Ponticity post authorelgiants 09 Februari 2025

Marak Pangkalan 'Bodong' di Sintang, Bos Agen Gas Subsidi Diduga Ditangkap Polda Kalbar

Photo of Marak Pangkalan 'Bodong' di Sintang, Bos Agen Gas Subsidi Diduga Ditangkap Polda Kalbar

PONTIANAK, SP - Seorang pengusaha agen isi ulang LPG Subsidi 3 Kg di Kabupaten Sintang diduga diamankan oleh pihak kepolisian, kemarin.

Dari informasi yang diperoleh Suara Pemred, pengusaha agen gas subsidi berinisial AV ini merupakan bos dari PT. TJ yang beralamat di Jalan Poros Sintang - Pontianak Km. 13.

Diduga diamankan Polda Kalbar karena menjadi aktor adanya pangkalan gas fiktif di sejumlah titik di Kota Sintang.

Ketika dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Pol Dr. Bayu Suseno belum dapat memberikan keterangan kepada Suara Pemred. Pasalnya, belum mendapatkan informasi terkait kasus ini.

"Saya belum dapat info terkait dengan adanya penangkapan bos pangkalan gas elpiji 3 kg di Kabupaten Sintang. Saya cek ke Krimsus dulu," kata Bayu.

Sebelumnya, persoalan temuan pangkalan bodong di Kabupaten Sintang menjadi pembahasan khusus usai Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan Tim Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) melaksanakan High Level Meeting membahas soal inflasi dan kemiskinan di Pendopo Bupati Sintang, akhir tahun kemarin.

Bahkan, usai rapat, Kadisperindag Arbudin dan Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Kabupaten Sintang, Subendi tampak langsung melakukannya pertemuan dengan pihak Pertamina untuk membahas temuan pangkalan bodong.

“Nanti ada rapat khusus dengan Pertamina. Bupati perintahkan panggil Pertamina gelar rapat khusus mengenai gas LPG,” kata Sekda Sintang, Kartiyus.

Kartiyus mempertanyakan peran Pertamina dalam melakukan pengawasan terhadap distribusi LPG 3 Kg dari tingkat agen hingga pangkalan.

“Pangkalan bodong, itu termasuk Pertamina bagaimana ndak bisa mengawasi banyak pangkalan bodong itu. 50 persen laporan camat bodong. Pangkalan udah dibentuk tapi bodong gak ada. Berarti ke mana jatah ke pangkalan larinya. Sekarang mereka bodong ndak melaksanakan tugas menyalurkan gas. Ke mana gasnya. Itu harusnya badan pengawas hilir Pertamina yang harus mengawasi itu termasuk minyak dan LPG,” jelas Kartiyus.

Menurut Kartiyus, stok gas LPG 3 Kg sebenarnya aman. Hanya ada kecenderungan harganya naik. Dia berharap, Pertamina dan dinas terkait bisa membahas soal tata kelola distribusi gas LPG.

“Stok LPG sebenarnya aman cuma itu tadi, ada kecenderungan mau naik karena barangnya gak tau ke mana. Jatah cukup sesuai kuota, tapi barangnya mana. Apapun bisa terjadi mungkin dijual tempat lain dengan harga lebih tinggi. Gak boleh itu,” kata Kartiyus.

Kadisperindagkop dan UKM Kabupaten Sintang, Arbudin mengaku sudah menyampaikan temuan pangkalan bodong ke Pertamina. Dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar rapat mendalam untuk mengatasinya.

“Sesuai arahan bupati kita lakukan rapat dengan pertamina dan asisten, bahwa akan dilakukan langkah pembenahan termasuk penanggulangan harga yang meningkat saat ini sampai 35 di Kota Sintang. Itu tidak wajar. Ini akan kita benahi bersama para agen LPG 3 kg untuk menata kembali pangkalan sehingga nanti tidak ada lagi pangkalan bodong. Semua pangkalan harus betul betul melayani masyarakat,” jelas Arbudin.

Berdasarkan laporan para camat kata Arbudin, jumlah Pangkalan bodong sangat mengkhawatirkan.

"Data camat Sintang ada 50 persen pangkalan bodong, laporan dari camat. Kecamatan lain lebih parah lagi. Di atas 50 persen itu berbahaya. Penggelapan dana masyarakat, bisa dilaporkan. Tapi ini kita tangani dulu. Pertamina juga akan membenahi agen mengapa salah sasaran itu janji mereka,” kata Arbudin.

Pihak Pertamina Sintang tidak berkenan memberikan tanggapan soal ini dengan alasan tidak berhak memberikan statement kecuali langsung dari Area Manager Communication, Relations & CSR Kalimantan PT Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan.

Di tempat terpisah Ketua Litbang YLBH-LMRRI Bambang Iswanto menanggapi serius penyalahgunaan LPG subsidi 3 Kg, pangkalan fiktif atau bodong,serta pendistribusian dan penetapan harganya yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah bisa ditindak lanjuti secara tegas oleh pihak Pertamina dan aparat penegak hukum apabila memenuhi unsur pidananya,”tegas Bambang.

“Dia juga mengatakan mengenai sanksi penyalahgunaan LPG 3 kg, sudah tercantum dalam Pasal 13 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram (“Perpres 104/2007”) diatur bahwa badan usaha dan masyarakat dilarang melakukan penimbunan dan/atau penyimpanan serta penggunaan LPG tabung 3 kg untuk rumah tangga dan usaha mikro yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan usaha dan masyarakat yang melakukan pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,”ucapnya.

Sanksi tersebut berkaitan dengan Pasal 40 angka 9 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Minyak dan Gas Bumi”) yang berbunyi:

Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Bambang mengatakan yang dimaksud dengan menyalahgunakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan perseorangan atau badan usaha dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara termasuk di antaranya penyimpangan alokasi.

"Sehingga, bagi badan usaha dan masyarakat yang menyalahgunakan LPG 3 kg bersubsidi dapat dijerat dengan ketentuan pidana di atas apabila unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut terpenuhi,”tutup Bambang.

Bahlil Sebut Ada Celah Permainan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan distribusi gas elpiji 3 kilogram yang tidak tepat sasaran selama ini, berpotensi menimbulkan kerugian sampai Rp 26 triliun dari total subsidi negara.

Karena itulah, Bahlil menegaskan, kementeriannya harus mengambil kebijakan pembelian gas 3 kg harus melalui pangkalan atau subpangkalan supaya subsidi negara tepat sasaran.

Menurutnya setiap tahun negara menyubsidi gas elpiji 3 kg sebesar Rp 87 triliun.

"Jika kita asumsikan loss-nya total ada 25-30 persen, kali Rp 87 triliun, itu sama dengan Rp 25 triliun hingga Rp 26 triliun," ujar Bahlil dalam keterangannya, Minggu (9/2).

Bahlil menjelaskan bahwa negara selama ini telah mensubsidi tiga kebutuhan energi untuk rakyat Indonesia, yakni BBM, listrik, dan gas elpiji. Untuk gas elpiji sendiri, dalam satu tahun negara mensubsidi hingga Rp 87 triliun.

"Perintah Presiden Prabowo ke semua orang di kabinet adalah memastikan uang negara satu sen pun harus pasti sampai ke masyarakat. Penggunaannya harus tepat sasaran sampai ke rakyat. Apalagi elpiji ini menyangkut hajat hidup orang banyak," ujar Ketua Umum Golkar inil.

Saat awal menjabat sebagai menteri, Bahlil mengaku mendapat sejumlah laporan dari aparat penegak hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa program subsidi gas elpiji 3 kg rentan terjadi kerugian jika tidak dilakukan penataan distribusi dan harga yang lebih jelas.

Dengan subsidi negara sebesar Rp 36.000 per tabung, kata Bahlil, maka harga gas elpiji 3 kg per tabung itu menjadi Rp 12.000. Dengan harga awal tersebut, Pertamina membawa gas elpiji itu ke agen dengan harga Rp 12.750. Selanjutnya, kata Bahlil, dari agen ke pangkalan, harga per tabung seharusnya maksimal hanya Rp15.000.

Selama ini, kata Bahlil, pemerintah bisa memantau langsung proses distribusi dari agen ke pangkalan karena memang terlacak oleh aplikasi. Hal tersebut berarti sudah tertata dengan baik oleh sistem.

"Nah, dari pangkalan ke pengecer ini yang enggak ada sistem, enggak ada aplikasi yang bisa memantau. Yang terjadi, seharusnya rakyat maksimal membeli satu tabung seharga Rp 18.000 sampai Rp 19.000. Tetapi fakta di lapangan, ada yang beli sampai Rp 25.000 atau Rp 30.000," kata Bahlil.

Bahlil menjelaskan ada tiga titik celah di mana oknum bisa melakukan cawe-cawe permainan gas elpiji 3 kg. Salah satunya dengan penentuan harga dari pangkalan ke pengecer yang tidak terpantau.

"Jika kita asumsikan loss-nya total ada 25-30 persen, kali Rp 87 triliun, itu sama dengan Rp 25 triliun hingga Rp 26 triliun. Bayangkan. Inilah, dalam rangka implementasi apa yang diarahkan oleh Presiden Prabowo, memastikan yang dikeluarkan pemerintah harus tepat sasaran. Itu niatnya," ujar Bahlil.

Sebelumnya, Bahlil mengatakan pemerintah sedang merancang aturan agar status para pengecer bisa diubah menjadi pangkalan agar masyarakat bisa mendapatkan harga yang sesuai saat membeli langsung di pangkalan. Saat meneken aturan itu, Bahlil mengatakan bahwa pelarangan dilakukan untuk mencegah permainan harga di level pengecer.

Kebijakan tersebut kemudian disempurnakan kembali dengan mengubah status pengecer menjadi subpangkalan. Bahlil mengumumkan seluruh pengecer elpiji 3 Kg di Indonesia sebanyak 375 ribu akan dinaikkan statusnya menjadi subpangkalan.

Langkah ini bertujuan untuk memastikan distribusi gas elpiji 3 kg bersubsidi tepat sasaran dan harga tetap terjangkau. (bob/lp4/brs)

MUI: Subsidi Hanya untuk yang Berhak

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa orang kaya yang mengonsumsi gas LPG 3 kg dan BBM bersubsidi, seperti Pertalite, hukumnya haram.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda, menjelaskan bahwa subsidi ditujukan bagi kelompok tertentu yang membutuhkan, sehingga penggunaannya oleh orang kaya dianggap melanggar aturan.

"Orang kaya tidak berhak menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan gas bersubsidi," ujar Kiai Miftah dikutip dari mui.or.id, Kamis (6/2).

Kiai Miftah menambahkan bahwa pemerintah telah menetapkan distribusi BBM bersubsidi untuk transportasi umum dan nelayan, sementara Pertalite diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Begitu pula dengan gas LPG 3 kg, yang disubsidi untuk rumah tangga miskin, usaha mikro, nelayan, dan petani kecil.

“Semua itu sudah memiliki aturan distribusinya, termasuk sanksi bagi pelanggar. Dalam Islam, penggunaan BBM dan gas bersubsidi oleh orang kaya yang tidak berhak adalah haram,” tegasnya.

Menurut Kiai Miftah, ada beberapa alasan kuat dalam Islam yang mengharamkan tindakan tersebut:

Melanggar Prinsip Keadilan

Islam menekankan pentingnya keadilan, sebagaimana dalam Surat An-Nahl ayat 90:

"Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan …"

Orang kaya yang mengambil hak subsidi dari orang miskin berarti telah bertindak tidak adil.

Penyelewengan Amanah Subsidi

Subsidi merupakan amanah dari pemerintah untuk rakyat miskin. Menggunakannya tanpa hak dianggap sebagai bentuk pengkhianatan.

Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 188 menegaskan:

"Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil …"

Menggunakan subsidi yang bukan haknya termasuk perbuatan zalim.

Dapat Dikategorikan sebagai Ghasab

Dalam fikih Islam, ghasab adalah tindakan mengambil atau memakai hak orang lain tanpa izin. Orang kaya yang menggunakan BBM dan gas bersubsidi tanpa hak sama saja dengan merampas hak fakir miskin.

“Perbuatan ini termasuk dosa besar,” tegas Kiai Miftah.Dengan adanya fatwa ini, MUI mengimbau masyarakat agar lebih bijak dalam memanfaatkan subsidi pemerintah, demi keadilan dan kesejahteraan bersama. (bob/lip)

Sofyano Zakaria

Pengamat Energy/Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi)

Distribusi dan HET Nasional LPG 3 Kg

Sejatinya, penjualan barang bersubsidi seperti LPG 3 Kg tidak boleh diperlakukan seperti barang non subsidi. Dan ketika LPG bersubsidi telah diperdagangkan secara bebas maka harusnya pemerintah dan aparat penegak hukum segera menyikapi hal ini karena ini berkait dengan subsidi Negara.

Mata rantai distribusi atau penyaluran LPG 3 kg subsidi yang ditetapkan hanya lewat agen LPG 3 kg dan pangkalan LPG 3 kg yang terdaftar resmi di Pertamina adalah mutlak harus di pertahankan karena ini terbukti paling bisa diawasi dan di kontrol oleh pemerintah dan atau pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Ketika ada pihak yang menjual belikan LPG 3 kg di luar mata rantai distribusi yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku yakni agen dan pangkalan LPG 3 kg, maka itu dapat dikatakan sebagai ilegal.

Ketentuan pemerintah dalam hal ini Perpres 104 Tahun 2007 yang menetapkan bahwa pengguna yang berhak atas LPG 3 kg adalah rumah tangga dan usaha mikro, harus ditegakkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum , maka ketika ada pihak yang bukan rumah tangga atau badan usaha Mikro yang terbukti bisa membeli dan atau memperdagangkan LPG 3 kg, itu harusnya diambil tindak tegas.

Pengangkatan atau penambahan baru pangkalan-pangkalan LPG 3 Kg mutlak diperlukan agar masyarakat yang berhak hanya bisa dan boleh membeli LPG bersubsidi pada pangkalan resmi yang terdata di badan usaha yang ditugaskan pemerintah yakni Pertamina.

Agar masyarakat bisa membeli LPG 3 kg sesuai HET yang berlaku,maka Pemerintah sudah harus menyiapkan adanya Pangkalan yang terdapat di setiap Wilayah Rukun Tetangga(RT) atau paling tidak terdapat satu pangkalan yang melayani maksimal setiap 100 rumah atau 100 kepala keluarga. Dan persyaratan untuk menjadi pangkalan harus semudah mungkin misalnya hanya cukup dengan memiliki KTP, tempat jualan yg menetap bukan bergerak, surat keterangan domisili dari kelurahan atau desa, rekening tabungan bank, tabung gas sesuai alokasi yang diberikan, alat timbangan, gas detector.

Pemerintah perlu mendukung penuh berjalannya program OVOO , One Village One Outlet yang telah dijalankan Pertamina dan mendorong Pertamina untuk mewujudkan program merata di tiap desa dan dusun yang ada negeri ini yang sudah laksanakan konversi mitan ke elpiji 3 kg.

Terkait soal HET pangkalan LPG 3 kg yang ditetapkan Pemda, maka Menteri ESDM  sudah saat menjalankan perannya sebagai lembaga tertinggi yang memberikan yang berhak memberikan persetujuan final terhadap besaran kenaikan HET pangkalan tersebut. Jadi kewenangan memutuskan naik atau tidaknya HET pangkalan harus tetap ada ditangan Menteri ESDM bukan Pemda.

Pemerintah sudah saatnya juga mengkoreksi besaran Harga Tebus LPG 3 kg dari agen ke Pertamina sebesar Rp11.588.-/tabung yang tak pernah dikoreksi sejak diluncurkannya program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg tetapi koreksi harga tebus itu tidak harus dengan menaikan besaran HET Nasional karena kenyataannya HET pangkalan yang ditetapkan Pemda sudah naik jauh dari HET Nasional yang rata rata sekitar sebesar 35 persenan. [*]

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda