PONTIANAK, SP – Polisi menyita 47 batang emas di ruko yang berada di Komplek Perdana Square, Jalan Perdana, Kecamatan Pontianak Selatan. Puluhan emas batangan ini disita karena diduga didapat dari hasil penambangan emas ilegal di wilayah Kalbar.
Emas batangan tersebut ditemukan aparat kepolisian dari Polresta Pontianak pada Sabtu (3/5). Kasatreskrim Polresta Pontianak, AKP Wawan Darmawan mengatakan pengungkapan kasus ini berawal ketika aparat kepolisian dari Satnarkoba Polresta Pontianak hendak melakukan penggerebakan kasus transaksi jual beli narkotika di wilayah tersebut.
“Aparat dari Satnarkoba Polresta Pontianak kemudian melakukan penggeledahan di ruko tersebut dan mendapatkan tiga keping emas yang diduga berasal dari pertambangan ilegal,” kata Wawan, saat Konferensi pers di Polresta Pontianak, Senin, (5/5).
Polisi kemudian melanjutkan penggeledahan dan hasilnya ditemukan lagi 43 batang emas yang diiduga dibeli dari penambang emas ilegal.
“Dari penggeledahan kembali menemukan 43 keping emas yang diduga juga dibeli dari penambangan emas tanpa izin (PETI). Total ada 47 keping emas yang ditemukan di lokasi,” terang Wawan.
Di lokasi tersebut, polisi mengamankan empat orang berinisial A, SL, SR dan seorang perempuan berinisial DN. Keempatnya kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Dari hasil pemeriksaan, mereka memiliki peran yang berbeda beda. Tersangka DN berperan sebagai bagian administrasi, SR sebagai operator, sedangkan Sal dan A berperan sebagai orang yang bertugas mengambil emas yang dibeli.
“Dari empat tersangka tadi, tiga tersangka ditahan di Rutan Mapolresta Pontianak, sedangkan tersangka DN saat ini masih dirawat di RS,” ujar Wawan.
Keempat tersangka yang ditangkap diduga melanggar Pasal 161 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002, yakin melakukan pemanfaatan, pengolahan atau pemurnian atau penjualan mineral batu bara tanpa izin yang sah dari pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan), IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), IPR (Izin Pertambangan Rakyat), SIPB (Surat Izin Penambangan Batubara), atau izin lainnya.
“Untuk pemilik emas ini inisialnya L dan masih dalam pencarian,” pungkas Wawan.
Tambang Emas Ilegal Kian Mengganas
Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) kembali mencuat dan mengundang kekhawatiran publik.
Sejak dua pekan terakhir, kawasan sungai di wilayah tersebut dipenuhi puluhan lanting tambang milik para penambang tradisional yang beroperasi secara terang-terangan, mencemari lingkungan sekaligus menimbulkan kerugian besar bagi negara.
Pantauan langsung Suara Pemred pada Jumat (2/5/2025), menunjukkan bahwa aktivitas PETI masih berlangsung aktif. Tidak tampak satu pun tanda-tanda penindakan dari aparat penegak hukum (APH) setempat.
Padahal, sungai yang menjadi lokasi tambang merupakan bagian dari Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia yang selama ini menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat.
“Sudah dua minggu lebih mereka kerja siang malam. Sungai jadi keruh dan banyak ikan mati,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.
Ketiadaan tindakan tegas dari APH membuat masyarakat semakin resah. Penambangan ilegal yang seharusnya menjadi atensi utama penegak hukum justru terkesan dibiarkan.
Sejumlah pihak bahkan menduga adanya pembiaran yang disengaja. Beberapa tokoh masyarakat menyebut bahwa APH “dikangkangi” oleh cukong-cukong besar di balik operasi PETI ini.
Media sosial pun ramai menyoroti fenomena ini. Salah satunya adalah unggahan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Laskar Merah Putih Sanggau yang secara lantang mengecam aktivitas penambangan di bantaran Sungai Kapuas.
Dalam unggahan mereka di Facebook pada 26 April 2025, LSM tersebut mempertanyakan kebenaran dan legalitas kegiatan tambang yang dinilai merusak ekosistem dan merampas hak masyarakat lokal.
“Kalau dibiarkan terus, nanti generasi mendatang cuma bisa dengar cerita tentang kejernihan Sungai Kapuas,” tambah warga lainnya dengan nada sedih.
Kondisi ini menyoroti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Tak hanya berdampak pada lingkungan, aktivitas PETI juga menghilangkan potensi pemasukan negara dari sektor tambang yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat pun mendesak pihak terkait untuk segera mengambil tindakan konkret demi menghentikan perusakan lingkungan yang kian masif ini.
Aparat hukum harus hadir dan menunjukkan keberpihakan pada hukum dan kepentingan rakyat, bukan justru tunduk pada kekuasaan uang. (mar/dok)