PONTIANAK, SP – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Pontianak menuntut terdakwa Luci Fatmala, pelaku utama kasus penganiayaan terhadap Grace Zikha Vivian Lee (19) dengan ancaman tiga bulan penjara. Tuntutan ini dinilai terlalu ringan dan sangat melukai rasa keadilan bagi keluarga korban.
Edward Setiarso Hari Murti, kuasa hukum Grace Zikha Vivian Lee mengatakan, keluarga korban merasa sangat kecewa karena tuntutan tersebut sangat ringan jika dibandingkan dengan perbuatan yang telah dilakukan terdakwa terhadap kliennya.
”Pihak keluarga tidak terima kalau terdakwa hanya dituntut tiga bulan penjara. Jika dibandingkan dengan penderitaan yang dialami korban, terdakwa seharusnya bisa dituntut lebih dari itu,” kata Edward kepada Suara Pemred, belum lama ini.
Menurut Edward, tuntutan tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan ancaman maksimal dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan yakni pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda maksimal Rp4,5 juta.
“Sementara tuntutan jaksa hanya tiga bulan. Kalau di atas itu (tiga bulan), misal tujuh atau delapan bulan, kita sebenarnya tidak ada masalah,” ujarnya.
Kata Edward, penganiayaan yang dilakukan terdakwa juga telah mengakibatkan harga diri korban yang merupakan seorang wanita benar-benar sudah dilecehkan. Pasalnya, setelah dihajar sampai lebam-lebam, rambut dibotakin, ditelanjangi, dan direkam dengan video. Kemudian video itu dikirim ke orang tua serta disebarkan kepada teman-teman korban.
“Atas kejadian itu, korban mengalami trauma yang mendalam. Seharusnya JPU yang mewakili korban bisa memberikan tuntutan yang lebih berat,” ucapnya.
Apalagi katanya, sejak awal penanganan kasus ini, korban juga tidak mendapatkan keadilan. Hal itu bisa dilihat dari tidak ditahannya terdakwa usai ditetapkan menjadi tersangka, meski barang bukti sudah lengkap.
Oleh sebab itu kata Edward, pihaknya berharap pengadilan atau hakim yang memimpin sidang bisa memberikan hukuman maksimal demi keadilan bagi korban dan keluarganya.
“Kami meminta hakim melihat kasus ini secara obyektif dan tidak hanya menjatuhkan putusan sesuai tuntutan jaksa. Hakim diharapkan memberi hukuman yang lebih berat kepada terdakwa,” harapnya.
Diketahui, sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa Luci Fatmala alias Luci Binti Suratman digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kota Pontianak, pada Rabu (4/9/2024) lalu.
Dalam perkara Nomor: 354/Pid.B/2024/PN Ptk tersebut, JPU meminta Majelis Hakim PN Pontianak yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang didakwakan oleh JPU dalam dakwaan tunggal Pasal 351 ayat (1) KUHP.
Kemudian menjatuhkan pidana penjara selama tiga bulan dikurangi masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani.
Selain itu, JPU juga menyatakan agar terdakwa tetap ditahan, dan membayar biaya perkara sebesar Rp5.000.
Seiring masih berprosesnya perkara ini di pengadilan, Edward khawatir vonis terhadap terdakwa pada sidang putusan nantinya akan lebih ringan dari tuntutan yang sudah rendah.
Hal itu bukan tanpa alasan, pasalnya dia mencium adanya indikasi permainan atau pengaturan dalam persidangan, dimana pihak korban cenderung dirugikan dan pihak terdakwa mendapatkan keuntungan saat persidangan.
Edwad mengaku sebelumnya sempat mendampingi orang tua korban menghadiri sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi korban. Dalam sidang itu, hakim dan jaksa menurutnya tidak berupaya maksimal untuk menggali keterangan dari saksi yang dihadirkan, padahal keterangan saksi dapat memperberat dakwaan.
“Majelis hakim hanya memberikan waktu 10 menit kepada JPU untuk bertanya, sehingga keterangan yang diberikan saksi tidak detail terkait apa yang telah didakwakan. Saat saksi berupaya menceritakan rangkaian peristiwa secara lengkap hingga bagaimana korban ditelanjangi dan divideokan, hakim buru-buru menghentikan, lalu bertanya tentang persoalan lain,” ungkap Edward.
Dalam persidangan, hakim juga tidak bertanya sama sekali kepada korban. Hakim hanya bertanya kepada terdakwa apa benar ceritanya seperti itu dan dijawab oleh terdakwa tidak benar. Selain itu, ketika pihak korban mengajukan untuk memperlihatkan bukti video saat korban ditelanjangi, hakim menolak dengan alasan masalah asusila.
“Semua saksi korban yang hadir di persidangan ingin menceritakan apa yang dialami korban saat peristiwa penganiayaan, namun tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan, jadi seolah-olah sudah diatur. Hakim pun sama, hanya bertanya saat pemeriksaan terdakwa,” ungkapnya.
Edward menegaskan, hakim seharusnya bertindak netral. Begitu juga jaksa harus membuktikan tindak pidana bagi terdakwa, sedangkan lawyer membela kliennya dari dakwaan. Tapi dalam persidangan yang terjadi justru sebaliknya, antara hakim dan JPU netralitasnya patut dipertanyakan.
Ambil contoh katanya, dari sisi pertanyaan saja cenderung menguntungkan terdakwa. Jaksa yang seharusnya membuktikan adanya suatu tindak pidana, justru lebih mengarahkan bagaimana terdakwa lebih ringan tuntutannya. Begitu juga dengan hakim yang harusnya netral, justru berupaya membela terdakwa dari sisi pertanyaan, dan sisi waktu yang diberikan.
Melihat fakta rendahnya tuntutan dan adanya indikasi kecenderungan tidak netral, Edward menduga ada permaianan dan praktik jual beli hukum dalam perkara ini. Hakim dan jaksa menurutnya patut diduga sama-sama telah “masuk angin”.
“Bukti adanya praktik jual beli hukum itu darimana? Pertama saat persidangan pemeriksaan terdakwa. Kemudian dari sisi tuntutan yang ringan. Kalau memang hanya pemukulan yang menyebabkan memar dan sebagainya, tiga bulan masuk akal. Tapi dengan adanya penyiksaan lain seperti rambut korban dibotaki dan ditelanjangi, kemudian divideoakan dan videonya disebar, tuntutan tiga bulan itu bukanlah keadilan,” ujarnya.
“Maka saya bilang persidangan perkara ini kalau tidak dipantau bisa bahaya. Bisa melukai rasa keadilan masyarakat, khususnya pihak korban dan keluarganya,” tegasnya.
Dia pun berharap hakim mampu menjaga marwah pengadilan. Jangan sampai keputusan yang janggal membuat kepercayaan masyarakat semakin turun dan stigma hukum dapat 'dibeli' menjadi sebuah kebenaran.
Sementara itu, terkait adanya kekecewaan dan kritik dari pihak keluarga korban atas ringannya tuntutan kepada terdakwa, pihak JPU Kejari Pontianak hingga kini belum memberikan keterangan.
Suara Pemred sudah mencoba menghubungi serta mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp kepada JPU Dedy Saputro Syaras SH untuk mempertanyakan apa saja dasar dan pertimbangan JPU untuk menuntut terdakwa tiga bulan penjara, namun hingga berita ini diturunkan upaya konfirmasi tersebut tidak dijawab.
Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan penganiayaan terhadap Grace Zikha Vivian (GZV), gadis muda asal Pontianak Utara dengan terdakwa Luci Fatmala mulai disidangkan. Perkara Nomor: 354/Pid.B/2024/PN Ptk ini pertama kali disidangkan pada Kamis (11/7/2024) di Pengadilan Negeri Pontianak.
Penuntut Umum dalam dakwaannya memperkarakan Luci melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP, karena melakukan penganiayaan terhadap korban.
Kuasa hukum GZV, Edward Setiarso Hari Murti menjelaskan, kejadian tersebut berawal pada 6 Februari 2024 lalu. Saat itu, GZV dihubungi oleh B untuk datang ke imperium di salah satu hotel di Kota Pontianak. Kemudian GZV pun menyetujuinya dan berangkat ke imperium hotel tersebut.
Lalu sampainya di tempat tersebut sekitar pukul 14.00 WIB, GZV bertemu dengan B, kemudian sekira pukul 19.00 WIB, terdakwa Luci datang juga ke imperium hotel tersebut atas undangan B.
Kemudian sekitar pukul 20.00 WIB, GZV bersama-sama dengan B dan terdakwa Luci serta dua teman dari B yakni M dan N pergi ke Hotel di Jalan Gajah Mada, Kelurahan Benua Melayu Darat, Kecamatan Pontianak Selatan.
Setelah sampai di hotel tersebut, GZV, terdakwa Luci bersama dengan B dan dua temannya pergi menuju kamar yang sudah di pesan sebelumnya oleh B dengan nomor kamar 1108 untuk makan bersama serta ngobrol.
"Selanjutnya sekira pukul 23.50 WIB, terdakwa Luci keluar dari kamar dengan alasan mau pulang melihat anaknya," jelasnya, Minggu (21/7/2024).
"Kemudian sekira 10 menit terdakwa Luci datang kembali ke kamar tersebut dan langsung menghampiri GZV dengan menyampaikan kepada GZV bahwa GZV menerima uang dari suami terdakwa yang bernama Axcel Lawrance sebesar Rp15 juta," sambungnya.
Axcel Lawrance mengirimkan uang kepada saksi GZV melalui aplikasi GOPAY. Kemudian terdakwa Luci menuduh GZV menjalin hubungan dengan suami terdakwa. Selanjutnya terdakwa Luci langsung memukul GZV.
Dengan cara pada saat itu saksi korban sedang baring dengan posisi di infuse. Luci mencabut paksa infus GZV kemudian memukul secara bertubi-tubi menggunakan tangan kanan dan tangan kiri mengenai bagian muka dan bagian leher serta bagian badan GZV dengan menggunakan kaki.
Kemudian bagian tangan sebelah kiri dan tangan sebelah kanan GZV, lanjut Edward dicakar dan dipukul terdakwa, Luci. Akibat perbuatan tersebut mata GZV mengalami bengkak pada bagian mata sebelah kiri. Lalu leher mengalami luka memar, tangan dan badan mengalami sakit dan memar.
"Saat itu terdakwa Luci mengatakan bahwa GZV ada tiga pilihan tindak lanjut yang akan dilakukan terdakwa Luci yaitu terdakwa akan datang ke tempat nenek GZV yang berada di Siantan, Kecamatan Pontianak Utara," katanya.
"Kedua rambut GZV digunting, dan ketiga terdakwa menyuruh GZV untuk sujud dan mencium kaki terdakwa, kemudian GZV merasa tertekan dan memilih untuk sujud dan mencium kaki terdakwa," sambungnya.
Namun saat setelah GZV melakukan apa yang terdakwa Luci minta, kemudian terdakwa menghubungi temannya yang bernama F untuk membawa satu buah gunting. Selanjutnya setelah F datang, terdakwa Luci langsung menggunting rambut GZV sampai hampir botak.
Setelah itu, terdakwa Luci memukul kembali GZV dibagian pipi sebelah kiri menggunakan tangan kanan dan barang-barang GZV berupa handphone dibanting ke lantai dan diinjak-injak, kartu ATM dipatahkan, uang pecahan 100 dolar singapura milik GZV sebanyak tiga lembar dirobek.
"Terdakwa kemudian menyuruh dan memaksa GZV untuk mentransfer uang sebesar Rp20 juta melalui m-Banking saat sebelum handphone tersebut dibanting, kemudian GZV diusir dan disuruh pulang oleh terdakwa," ungkapnya.
Namun saat itu dikarenakan barang-barang sudah dirusak dan GZV tidak bisa menghubungi orang untuk menjemput. Kemudian terdakwa Luci mengantarkan pulang GZV ke rumah kos G di Jalan Danau Sentarum, Gang Sentarum Indah, Kecamatan Pontianak Kota.
"Selanjutnya atas kejadian tersebut saksi korban melaporkan ke Polresta Pontianak Guna proses lebih lanjut," jelasnya.
Dikatakan Edward, akibat perbuatan terdakwa Luci, GZV mengalami luka memar sebagaimana sesuai dengan hasil Visum et Repertum Rumah Sakit Bhayangkara Pontianak Nomor : VER/82/II/2024 tanggal 07 Februari 2024 yang diperiksa oleh dr. Sy. Lutfi FA dan ditandatangani oleh PJ Kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Bhayangkara Pontianak.
Dengan hasil pemeriksaan sebagai pada pemeriksaan luar di tubuh korban tersebut dijumpai luka memar pada mata, mulut, leher dan anggota gerak atas, dijumpain luka lecet gores pada anggota gerak atas. Serta dijumpai bekuan darah pada hidung akibat rudapaksa tumpul yang mana akibat dari kekerasan tersebut dapat sembuh, namun akan menghalangi kegiatan korban beberapa hari.
"Bahwa akibat perbuatan terdakwa Luci, GZV terganggu aktivitasnya dalam melakukan aktivitas sehari-hari," ungkapnya.
Pihak kuasa hukum GZV juga menyayangkan hingga dilaksanakan persidangan tersangka tidak dilakukan penahanan dengan alasan menyusui. Padahal berdasarkan fakta-fakta melalui teman-teman tersangka sudah tidak menyusui anaknya lagi.
"Hingga persidangan dilaksanakan, tersangka tidak dilakukan penahanan, dengan alasan menyusui. Padahal faktanya, melalui teman-teman tersangka, tersangka sudah tidak menyusui anaknya lagi," pungkasnya. (din/ind/dok)