PONTIANAK, SP – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini masih mengembangkan kasus gratifikasi yang melibatkan Gusmin Tuarita selaku Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalimantan Barat (2012-2016) dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur (2016-2018); dan Siswidodo selaku Kabid Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah kantor BPN Wilayah Kalimantan Barat. Keduanya diduga menerima gratifikasi mencapai Rp22,23 Miliar dalam penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) sawit di Kalbar.
Dalam kasus ini, KPK sudah memeriksa total 25 saksi. Para saksi itu seperti PNS di BPN Kantor Wilayah Kalbar dan Kantor Pertanahan Pontianak, Kepala Kantor Pertanahan di daerah lain di Kalbar, serta sejumlah Direksi, Kepala Divisi Keuangan dan pegawai perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit di Kalbar.
Namun ketika dikonfirmasi Suara Pemred, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang belum ingin membocorkannya. Dia masih harus mengecek data di penyidik.
“Saya harus crosscheck dulu ya,” katanya Minggu, (15/12).
Perkara borok ‘jual-beli HGU’ disebut bukan barang baru. Sejak tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan kebijakan ketat terhadap penebangan kayu. Di saat bersamaan, pelimpahan sembilan kewenangan kepada daerah pun diberikan.
“Atas dasar pelimpahan kewenangan itulah maka sejak tahun 2006 para raja kecil bupati mengeluarkan surat keputusan rekomendasi izin lokasi kepada pengusaha,” kata mantan pejabat teras BPN Kalbar yang namanya enggan disebutkan.
Dia bercerita, para orang dekat bupati pun berlomba membuat perusahaan dengan modal akta pendirian yang dibikin notaris. Setelah perusahaan berdiri, mereka mengajukan permohonan izin lokasi. Izin yang didapat, kemudian dijual ke pengusaha dari luar dengan harga puluhan miliar.
“Hampir 99 persen izin lokasi berganti pemilik,” katanya.
Namun, para pemilik baru merasa izin lokasi yang dimiliki, berarti status tanahnya milik dia. Padahal, sesuai Surat Keputusan Kepala BPN RI Nomor 2 Tahun 1999, ditegaskan bahwa surat keputusan izin lokasi merupakan bukti hak pemilik izin yang diharuskan membebaskan lahan yang dikuasai masyarakat.
“Pemilik izin lokasi diberikan waktu tiga tahun untuk melakukan penguasaan lahan dengan cara pertama, sosialisasi kepada masyarakat, kedua, pembebasan hak atas tanah, ketiga, mengolah lahan dan mengajukan permohonan izin menanam, baru ajukan permohonan HGU,” jabarnya.
Akan tetapi katanya, banyak perusahaan ambil jalan pintas. Mereka bekerja sama dengan oknum aparat merekayasa surat pembebasan lahan, seakan warga telah menerima gantu rugi.
“Praktiknya, misalnya begini, yang menerima ganti rugi warga Jalan Sidas, tapi letak tanah di Jalan Karimun. Rata-rata modus kejahatannya seperti itu,” katanya.
Maka tak heran, jika carut-marut HGU yang izinnya keluar tahun 1990-an, dampaknya dirasakan sekarang. Salah satunya di Desa Asam Besar, Kecamatan Manis Mata, Ketapang. Pihak desa sampai membuat surat Permohonan Tidak Memperpanjang HGU PT HSL ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Dalam surat bernomor 593/88/II/2019 yang ditulis 18 Februari 2019 itu, pemerintah desa dan masyarakat menganggap selama ini perusahaan bermasalah dalam perizinan. Sejak diterbitkan HGU perusahaan 22 Agustus 1990, hingga saat ini perusahaan belum juga mengantongi IUP. Padahal lahan perusahaan yang mencapai 70 persen dari luas desa tersebut, akan replanting atau masuk masa peremajaan.
"Dan kita tuntut hal itu harus transparansi," ujar Kades setempat, Robertus Mamang.
Sayangnya, hingga kini surat mereka belum berbalas. Termasuk dari Gubernur Kalbar, Bupati Ketapang, BPN Kalbar dan Ketapang, serta dinas terkait yang jadi tembusan.
Kades pun menganggap, perusahaan yang beroperasi dengan HGU seluas 1.020.27 hektar itu, tidak berkontribusi sama sekali pada kesejahteraan desa. Hingga kini, Desa Asam Besar masih berstatus desa sangat tertinggal. Bahkan, tujuh tahun sejak dikeluarkannya HGU, antara perusahaan dan masyarakat sudah berkonflik perihal izin lahan.
“Ada kelebihan izin sekitar 600 kapling atau setara dengan 1.200 hektar. Namun hingga saat ini dari pihak perusahaan belum juga merealisasikan tuntutan masyarakat yang meminta agar lahan kapling tersebut segera direalisasikan,” katanya.
Lantaran tak kunjung direspon, Sabtu (14/12) kemarin sejumlah masyarakat melakukan aksi pemagaran. Aksi kesekian ini diikuti kurang lebih 70 warga. Jumlah itu mewakili empat dusun yang berada di desa tersebut, di antaranya Dusun Belian Sunsang, Dusun Bagan Kusik, Dusun Asam Besar dan Dusun Kuala Asam.
"Hasil dari aksi kita kemarin rencana pada tanggal 21 Desember nanti akan ada pertemuan mediasi di tingkat desa," tuturnya.
Ungkap
Penyuap
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Hermansyah mengatakan tindak pidana korupsi dari pelaku sebagai subjek hukum, bisa orang per orang dan juga korporasi.
“Pentingnya perusahaan dalam kasus ini dilakukan penyidikan terkait dengan pengungkapan apakah penyuapan dilakukan oleh korporasi atau individu,” katanya.
Apabila penyuapan dilakukan korporasi, maka terhadap perusahaan tersebut bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Bentuknya, bisa berupa denda terhadap kerugian negara.
"Korporasinya ini juga menurut aturan hukum itu bisa dicabut izin-izinnya semua," ucapnya.
Hermansyah menambahkan izin korporasi tersebut bisa dicabut oleh hakim. Mekanisme pencabutan izin, diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Kasus macam ini tak mungkin berdiri sendiri. Eks Kepala BPN Kalbar yang menerima suap juga harus diadili.
"Apakah yang memberi ke Kepala BPN itu atas nama pribadi atau perusahaan, itu yang penting," tambahnya.
Hal tersebut menjadi penting karena hubungan hukum antara orang dan korporasi akan berbeda. Untuk korporasi, tidak perlu dijelaskan alasan mens rea atau unsur kesengajaan maupun tidak. Namun, jika atas nama individu, akan lebih berat pembuktiannya.
"Karena dia harus dibuktikan dulu ada tidak niat ataupun mens rea-nya," jelasnya.
Hermansyah menyampaikan salah satu tujuan KPK melakukan penelitian tersebut adalah untuk membuktikan keterlibatan perusahaan. Jika terlibat, izin perusahaan bisa dicabut. Di samping itu, pengurus korporasi tetap harus bertanggung jawab.
"Orang yang mengurus bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, korporasinya bisa dicabut izinnya," pungkasnya.
Tak
Heran
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pontianak, Suparman tak heran dengan pembongkaran gratifikasi di Kantor BPN. Pasalnya, dalam pantauan mereka, sebagian lahan HGU, dipermasalahkan masyarakat sekitar. Terjadi saling klaim di lahan yang sama.
Menurutnya, apabila dalam penerbitan HGU terdapat maladministrasi, gratifikasi, atau penuh dengan manipulasi dokumen, mengajukan gugatan pembatalan HGU atas dasar maladiministrasi harus dilakukan.
“Jika Kepala Kanwil BPN Kalbar mempunyai keberanian, bisa saja langsung mencabut HGU yang telah diterbitkan tanpa harus melalui proses pengajuan gugatan di pengadilan,” katanya.
Usai dicabut izinnya, secara hukum lahan tersebut menjadi tanah negara.
“Kasus ini sebenarnya dapat dijadikan gerbang awal untuk membuka perusahan-perusahaan pemegang HGU yang dalam penerbitannya ada indikasi gratifikasi atau manipulasi. Aparat penegak hukum bersama pemerintah, tinggal menginventarisir HGU-HGU yang tersebar di Kalbar. Guna memastikan apakah dalam proses penerbitan sudah sesuai prosedur,” bebernya.
Perkara lain, terkait peruntukan sesuai ketentuan. Sebab banyak ditemukan HGU keluar di lahan yang dalam penguasaan masyarakat. Selain itu, lahan HGU yang tidak dikelola, lebih baik dicabut lantaran berpotensi disalahgunakan.
Terpisah, Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan langkah KPK bersama penegak hukum patutu didukung dan apresiasi. Sudah semestinya para mafia berdasi di sejumlah instansi yang mencuri uang rakyat segera ditindak tegas.
“Penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur terkait HGU ini memberi isyarat bahwa praktik buruk aparatur terkait dengan perizinan dalam sektor tata kelola sumber daya alam selama ini perlu terus diawasi oleh publik,” katanya.
Dia ingin kasus ini dibuka lebar. Semua jaringan yang terlibat di dalamnya harus diungkap. Jika tidak, lemahnya penegakan hukum kembali jadi catatan. Sebagaimana dalam sejumlah kasus karhutla yang melibatkan korporasi yang kerap menguap tanpa kabar.
“Sejauh ini wajar saja terjadi bila melihat praktik oknum aparatur yang berani bermain, terlebih ruang tersebut juga dibuka oleh pemodal yang memungkinkan penyalahgunaan wewenang terjadi. Pada akhirnya rakyat Kalbar kemudian jadi korban,” katanya.
Dalam hal ini, dia meminta keseriusan penegak hukum dan Gubernur Kalbar memastikan unit kerja lembaganya terhindari dari praktik buruk.
Gebrakan penegak hukum maupun Gubernur Kalbar dalam memutus rantai korupsi sektor sumberdaya alam sangat kita harapkan agar jangan ada rakyat yang dilukai karena ulah sejumlah oknum pejabat.
“Pada gilirannya juga akan menjadi pemicu kerusakan lingkungan hidup masif. Demikian juga risiko kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan haknya menjadi rentan,” katanya.
Kasus yang terjadi juga mengkonfirmasi realitas lapangan terkait dengan tumpang tindih perizinan maupun sertifikat yang bermasalah. Yang akhirnya, berimplikasi pula dengan risiko degradasi maupun deforestasi.
“Kejadian penyalahgunaan kewenangan terkait penerbitan HGU ini juga menjelaskan kuatnya relasi soal sikap pemerintah yang tidak mau mengungkap data HGU ke publik. Kasus ini harusnya jadi landasan untuk memastikan pentingnya data HGU dibuka untuk publik,” tutupnya. (din/iat/sms/bls)
Catatan
Kelam Korupsi SDA
AKTIVIS Lembaga Gemawan, Sri Haryanti mengatakan Kalbar merupakan salah satu daerah yang memiliki catatan kelam kasus korupsi sumber daya alam (SDA). Khususnya di sektor kehutanan. Salah satu contohnya adalah kasus mantan Bupati Sintang 2000-2005, Elyakim Simon Djalil terkait korupsi penyalahgunaan dana Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR).
“Sulitnya menjerat kasus korupsi SDA karena menghitung kerugian negara yang ditimbulkan itu tidak mudah, seperti kerugian negara APBN atau APBD karena korupsi SDA menimbulkan kerugian yang lebih besar dan lebih luas. Seperti akan berdampak pada bencana dan kelestarian sumber daya alam kita,” terangnya.
Sesulitan menghitung kerugian itu karena akibat yang ditimbulkan juga masuk hitungan. Misalkan di sektor kehutanan, akan dihitung berapa penerimaan pajak jika tak ada korupsi. Demikian pula dampak ketika ada korupsi di dalamnya, termasuk dari aspek sosial ekonomi.
“Jadi penghitungannya ini lebih pada potensi kehilangan sumber pendapatan negaranya,” katanya.
Bukti dari adanya korupsi masif di sektor SDA Kalbar adalah, dengan wilayah kawasan hutan dan pengelolaan lahan yang besar, tapi masih timpang pengelolaan antara perusahaan dengan masyarakat. Perbandingannya, masih lebih besar dikelola oleh perusahaan.
“Buktinya saat kebakaran hutan beberapa waktu lalu tercatat yang paling banyak lahan konsesi yang terbakar dan penyumbang asap terbanyak,” katanya.
Salah satu bentuk korupsi SDA seperti penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin. Contoh paling menyita perhatian belakangan ini adalah kasus yang menimpa Gubernur Riau. “Jadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak bijak dan korup, akan menyebankan dampak negatif lebih besar termasuk bencana,” sebutnya.
Sri berharap kasus grafitikasi di BPN Kalbar bisa jadi pendorong pengungkapan kasus korupsi SDA lainnya. Pasalnya, dipastikan pelaku korupsi tidak dapat berdiri sendiri, baik yang membantu, penerima dan pemberi.
“Diharapkan dengan terungkapnya kasus ini akan menjadi pintu masuk untuk mengungkap yang lainnya. Hal ini bukan semata-mata untuk menyelamatkan uang negara, namun lebih besar lagi demi menyelamatkan sumber daya alam kita,” katanya.
Terlebih belakangan kementerian terkait mewacanakan akan menghapus Izin Mendirikan Bangunan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam syarat investasi. Hal ini justru bisa jadi blunder.
“Jangan sampai demi investasi lantas mengorbankan hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu keberlanjutan lingkungan hidup dan masyarakat secara lebih luas yang akan terdampak,” katanya.
AMDAL memiliki peran penting untuk mengidentifikasi, memprediksi, menginterpretasi, dan mengomunikasikan pangaruh dari suatu kegiatan khususnya suatu proyek, terhadap lingkungan yang membahayakan kehidupan manusia. Pembangunan atau investasi tentu tujuan utamanya adalah demi perekonomian, kesejahteraan masyarakat. Namun bukan berarti harus mengabaikan dampak yang akan ditimbulkan.
“Temuan menteri terkait investor yang batal menanam modal di Indonesia karena izin dipersulit, berarti pertama yang harus diperbaiki adalah mekanime perizinannya. Sulitnya memperoleh izin tidak dapat terlepas juga dari kasus-kasus korupsi yang selama ini banyak terjadi saat mengurus perizinan. Demi mendapatkan izin cepat lantas suap menyuap pun terjadi. Tidak akan ada yang sulit jika dilakukan sesuai dengan regulasi atau kebijakan yang ditentukan,” sebutnya. (bls)