Ponticity post authorelgiants 11 April 2021

Ahli Waris Bantah Cabut Kasasi, Polemik Lahan Perumahan Mega Lavender

Photo of Ahli Waris Bantah Cabut Kasasi, Polemik Lahan Perumahan Mega Lavender

PONTIANAK, SP – Benny Irawan, salah satu dari ahli waris Basnah binti Haji Husein, membantah mencabut kasasi di Mahkamah Agung dengan imbalan Rp5 miliar, dalam perkara status lahan 69.955 meter persegi Perumahan Mega Lavender, Desa Sungai Kapur, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.

“Kalau ada informasi bahwa ahli waris terima uang Rp5 miliar, itu harus ditelusuri sumber informasinya dari mana. Karena saya sebagai salah satu anak kandung almarhumah Basnah binti Haji Husein, tidak pernah terima uang sebesar itu,” kata Benny Irawan, Minggu (11/4).

Benny Irawan mengaku, memang pernah terima uang Rp150 juta, dalam dua tahap, yaitu Rp50 juta dan Rp100 juta, dimana disebutkan sebagai tali alih dari pengembang Mega Lavender, agar mau membubuhkan tandatangan persetujuan pemecahan sertifikat tanah hak milik Nomor: 17/1988, atas nama Basnah binti Haji Husein, seluas hampir 7 hektare.

Uang Rp150 juta yang diterima Benny Irawan dalam dua tahap, bagian dari komitmen awal dengan komulatif Rp3,5 miliar dari Mega Lavender.

Pemecehan sertifikat induk, menjadi sangat penting, agar kemudian Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya, bisa menerbitkan pecahan sertifikat hak milik kepada masing-masing konsumen yang membeli rumah di Perumahan Mega Lavender, Desa Sungai Kapur.

Komitmen uang tali asih Rp3,5 miliar, sesuai perjanjian di hadapan Notaris Helmi Nasution, Nomor: 221 Tahun 2018, tanggal 14 Maret 2018, terdiri dari Marliana Thaha, Jhony Ismail, Bennny Irawan, Elly Zulfitri IS, Lucy Yulianti, anak kandung almarhumah Basnah binti Haji Husein, bersama Hendry Susanto Ngadimo.

Hendry Susanto Ngadimo, bagian dari namanya tercantum dalam perjanjian tanggal 14 Maret 2018, karena mengklaim membeli tanah Basnah binti Haji Husein seluas 69.955 meter persegi lewat Jamaludin tahun 1989, untuk selanjutnya di jual kepada perusahaan developer Mega Lavender.

Dalam perjanjian, Mega Lavender harus membayar uang tali asih Rp3,5 miliar secara mencicil selama 6 bulan, sehingga harus lunas paling lambat pertengahan September 2018, sebagai syarat pemecahan sertifikat.

Setelah enam bulan, September 2018, Mega Lavender, ingkar janji. Baru mau dilunasi sisa cicilan, setelah lewat enam bulan kemudian.

Benny Irawan menolak terima sisa pembayaran cicilan, dan langsung melapor ke Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya. Surat keterangan blokir permanen, sehingga putusan berkekuatan hukum tetap keluar dari Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya pada 31 Januari 2020.

“Gugatan perdata di Pengadilan Negeri Mempawah ditolak sebagian pada 17 Desember 2019. Putusan banding di Pengadilan Tinggi Pontianak pada Mei 2020, ditolak seluruhnya, sehingga sekarang dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung. Jadi tidak benar saya cabut upaya kasasi di Mahkamah Agung, setelah terima uang kompensasi Rp5 miliar,” kata Benny Irawan.

Benny Irawan, mengatakan, ada lima kejanggalan yang berpotensi pelanggaran tindak pidana terhadap keberadaan setifikat tanah sertifikat hak milik atas nama Basnah binti Haji Husein, berpindah tangan kepada Hendry Susanto Ngadimo, lewat Jamaludin.

Pertama, Jamaludin, memang salah satu keluarga Basnah binti Haji Husein, tapi bukan ahli waris yang sah. Jamaludin tidak memiliki kapasitas secara hukum sebagai penjual tanah kepada Hendry Susanto Ngadimo, jika tidak didasarkan Akte Jual Beli (AJB).

Kedua, disebutkan tanah dibeli tahun 1989, tapi sampai almarhumah Basnah binti Haji Husein meninggal dunia tahun 1990, sama sekali tidak pernah memberitahu telah menjual tanah seluas hampir 7 hektare itu kepada siapapun di Desa Kapur yang sekarang dibangun Perumahan Mega Lavender.

Ketiga, dalam Akte Jual Beli (AJB) di hadapan Notaris Hendry Bong yang dibuat tahun 2012, dicantumkan Hendry Susanto Ngadimo bertindak sebagai penjual (pihak pertama) dan pembeli (pihak kedua). Tidak disebutkan nama Basnah binti Haji Husein, atau nama Jamaludin sebagai penjual tanah.

Keempat, kalau memang Hendry Susanto Ngadimo membeli tanah Basnah binti Haji Husein lewat Jamaludin tahun 1989, kenapa tidak langsung dibuat Akte Jual Beli (AJB) saat itu juga. Sementara Jamaludin sudah meninggal dunia tahun 2005.

Kelima, kalau memang proses jual beli, sesuai ketentuan yang berlaku, dibuat di hadapan notaris, disaksikan semua anak kandung almarhumah Basnah binti Haji Husein, tapi kenapa sejak tahun 2017, pihak Mega Lavender harus meminta semua tandatangan persetujuan tertulis enam orang ahli waris, agar sertifitkat tanah bisa dipecah.

Hendry Irawan, merupakan satu-satunya dari enam bersaudara sebagai ahli waris Basnah binti Haji Husein yang tidak mau tandatangan pemecahan sertifikat hak milik.

“Karena saya berhak tahu, duduk permasalahan kenapa tanah ibu saya, Basnah binti Haji Husein, berpindah tangan kepada Hendry Susanto Ngadimo lewat Jamaludin tahun 1989. Biarkan masyarakat menilai masalah ini. Ini permainan mafia tanah,” kata Benny Irawan.

Mardiana, warga Desa Kapur, menjadi salah satu saksi, ketika muncul polemik jual-beli tanah Basnah binti Haji Husein kepada Hendry Susanto Ngadimo yang sekarang dibangun Perumahan Mega Lavender.

Menurut Mardiana, uang tali asih Rp3,5 miliar, itu sesuai perjanjian awal  50 persen bagi ahli waris (Marliana Thaha, Jhony Ismail, Bennny Irawan, Elly Zulfitri IS, dan Lucy Yulianti), dan 50 persen lagi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pembicaraan (termasuk di dalamnya Mardiana).

“Saya dijanjikan dapat Rp250 juta dari Rp3,5 miliar itu. Kemudian, saya tanya Lucy Yulianti. Saya mau dikasih Lucy Yulianti sebesar Rp2 juta, disaksikan Benny Irawan, saya tolak, karena janji awalnya Rp250 juta,” kata Mardiana.

Mardiana mengatakan, pada tahun 2017, Lucy memberitahu Mardiana, bahwa tanah seluas 69.995 meter, itu, ternyata hasil penelusuran di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya, masih atas nama Basnah binti Haji Husein.

Itulah sebabnya, menurut Mardiana, untuk pemecahan sertifikat, harus ditandatangani enam orang anak kandung almarhumah Basnah binti Haji Husein, sebagai ahli waris. Mega Lavender, tidak salah dalam hal ini.

“Tapi harus ditelusuri kenapa sertifikat tanah hak milik atas nama Basnah binti Haji Husein, berpindah tangan kepada Hendry Susanto Ngadimo lewat Jamaludin,” kata Mardiana.

Dikatakan Mardiana, kalau memang disebutkan Rp3,5 miliar sebagai uang tali asih, ucapan terimakasih kepada 6 anak kandung ahli waris almarhumah Basnah binti Haji Husein, pertanyaan kemudian, siapa yang menjual tanah itu, sehingga berpindah tengan kepada Hendry Susanto Ngadimo lewat Jamaludin, tanpa sepengetahuan semua ahli waris.

 Lapor ke Polda Kalbar

BENNY Irawan, salah satu anak kandung almarhumah Basnah binti Haji Husein, mengatakan, Kusuwan dan Ali Rido, selaku kuasa hukum, telah membuat laporan tertulis kepada Kepala Polisi Daerah Kalimantan Barat, 28 Januari 2021.

Dalam laporan disebutkan, pembangunan Perumahan Mega Lavender, Desa Kapur, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, kuat dugaan, tidak ada izin yang terkait dengan: izin lingkungan, keterangan rencana umum tata ruang, izin penataan lahan.

Kemudian, tidak ada izin prinsip dari Bupati Kubu Raya, izin lokasi, izin Badan Lingkungan Hidup dengan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL), tidak ada izin dampak lalulintas, tidak disertai pengesahan site plane dan tidak didukung sertifikat hak milik dan izin mendirikan bangunan.

Bahwa manajemen Perumahan Mega Laevender, sampai Januari 2021, tidak memberikan keterangan yang jelas kepada konsumen terhadap obyek tanah yang dibangun dalam sengketa, sehingga konsumen dirugikan, tidak bisa balik nama karena sengketa.

Dalam surat kepada Kepala Polisi Daerah Kalimantan Barat, dilaporkan pula surat Kantor Dinas Pertanahan Kabupaten Kubu Raya, tanggal 31 Januari 200, dimana pada point 3 disebutkan, maka obyek sengketa a quo belum dilakukan kegiatan/perbuatan hukum apapun sampai adanya putusan atau penetapan yang berkekuatan hukum tetap.

Pihak kuasa hukum, dalam surat kepada Bupati Kubu Raya, tanggal 18 Januari 2021, menanggapi surat Dinas Pekerjaan umum dan Penataan Ruang, Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, tanggal 15 Januari 2021, tentang: Pembatalan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Perumaha Mega Lavender, ada empat point yang disampaikan.

Bahwa penolahan terhadap permohonan IMB Perumahan Mega Lavender oleh Dinas Pekerjaan Umum, Penataan ruang dan Perumahan Kawasan Pemukiman Kabupaten Kubu Raya, adalah inskonstitusional.

Karena pengembangan Perumahan Mega Lavender membangun tanpa didasari alas hak yang sah, karena settifikat hak milik Nomor: 17/1988/Desa Kapur, masih dalam proses hukum, dan adanya pemblokiran pemecahan sertifikat dari Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya, terhitung 31 Januari 2020.

Bahwa surat yang dilayangkan pada 28 Juli 2020 kepada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Perumahan Kawasan Pemukiman Kabupaten Kubu Raya, pada point 4 diminta untuk menghentikan dan membongkar bangunan Perumahan Mega Lavender, karena masih dalam proses hukum.

Bahwa hal-hal yang terkait perizinan Perumahan Mega Lavender yang dikeluarkan oleh pihak Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Perumahan Kawasan Pemukiman Kabupaten Kubu Raya, diduga telah melakukan mal-administrasi.

Bahwa diduga pengembang Perumahan mega Lavender tidak memberikan informasi yang benar terhadap obyek tanah yang dibangun oleh Perumahan Mega Lavender kepada konsumen.

Sementara itu, ketika Suara Pemred datang ke lokasi Mega Lavender dan mau konfirmasi ke salah satu penghuni komplek, Security Mega Lavender melarang hal tersebut.

"Besok saja, karna sekarang bukan jam kerja," katanya dengan nada ketusnya.

Modus Mafia Tanah

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasion, Sofyan Djalil mnegatakan, praktik mafia tanah bisa bekerja mulai memalsukan dokumen, menggarap tanah terlantar, hingga saat berperkara di pengadilan.

"Status yang menumpuk, klaim para penggarap, hingga keputusan pengadilan yang tumpang tindih menjadi hal yang makin menyuburkan praktik mafia tanah," kata dia.

Praktik mafia tanah masih terus terjadi di tanah air yang bisa melibatkan berbagai pihak. Praktik-praktik ini juga bisa terjadi di lapangan hingga di pengadilan yang membuat putusan pengadilan menjadi sulit dieksekusi karena banyak terjadi putusan yang saling bertolak belakang.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bersama Kepolisian terus memerangi mafia tanah karena hal ini sangat merugikan khususnya bagi pemilik tanah.

"Praktik-praktik pemalsuan dokumen pertanahan juga menyebabkan sengketa dan konflik pertanahan yang tak berkesudahan," ujarnya.

Ada beberapa praktik mafia tanah yang umumnya terjadi mulai dari tingkat desa. Misalnya saat Kepala Desa mengeluarkan girik atau alas hak atas tanah dan dibuatkan salinan atas girik tersebut.

Saat membuat surat keterangan tanah untuk keperluan mengurus sertifikat tanah itu bisa dibuat lebih dari satu. Padahal sudah ada Surat Edaran (SE) dari Direktorat Jenderal Panjak Kementerian Keuangan, Nomor: 32 Tahun 1993 tentang larangan penerbitan girik. Kalau melihat aturan ini girik itu sebenarnya sudah dilarang.

Pelarangan pemberlakuan girik juga dipertegas kembali melalui SE Direktorat Jenderal Pajak, Nomor: 44 Tahun 1998.

"Hanya saja situasi di lapangan girik tetap berlaku dan Kementerian ATR/BPN membutuhkan girik untuk menunjukan bahwa seseorang adalah pemilik tanah yang sebenarnya sebelum didaftarkan," ungkap dia.

Hal ini pada akhirnya mengakibatkan banyak pemalsuan mengenai alas hak atas tanah. Bukan hanya girik, juga Surat Eigendom, SK Redistribusi yang lama yang semuanya bisa digunakan untuk mengklaim suatu bidang tanah. Pada ranah ini sering terjadi konflik maupun digunakan modus oleh mafia tanah.

Mafia tanah juga kerap memprovokasi segelintir masyarakat untuk menggarap atau mengokupansi tanah-tanah yang kosong atau sedang dimanfaatkan.

Mafia tanah akan mengklaim bahwa segelintir orang tersebut sudah menduduki tanah dan menggarap tanah tersebut dalam jangka waktu yang lama.

Akhirnya tanah-tanah ini juga bisa diubah, digeser atau dihilangkan patok tanda batas tanahnya.

Mafia tanah juga kerap menggunakan jasa preman untuk menguasai obyek tanah dengan cara memagar lalu menggembok hingga mendirikan bangunan di atasnya.

"Karena itu, masyarakat harus hati-hati," tutupnya. (aju)

Lavender Residence Tidak ada Hubungan dengan Mega Lavender

 Manajemen Perumahan Lavender Residence, menegaskan, konflik tanah antara ahli waris dengan perusahaan pembangunan perumahan Mega Lavender di Desa Kapur, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, sama sekali tidak ada hubungan dengan pihaknya.

“Lavender Residence, memiliki manajemen sendiri,” kata Agus Salim, salah satu manajemen Perumahan Lavender Residence, Sabtu (10/4).

Agus Salim, menanggapi pemberitaan Suara Pemred, Sabtu (10/4), dengan judul: “Sengketa Lavender Regency, BPN Blokir Sertifikat Ahi Waris vs Pengembang”.

Lavender Residence, menurut Agus Salim, memang beralamat di Desa Kapur, kilometer 5, depan dok kapal Lavender Residence, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.

Lavender Residence, sudah membangun rumah toko atau ruko banyak 18 unit, rumah tipe 45 sebanyak 120 unit,  tipe 60 sebanyak  60 unit, tipe 80 sebanyak  30 unit  di kawasan bebas  banjir,  bebas dari polusi udara,  dijaga empat security 24 jam, di lengkapi kamera pemantau, Closed-Circuit Television (CCTV).

Dikatakan Agus Salim, lahan di atas bangunan milik Lavender Residence, dijamin tidak bermasalah, sehingga konsumen tidak perlu khawatir dan diminta tetap tenang. (aju)

Pengamat Hukum

Herman Hofi Munawar

Buka Ruang Dialog
Kasus seperti ini sebenarnya tidak harus sampai ke pengadilan. Pengembang harus bisa membangun komunikasi dengan pihak yang merasa dirugikan. Selain itu pengembang juga tidak boleh terlalu menutup diri.

Sebaiknya pengembang membuka ruang dialog untuk memastikan yang bersangkutan merupakan ahli waris. Untuk menyatakan yang bersangkutan dari ahli waris memerlukan penetapan dari Pengadilan Agama. Lalu jika sudah ada penetapan bisa dilakukan pembicaraan secara kekeluargaan. 

Jika memang dalam proses pembelian tanah tersebut dirasa janggal ahli waris bisa melakukan gugatan ke pengadilan. Kemudian pengadilan akan menentukan pengembangan lahan tersebut bisa dihentikan atau tidak. 

Sepanjang hakim belum membuat keputusan atas kondisi tanah tersebut. Maka proses pembangunan tetap bisa berjalan. Karena pastinya sebelum dilakukan pembangunan pastinya pengembang sudah memiliki dokumen. 

Kemudian pengadilan yang akan memutuskan seperti apa status atas lahan tersebut. Penghentian aktivitas pengembangan harus menunggu proses pengadilan. Jika memang ada keputusan status quo artinya pengembangan harus menghentikan seluruh kegiatan yang ada. 

Sepanjang belum ada putusan status quo proses pengembangan tidak bisa dihentikan. Karena pastinya dokumen sudah ada sehingga pembangunan dilakukan. 

Dari ahli waris yang merasa dirugikan bisa melakukan gugatan ke pengadilan. Kemudian pengadilan yang menyatakan status quo baru bisa dihentikan pengembangan. (din)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda