurut Eko, jika pihak Edo selaku ahli waris merasa posisinya adalah korban dalam perkara ini, seharusnya Edo  menutut atau meminta pertangungjawaban dari keluarganya sendiri yang telah menjual tanah itu.

“Jadi jangan kami selaku pembeli tanah yang disalahkan dan ditekan sebagai pihak yang merampas tanah. Logikanya yang jual tanah itu adalah pihak mereka, keluarga mereka, yakni Nurifah ibu Edo sendiri. Kami sudah keluar uang untuk membeli tanah itu secara sah. Selain itu kemana saja dia (Edo) selama 16 tahun ini,” katanya.

Munculnya klaim atas tanah yang dikelola Qubu Resort ini membuatnya kecewa. Sebagai investor dan pengusaha, Eko merasa tidak mendapat perlindungan yang maksimal atas investasi dan penanaman modal pada sektor usaha yang selama ini telah dibangun di area Qubu Resort.

“Sebagai investor dan telah mengusahakan lahan tersebut selama belasan tahun hingga memiliki nilai ekonomis seperti saat ini, perlindungan terhadap kami apa? Sedangkan sekarang masalah yang muncul semakin banyak,” keluhnya.

Apalagi, persoalan ini muncul imbas dari diterbitkannya Berita Acara (BA) Pengukuran Ulang dan Pemetaan Kadastral tahun 2019 yang dikeluarkan pada 2024 yang dimohonkan pihak Edo oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kubu Raya.

“BPN inilah sebenarnya biang keroknya. BPN telah menerbitkan BA Pengukuran Ulang milik kami pada 2008 lalu. Kemudian tiba-tiba pada 2024 juga mengeluarkan BA milik Edo. Apakah boleh begitu. BPN seperti memberi kami masing-masing pedang agar kami saling bertarung, saling bacok. Sementara BPN  lepas tangan, menonton kami bertarung” ujarnya kesal.

BPN kata Eko, beralasan menerbitkan BA milik Edo pada 2024 karena telah menemukan data baru, merujuk pada update data satelit, dan menyebut bahwa data pada tahun 2028 tidak lengkap. BPN Kalbar bahkan mengeluarkan dokemen kajian tim penanganan dan penyelesaian sengketa pertanahan yang dimohonkan kuasa hukum Edo atas tanah itu agar BA tahun 2028 milik Tan A Bih direvisi.

“BPN Kubu Raya melempar masalah ini ke Kanwil BPN Kalbar. Sekarang BPN bilang karena adanya penemuan data baru, dokumen-dokomen yang diterbitkan pada 2008 harus direvisi. Tentu saja kami sangat dirugikan, apalagi sebelum dokumen itu diterbitkan kami tidak dipanggil atau mediasi pada semua pihak. Jadi kemana kami harus meminta perlindungan? Dimana perlindungan untuk investor? Bagaimana investasi kami?,” kata Eko.

Menurut Eko, BPN justru memberatkan pihak Qubu Resort, bukannya mencarikan solusi atas masalah persoalan tanah ini.

“BPN sekarang dengan entengnya bilang, oh ada temuan baru, jadi harus direvisi. Mereka posisinya memberatkan kami, bukannya mencarikan solusi. Juga seharusnya dari awal kami dipanggil untuk mediasi terkait persoalan ini,” kata Eko.

Eko menambahkan, BPN juga tidak bertangungjawab atas tindakannya dalam menyikapi suatu persoalan. Pasalnya, selama ini ada indikasi BPN seperti ditekan oleh pihak Edo dan pengacaranya agar segera menerbitkan BA Pengukuran Ulang.

“Cara BPN mengambil tindakan tidak bertanggungjawab. Sekarang setelah beracara, saya melihat BPN lepas tangan. Tidak objektif. BPN menyelesaikan masalah, tapi membuat masalah lain. Membuat susah investor,” kata Eko.

Eko pun mempertanyakan bagaimana pemerintah memberikan perlindungan bagi investor, khususnya terhadap persoalan tanah.

“Karena faktanya yang saya rasakan investor tidak dilindungi. Semua masalah ini kesalahannya seperti dituangkan kepada kami. Qubu Resort yang harus berbesar hatilah, selesaikanlah,” ujarnya.

Padahal pihaknya juga telah berusaha menjadi pengusaha dan tetangga yang baik, juga memenuhi kewajiban membayar pajak ke pemerintah. Bahkan sebelum ada pengusaha yang namanya Tan A Bih, apakah ada yang mau berinvestasi membangun fasilitas wisata di Kubu Raya yang bahkan kini menjadi destinasi wahana air terbesar di Kalbar.

“Jadi jika kami sekarang dituntut dengan segala macam, sebaliknya kami harus menuntut kepada siapa? Orang yang dapat kami mintai pertangungjawaban atas transaksi jual beli tanah itu juga sudah tidak ada,” katanya.

Citra Rusak

Eko menyatakan, persoalan sengketa tanah ini turut mempengaruhi progress dan rencana pengembangan Qubu Resort yang selama ini dianggap sebagai ikon wisata di Kubu Raya, Kalbar. Apalagi selama adanya perkara ini, Qubu Resort masih selalu ditekan, diberi cap, stigma dan label negatif yang belum tentu terbukti benar.

“Dengan adanya persoalan ini, kami sebagai investor jadi berpikir dua kali untuk melakukan investasi lebih jauh. Apalagi mungkin sekarang pengurusan perijinan akan lebih sulit karena adanya upaya merusak citra Qubu Resort,” ungkapnya.

Menurut Eko, selama adanya polemik ini, Edo dan kuasa hukumnya, Flavia Flora kerap melakukan aksi-aksi keributan yang terkesan seperti sebuah aksi “teror” kepada berbagai lini bisnis dan usaha yang ada di Qubu Resort. Padahal Qubu Resort tidak ada kaitannya dengan masalah tanah ini.

“Tanah itu atas hak nama pribadi, hak guna perorangan, bukan hak guna bangunan. Waktu tanah dibeli Qubu Resort belum berdiri. Jadi ini sangat merugikan, mereka menyerang lini usaha yang dimiliki. Citra baik yang sudah ada terkena dampak, apalagi usaha tersebut merupakan usaha jasa,” ungkapnya.

Serangan juga datang dari sejumlah media massa yang disebut Eko “membekingi” pihak Edo. Berita yang dimunculkan melewati batas, sehingga terjadi praktik trial by the press. Informasi yang dipublikasikan menyudutkan, merugikan dan merusak nama baik serta rating Qubu Resort.

“Kemarin di media diulas terkait proses mediasi. Karena kita berpikir jika masalah ini selesai secara damai tentu akan lebih bagus, tetapi ternyata itu jebakan “batman” dan dipelintirlah bawa Qubu Resort buka harga sangat rendah, dan ingin menekan pihak Edo. Seoalah-olah kami adalah perwujudan dari taipan besar yang ingin menggencet rakyat kecil,” ungkapnya.

Apalagi pihaknya selama ini juga diinformasikan telah mencaplok, menguasasi dan menutup akses lahan. Padahal kondisinya, pihak Qubu Resort hanya mempertahankan sesuai dengan dokumen-dokumen yang dimiliki.

“Ada juga soal sampah yang sebelumnya sempat menjadi isu yang diviralkan oleh pihak Edo dan pengacaranya. Ini menyebabkan stigma dan stereotif buruk bagi Qubu Resort. Bisa cek review di google, nilai dan citra tercoreng. Ini berdampak, meski kecil namun beriak,” imbuhnya.

Makanya kata Eko, jangan sampai pihak-pihak tak bertangungjawab memelintir lagi isu-isu dan berita yang tidak benar, sehingga dapat mempengaruhi opini publik, lembaga hukum dalam pengambilan keputusan dalam perkara ini.

Eko menambahkan, jika semua orang bisa bertindak semena-mena seperti Edo dan pengacaranya, ini akan menjadi efek domino yang bisa merugikan bagi pelaku usaha-usaha yang lain, yang mungkin ingin mengembangkan atau melakukan investasi usaha di Kubu Raya.

Mediasi Gagal

Sementara itu, Flavia Flora, kuasa hukum dari Ridha Aksha Nan Gombang (Edo) menyebut Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Kalbar telah mengeluarkan dokumen kajian tim penanganan dan penyelesaian sengketa pertanahan atas tanah seluas 14.160 meter persegi yang terletak di Desa Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya, yang dimohonkan pihaknya.

Dari dokumen tersebut telah dinyatakan bahwa tidak ada tumpang tindih. Tim penanganan dan penyelesaian sengketa pertanahan BPN kalbar berpendapat bahwa letak tanah dari Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 34683/Sungai Raya yang tercantum dalam Sket Lokasi lampiran Berita Acara Pengukuran Ulang dan Pemetaan Kadastral Nomor 46/BAPU-14.14/III/2019 tanggal 6 Maret 2029, berada di lokasi yang sama dengan letak berdasarkan data spasial hasil analisis.

Bahwa memperhatikan hasil analisis, tim berpendapat letak bidang tanah SHM Nomor 33928/Sungai Raya yang tercantum dalam Peta Bidang lampiran Berita Acara Pengukuran berdasarkan penunjukan batas oleh Pemilik (Nurifah) tanggal 28 Februari 2008, berada di lokasi yang berbeda dengan letak bidang berdasarkan data spasial hasil analisis.

“Jadi kalau pihak Tan A Bih memakai BA Pengukuran Ulang dan Pemetaan Kadastral 2008 itu berbeda, bukan di tempatnya klien kami Edo,” kata Flora.

Tim juga berpendapat bahwa terhadap BA Pengukuran berdasarkan Penunjukan Batas oleh pemilik tanggal 28 Februari 2008 yang menjadi objek dalam gugatan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 81/Pdt.G/2024/PN Mpw, maka terhadap dengan kegiatan yang berkaitan dengan pencatatan atau perubahan BA tersebut harus memperhatikan ketentuan Pasal 126A dan Pasal 126B Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Dalam dokumen tersebut, tim BPN Kalbar juga merekomendasikan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kubu Raya perlu melakukan revisi terhadap BA Pengukuran berdasarkan Penunjukan Batas oleh pemilik tanggal 28 Februari 2008 dilaksanakan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap perkara Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 81/Pdt.G/2024/PN Mpw. Kemudian melakukan revisi BA Pengukuran tahun 2019 milik Edo.

“Jadi tanah mereka itu di tempat yang berbeda. Bukan di lokasi tanah milik klien kami. Jadi disini sudah jelas. Nah yang jadi masalah sekarang pihak Qubu Resort ini sudah memagar tanah tersebut, itu yang menjadi polemik,” katanya.

“Sudah jelas setelah ditelaah oleh Kanwil BPN Kalbar bahwa lokasi tanah klien kami dan pihak Tan A Bih ini berbeda. Jadi apa yang dikatakan bahwa posisi tanah yang mereka sebut milik Qubu Resort itu salah. Tapi justru memagar tanah milik klien kami,” jelasnya.

Menurut Flora, tanah milik kliennya seluas 10.882 meter persegi, sementara tanah Qubu Resort sekitar 7.000 meter persegi. Lokasi tanah keduanya masing-masing berbeda, namun oleh Qubu Resort lokasi tanahnya dipindahkan ke lokasi tanah milik kliennya.

“Di tanah klien kami seluas 10.882 meter persegi itu kemudian dipagar oleh Qubu Resort dari depan sampai belakang. Pihak Qubu Resort mengklaim tanah itu berdasarkan BA Pengukuran berdasarkan Penunjukan Batas oleh pemilik pada tanggal 28 Februari 2008, padahal tanah mereka cuma 7.000 meter persegi,” kata Flora.

Terkait gugatan, Flora menyebut pihak Tan A Bih melakukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Mempawah, namun gugatan itu adalah gugatan perbuatan melawan hukum dan salah alamat. Karena bagaimana mungkin kliennya melakukan perbuatan melawan hukum, sementara tanah itu merupakan hak dari kliennya.

“Justru menurut saya pihak Qubu Resort yang melakukan perbuatan melawan hukum karena mengambil hak klien saya. Kalau pihak Qubu Resort mau menggugat, seharusnya gugat Ibu Nurifah atau pihak penjual awal dan BPN yang melakukan penunjukan batasnya. Kalau klien kami ini kan lokasi tanahnya berbeda, sudah ada putusan pengadilan terkait pembagian hak warisnya,” kata Flora.

Adapun terkait sejumlah sidang mediasi yang telah dilakukan oleh kedua pihak, menurut Flora hingga saat ini belum menemukan titik temu. Dalam siding mediasi, pihak Qubu Resort sempat menawarkan Rp275 ribu per meter persegi, namun ditolak oleh pihaknya.

“Alasannya karena tanah tersebut telah dikuasi oleh Qubu Resort sejak lama, dan telah digunakan untuk berbagai event. Selain itu, tanah juga telah dijaminkan ke Bank Panin. Mereka sudah banyak meraup keuntungan dari tanah itu,” jelasnya.

Usai ditolak, pihak Qubu Resort kemudian menaikan penawaran menjadi Rp500 ribu per meter persegi. Namun lagi-lagi ditolak oleh pihaknya dengan alasan yang sama.

“Pihak mereka sempat keberatan karena kami meminta Rp2 juta per meter. Lalu diminta hakim dapat turun jadi berapa, kemudian kami tawarkan jadi Rp1,8 juta. Harga ini berdasarkan nilai harga tanah di sekitar lahan itu yang rata-rata Rp1,9 juta,” ungkapnya.

Ditambahkan Flora, harga Rp1,8 juta tersebut merupakan harga yang ditawarkan dari resume tim pengacara. Namun Edo sendiri selaku ahli waris atau pemilik tanah sempat menyampaikan dapat menerima jika tanahnya dihargai sekurang-kurangnya Rp1,5 juta per meter.

“Mediasi sudah dilakukan sebanyak tiga kali, namun kedua pihak masih keberatan soal harga. Sampai saat ini penawaran tertinggi dari pihak Qubu Resort Rp500 ribu per meter. Jadi kami masih menolaknya. Mereka minta persidangan dilanjutkan, jikapun nanti ada mediasi lagi di luar persidangan,” jelasnya.

Flora menegaskan, pihaknya datang bukanlah untuk mengacau di Qubu Resort. Karena sejak awal pihaknya sudah menyampaikan bahwa tanah tersebut adalah milik kliennya, namun pihak Qubu Rersort berkeras bahwa itu adalah miliknya berdasarkan  BA Pengukuran berdasarkan Penunjukan Batas oleh pemilik pada 2008.

“Jadi ingin saya tekankan disini, bahwa BA itu bukan sebagai bukti kepemilikan, jadi janganlah tanah itu dipagar keseluruhannya, apalagi tanah yang mereka punya tidak sesuai dengan yang klien saya miliki. Tidak ada itu yang namanya tumpang tindih lahan. Dokumen kajian tim penanganan dan penyelesaian sengketa pertanahan BPN ini sebagai buktinya,” ujar Flora.

Flora sendiri mengaku alasan pihaknya tidak melakukan gugatan terkait hal ini karena ingin melakukan mediasi dan bernegosiasi secara baik-baik. Apalagi mengingat Qubu Resort juga merupakan aset dan ikon wisata pemerintah daerah.

Adapun terkait munculnya dua BA Pengukuran Ulang dan peran BPN, Flora menilai BPN tidak bersalah, namun yang bersalah adalah oknum dari BPN. 

“Yang salah itu oknum, yang mengatasnamakan BPN di tahun 2008. Yang salah itu Ibu Nurifah bersama oknum BPN tersebut,” tukasnya. (ind)

Bukan Beli Kucing dalam Karung

Sebelumnya diberitakan, Penasihat Hukum dari Tan A Bih, Samsir menegaskan, pihaknya segera akan melakukan upaya gugatan hukum melalui jalur atau mekanisme hukum yang ada.

“Pemilik tanah menginginkan adanya upaya hukum. Mewakili klien saya, kami akan segera melakukan gugatan di pengadilan negeri,” katanya.

Terkait persoalan tanah, Samsir menjelaskan, bahwa ketika tanah dijual ke kliennya pada 2008 lalu, suami Nurifah Gombang, yakni Gombang Titjo, sudah meninggal dunia.

“Jadi waktu itu kita lihat memang tidak ada persoalan harta bersama dalam perkawinan keduanya. Karena sertifikat tanah tersebut sudah atas nama pribadi atau atas nama orang pribadi. Berarti sudah selesai disitu tidak ada lagi haknya Gombang Titjo,” kata Samsir.

Selain itu sepengetahuan pihaknya, dari pernikahan Gombang Titjo dengan Nurifah juga tidak memiliki anak. Apalagi Gombang Titjo adalah seorang polisi yang tidak mengenal istilahnya kawin atau menikah lebih dari satu kali

“Kalau kita bicara hukum kan begitu, karena tidak mungkin seorang polisi memiliki istri yang kedua atau ketiga. Kalau pun ada pernikahan kedua atau ketiga kan tidak boleh dicatat,” terangnya.

Samsir menambahkan, selama ini pihak yang mengkalim tanah tersebut bicara berdasarkan katanya saja. Mereka tidak pernah menunjukan kepada media dasar klaim mereka. Apakah itu berupa sertifikat tanah atau dokumen lainnya.

Namun sejauh ini yang diperlihatkan hanyalah fotocopy berkas penetapan waris dan Berita Acara Pengukuran Ulang dan Pemetaan Kadastral dari pihak BPN.

“Nah, coba perhatikan poin-poin dari BA Pengukuran Ulang BPN yang dimohonkan oleh pihak Edo tersebut. Di dalam poin-poin itu jelas sekali bahwa tanah tersebut belum jelas secara yuridis adalah milik mereka. BPN belum bisa memastikan secara tegas bahwa tanah yang ditunjuk itu adalah tanah milik mereka,” tegas Samsir.

Adapun poin yang dimaksud Samsari yakni bahwa dalam penunjukan berdasarkan BA yang dimiliki pihak Edo, lokasi tanah yang ditunjuk “digarisbawahi” telah dikuasi pihak lain. Itu artinya ada tumpang tindih, meski menurut versi Edo bahwa dalam persoalan ini tidak ada tumpang tindih.

“Logika hukumnya, kenapa BPN mengeluarkan BA milik Edo tersebut, sementara BA milik kami yang tahun 2008 juga adalah produk dari BPN,” kata Samsir.

“Nah versi kita berdasarkan fakta. Kita membeli tanah bukan ibaratnya membeli kucing dalam karung. Sebelum kita membeli kita bertanya kepada penjual. Tanah yang akan dijual lokasinya dimana. Walaupun si penjual sudah menunjukan lokasi berdasarkan dokumen sertifikatnya, kita kan tidak cukup percaya hanya mendengarkan keterangan dari pemilik. Nah kita tentunya meminta bukti dari pemilik supaya melakukan pengembalian batas,” kata Samsir.

Berdasarkan hal itu, pada sekitar Februari 2008, pemilik tanah (Nurifah) mengajukan permohonan pengembalian batas ke BPN. Kemudian dilakukanlah pengembalian batas dan yang penunjuk pengembalian batas ini juga adalah Nurifah Gombang sendiri, yang tentunya lebih mengetahui batas-batas tanahnya sendiri.

“Dalam proses pengukuran pengembalian batas ini, juga telah pula dipasang patok-patok sebagai tanda pembatas tanah. Oleh BPN, kemudian terbitlah BA Pengukuran Pengembalian Batas. Dari pengembalian batas itu jelas bahwa tanah di bagian belakang berbatasan langsung dengan jalan di Gang Hidayah. Sehingga dengan kondisi itu, klien kita barulah menyetujui dilakukan transaksi jual beli,” terangnya.

"Jadi kita ini kan membeli sesuatu tentunya memikirkan manfaat dan segala macam juga. Setelah memastikan tanah itu ada akses jalan barulah kita beli. Transaksi berlangsung beberapa bulan berikutnya, yakni sekitar April 2008. Jadi istilahnya kita bukan beli kucing dalam karung," imbuhnya.

Samsir juga membantah pihaknya (pemilik tanah) tidak kooperatif terhadap pihak yang mengkalim tanah tersebut. Karena menurutnya, dia telah dua kali melakukan pertemuan dengan Edo dan Flora.

Samsir menjelaskan, jika dilihat, sertifikat milik Edo luasnya 14.000 meter persegi, sedangkan sertifikat milik kliennya yang ditimpa sekitar 7.000 meter persegi.

“Nah sekarang kita mau selesaikan bagaimana, apakah kita harus membayar tanah 14.000 meter persegi itu, atau 7.000 meter persegi sekian ini. Kalau kami bayar yang 7.000 meter persegi ini, artinya kami harus membayar dua kali dong,” jelasnya.

Samsir tidak bicara soal tumpang tindih karena pada BA Pengukuran Pengembalian Batas yang pihaknya miliki tidak ada bicara soal tumpang tindih. Logikanya, kalau ada tumpang tindih, tidak mungkin pihaknya mau membeli.

Namun demikian, indikasi adanya tumpang tindih ada karena pihak Edo melakukan penunjukan lokasi tanah, bahkan sampai tiga kali.

“Jadi waktu mereka mengajukan permohonan pengembalian pengukuran batas, BPN kan tidak bisa mencarikan tanahnya dimana, jadi yang menunjukan mereka yang mengaku dari pihak ahli waris ini. Jadi yang jelas dari pihak mereka ini menunjukan tiga kali, di tiga lokasi yang berbeda. Terakhir, ditunjukanlah lokasi yang saat ini (Qubu Resort), dan yang menjadi masalah saat ini," terangnya.

Menurut Samsir, dalam pertemuan itu, pihaknya juga menegaskan bahwa masalah ini bisa menjadi konflik tanah. Jadi pihaknya tidak bisa bicara soal jual beli dan segala macamnya. Persoalan batas tanah haruslah diselesaikan dahulu. Apakah ini benar tanah milik mereka atau milik kliennya.

“Untuk itu saya bilang, saya persilahkan mau Anda yang mengungat atau kami yang menggugat ke pengadilan. Tapi mereka menjawab, tak mau menggugat dan tetap ngotot meminta agar tanah itu dibayar Rp5 juta per meter. Yang bilang Rp5 juta adalah Flora, sementara Edo hanya senyum-senyum saja tanpa menyebutkan iya atau tidak," ungkap Samsir.

“Yang jelas dari pihak Flora menawarkan Rp5 juta per meter, kemudian saya jelaskan hal ini tidak akan bisa selesai, karena ini ada permasalahan yang sangat rumit dan belum jelas tanahnya,” tambahnya.

Terkait pagar milik Qubu Resort yang diklaim masuk dalam tanah milik Edo atau dicaplok oleh Qubu Resort, menurut Samsir itu adalah klaim yang tidak benar alias fitnah. Karena faktanya ukuran tanah yang pihaknya beli adalah 7.000 meter persegi, sesuai sertifikat dan sesuai BA Pengukuran Pengembalian Batas dari BPN.

“Kita memiliki dasar yang kuat. Selain punya sertifikat, kita juga mendirikan pagar berdasarkan patok yang dipasang BPN,” tegasnya. (ind)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda