Ponticity post authorelgiants 11 Maret 2025

Tanah Maknyah Pontianak Mau “Dirampas”, SHM Tahun 1978 "Diganggu" Surat Pernyataan Tahun 1990

Photo of Tanah Maknyah Pontianak Mau “Dirampas”, SHM Tahun 1978

PONTIANAK, SP – Dwihoni Ongko Wijaja, perempuan berusia 69 tahun, warga Jalan Gajah Mada XII Pontianak, mengisahkan dirinya diduga menjadi korban mafia tanah. Ia menyebut tanah milik orang tuanya diduga hendak “dirampas” oleh oknum yang mengaku juga memiliki hak atas tanah tersebut.

Nenek dengan tiga anak dan satu cucu ini mengatakan, kasus sengketa tanah seluas 624 meter persegi yang terletak di kawasan Jalan Ade Irma Suryani, Parit Tokaya Pontianak ini sudah terjadi selama 21 tahun, namun tidak pernah selesai meski pihaknya telah memenangkan sengketa di pengadilan.

Dengan nada sedih, Dwihoni menyebut, tanah yang sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 655/1978 Tahun 1978 milik orang tuanya tersebut hendak dirampas oleh seseorang bernama Oscar Haris dengan hanya mengantongi Surat Keterangan Tanah (SKT).

“Di Pengadilan Negeri Pontianak kami menang dan inkrah sebagai pemilik yang sah. Membeli tanah pada pemilik yang sah. Tapi Oscar Haris tidak mengindahkan keputusan hakim, dan justru memasang pagar dan plang di tanah kami. Kami merasa berhadapan dengan mafia tanah yang ingin merampas tanah kami dengan berbagai cara,” ungkapnya kepada Suara Pemred, belum lama ini.

Dwihoni merasa sedih atas persoalan tanah yang sudah hampir 21 tahun lamanya tak kunjung selesai. Pihaknya selalu diganggu dengan berbagai gugatan di pengadilan, dan bahkan tanahnya dikuasai oleh pihak lain.

Dia dan keluarganya berharap agar aparat hukum dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dapat lebih serius dalam melihat persoalan pertanahan yang banyak merugikan masyarakat, terutama yang telah memiliki SHM yang sah.

Kepada Suara Pemred, perempuan tua berambut putih ini dengan tangan gemetar menceritakan bahwa tanah milik orang tuanya tersebut ingin dikuasi oleh Oscar Haris dengan berbagai macam cara. Mulai dari gugatan di pengadilan, banding, hingga menguasai lahan dengan memasang pagar dan plang.

Menurut Dwihoni, kasus berawal ketika Oscar Haris yang mengantongi SKT pada tahun 2003 melakukan gugatan atas tanah tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Pontianak dan dinyatakan menang.

Tidak terima dengan putusan itu, pihak Dwihoni kemudian melakukan banding di Pengadilan Tingi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta dan dinyatakan menang. Namun pihak Oscar Haris selanjutnya dimenangkan dalam gugatan di Mahkamah Agung pada 21 Januari 2008.

Dwihoni kemudian kembali melayangkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Pontianak. Hasilnya, putusan Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Tinggi Pontianak dan Mahkamah Agung menyatakan bahwa pihak Dwihoni sebagai pemilik sah atas tanah tersebut pada 23 Agustus 2011.

Namun pihak yang kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan putusan secara suka rela, sehingga atas putusan Mahkamah Agung pada 23 Agustus 2011 yang telah berstatus inkracht tersebut, Dwihoni kemudian melayangkan gugatan penetapan eksekusi dan meminta pengadilan untuk segera menerbitkan penetapan eksekusi.

“Saya tuntut hak saya, karena beli tanah dengan itikad baik. Saya korban mafia tanah,” ujar perempuan kelahiran Pontianak, 16 April 1956 ini.

Dwihoni pun menunjuk Ali Nurdin SH, Mahluddayan SH, Muhammad Supriadi SH. M.PD, dan Galuh Irmawati SH MH sebagai kuasa hukumnya untuk melakukan gugatan uitvoerbaar bij voorraad atau semerta-merta di Pengadilan Negeri Pontianak.

Putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) adalah putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun terhadap putusan perkara yang bersangkutan diajukan perlawanan atau banding.

Pada Rabu, 15 Januari 2025 di Pengadilan Negeri Pontianak, sidang kedua gugatan penetapan eksekusi terkait tanah seluas 624 meter persegi di kawasan Jalan Ade Irma Suryani, Parit Tokaya Pontianak digelar dengan objek Kantor Pertanahan Kota Pontianak dan Oscar Haris.

Ali Nurdin SH, salah satu kuasa hukum Dwihoni mengatakan, gugatan cukup pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Pontianak.

Hal ini dikarenakan ada surat edaran Mahkamah Agung Nomor 6/WK/MA.Y/II/2020 yang menegaskan, jika ada putusan berbeda terhadap lahan sengketa, maka putusan yang diambil dan putusan pengadilan umum, yaitu putusan Perdata Pengadilan Negeri Pontianak yang diperkuat putusan Mahkamah Agung.

“Jadi gugatan semerta-meta di Pengadilan Negeri Pontianak sebagai pendukung putusan perdata Mahkamah Agung tanggal 23 Agustus 2011,” katanya. (hd/aju)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda