PONTIANAK, SP - Praktik bagi-bagi uang menjelang pencoblosan atau serangan fajar, masih menjadi pilihan banyak Calon Legislatif (Caleg), untuk mendulang suara warga. Serangan fajar ini disusun secara terstruktur dan sistematis hingga ke tangan pemilih.
Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi menyebut Indonesia saat ini menjadi salah satu negara dengan tingkat praktik politik uang saat pemilu terbesar di dunia.
Menurut Burhanuddin, Indonesia saat ini hanya kalah dari dua negara di Afrika, yakni Uganda dan Benin. Pernyataan itu disampaikan Burhanuddin dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar UIN Jakarta, beberapa waktu lalu.
"Ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat politik uang terbesar ketiga di dunia. Hanya kalah dibanding Uganda dan Benin," kata dia.
Burhanuddin mengatakan data itu terungkap melalui hasil riset yang ia lakukan dalam dua Pilpres terakhir pada 2014 dan 2019. Hasilnya, sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) terlibat praktik jual beli suara.
Data itu juga ia ungkap dalam riset ilmiahnya berjudul 'Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi' yang dirilis dalam prosesi pengukuhannya sebagai profesor ilmu politik UIN Jakarta.
Dia menambahkan bahwa target politik yang sebagian besar menyasar para simpatisan partai politik yang angkanya mencapai 15 persen. Sementara, sisanya, 85 persen tak masuk dalam sasaran praktik politik uang karena dianggap tak bisa diandalkan. Mereka adalah kelompok pemilih mengambang atau swing voters.
"Mereka enggan membidik pemilih mengambang karena dianggap mereka menerima paket yang yang ditawarkan tapi soal pilihan tidak bisa dipastikan," kata Burhanuddin.
Burhanuddin menyebut politik uang hanya menyumbang 10 persen suara. Namun, jumlah itu dinilai cukup efektif untuk terutama dalam konteks pemilihan legislatif dan bersaing dengan sesama calon dari partai yang sama.
"Angka 10 persen bisa menjadi faktor penentu kemenangan. Rata-rata margin kemenangan untuk mengalahkan rivalnya hanya 1,6 persen. Jadi, [jumlah 10 persen] bisa membuat perbedaan caleg yang menang dan yang kalah," kata dia.
Praktik Kotor Memanfaatkan Kemiskinan
Sementara itu, Monas, Paralegal Lembaga Pendampingan Perempuan dan Anak Bina Aisyah Kaltim, menjelaskan politik uang menjadi fenomena yang selalu berulang setiap gelaran pesta demokrasi. Kondisi ini tentu memunculkan kekhawatiran akan adanya praktik serupa dalam pemilu yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024.
“Politik uang (money politic) adalah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau lainnya. Praktik politik uang sudah ada sejak dulu yang dikenal dengan istilah serangan fajar,” katanya.
Kebanyakan para pelaku politik uang menyasar masyarakat miskin yang minim pengetahuan dan pendidikan politik terutama di daerah-daerah pelosok. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Ratna Dewi Pettalolo, yaitu anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dia menyatakan, bahwa angka kemiskinan di sebuah daerah menentukan penerimaan masyarakat akan politik uang dalam pemilu.
Para calon anggota legislatif melihat kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam hal ekonomi sebagai peluang untuk mendapatkan suara. Banyak calon yang kemudian ditangkap akibat money politic.
“Satu contoh, pada pemilu 2019, Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, saat itu mengatakan tiga orang ditangkap tim Satgas Anti-Politik Uang karena terlibat kasus politik uang di Jakarta Utara,” paparnya.
Di antaranya, yang diamankan saat itu wakil ketua DPC sebuah partai di Jakarta Timur dan caleg DPRD DKI Jakarta Dapil III. Sebagian masyarakat Indonesia sendiri menganggap pesta demokrasi sebagai ajang untuk bagi-bagi rezeki.
Berdasarkan survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2019, menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang “bagi-bagi rezeki”.
Sebagian masyarakat atau calon pemilih ini seolah tidak mempertimbangkan konsekuensi yang akan mereka terima akibat jual beli suara yang jelas melanggar hukum dan termaksud dalam perbuatan suap.
Sebagaimana diketahui, bahwa serangan fajar (politik uang) adalah praktik yang melanggar Peraturan Perundang-Undangan Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 523 Ayat 3, yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau memberi yang lain kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
“Selain itu, praktik ini akan melahirkan pemimpin berkualitas rendah yang hanya peduli pada diri sendiri dan golongannya bukan pada masyarakat yang telah memilihnya,” ujar Monas.
Angka kemiskinan dan rendahnya pendidikan menjadi kombinasi permasalahan yang cukup kompleks dan menjadi salah satu faktor merebaknya praktik politik uang di Indonesia (walaupun banyak kasus sulit dibuktikan).
Hal ini seolah menjadi rantai yang tidak terputus sejak dulu dan terus berputar di tempat yang sama dan sudah melekat layaknya budaya di setiap pemilu. Sekalipun politik uang tidak memandang kelas atas atau bawah, akan tetapi masyarakat kelas bawah paling berpotensi. Hal ini karena masyarakat kelas bawah menganggap hal tersebut sebagai bantuan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dan memandang hal tersebut sebagai rezeki yang datang dan patut untuk disyukuri. Berkaca pada Pemilu 2019 lalu, berdasarkan data riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa 72 persen masyarakat Indonesia menerima uang politik. Dari jumlah tersebut, 82 persen di antaranya perempuan yang kebanyakan berusia 36 hingga 50 tahun.
Menurut keterangan Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana, bahwa alasan yang usia 36-50 tahun terima uang dalam bentuk apa pun, karena kebutuhan ekonomi.
Menurut penulis membudayanya praktik politik uang di Indonesia di butuhkan solusi kerja sama antara negara dan masyarakat. Bagaimana negara menyosialisasikan terkait money politic bukan hanya kepada mahasiswa tetapi juga kepada masyarakat yang ada di daerah-daerah pelosok.
Selain itu, bagaimana solusi negara memutus rantai kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan serta memberikan pendidikan yang mumpuni kepada masyarakat sebagaimana yang menjadi amanat dalam UUD 1945, yaitu “memajukan kesejahteraan umum”.
Selain itu, dibutuhkan pula kesadaran dari masyarakat untuk memilih figur calon yang benar sesuai dengan rekam jejak setiap paslon tanpa iming-iming uang atau sembako, karena salah memilih pemimpin hari ini akan menyengsarakan dan merugikan masyarakat untuk lima tahun yang akan datang.
Independensi masyarakat dalam memilih sangat diperlukan untuk menciptakan pemilu yang mandiri, bersih jujur dan berkeadilan. Ingat sesuatu yang dimulai dengan keburukan akan berakhir dengan buruk dan dalam proses perjalanannya juga akan diwarnai dengan kecurangan dan keburukan. (tem/det/pas)