Ponticity post authorKiwi 19 Oktober 2021

Jadi Pelanggar HAM Teratas, Pengamat Minta Polri Lakukan Evaluasi

Photo of Jadi Pelanggar HAM Teratas, Pengamat Minta Polri Lakukan Evaluasi Ilustrasi

PONTIANAK, SP – Pada Tahun 2021, Polri menempati posisi teratas sebagai pihak yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dengan jumlah 2.331 aduan pelanggaran HAM yang diterima Komisi Nasional (Komnas HAM).

Data itu disampaikan Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam cuitannya di Twitter, belum lama ini.

Beka menyebut, sebelumnya pada tahun 2019 sedikitnya ada 744 dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi. 46,8 persen di antara data tersebut merupakan dugaan penanganan proses hukum yang tidak sesuai dengan prosedur dan 22,3 persen sisanya merupakan pengaduan kelambanan polisi dalam mengusut kasus.

Meski jumlah aduan yang diterima pada 2019 turun dari 2018 yang angkanya mencapai 1.670 aduan, namun jumlah itu masih fluktuatif. Sebab, pada 2020 angkanya kembali naik menjadi 758 pengaduan.

Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum Herman Hofi Munawar menilai pihak kepolisian harus melakukan evaluasi lebih lanjut. Jika ada asumsi atau hasil penelitian yang mengatakan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan Polri semakin meningkat, Polri harus legowo dan melihat persoalan ini secara terbuka.

“Artinya dari internal harus melakukan evaluasi lebih lanjut," ucap Herman Hofi pada Selasa (18/10).

Evaluasi tersebut untuk menyikapi apakah benar memang terjadi seperti demikian. Barangkali ada mekanisme yang dilakukan jajaran Polri sehingga diduga terjadi pelanggaran HAM. Kritikan atau masukan diharapkan bisa menjadi pintu masuk bagi Polri untuk terus melakukan inovasi.

Herman menyebut, semua pihak berharap Polri terus membenahi jajarannya. Seperti diketahui bersama memang ada oknum yang nakal yang mesti harus dibenahi. Seluruh aspek yang ada di dalam tubuh Polri harus dibenahi.

"Sangat sayang sekali akibat hal tersebut tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri akan berkurang," katanya.

Menurut Herman, pelanggaran HAM oleh Polri bisa saja terjadi, pasalnya kepolisian selalu berhadapan langsung dengan masyarakat. Sehingga bisa saja terjadi adanya anggapan-anggapan seperti demikian.

“Akan tetapi tentu saja definisi terkait pelanggaran HAM harus konkret dan jelas sesuai regulasi yang telah ada. Pasalnya tidak bisa dikatakan pelanggaran HAM hanya atas dasar asumsi masing-masing orang. Dalam penegakan hukum bisa saja ada anggapan pelanggaran HAM sehingga diperlukan adanya evaluasi,” jelasnya.  

"Polri harus terbuka diantaranya dengan memanggil seluruh stakeholder terkait untuk mendiskusikan hal tersebut. Polri bisa membuat FGD untuk membahas hal tersebut," tambahnya.

Dikatakannya, dengan langkah tersebut bisa diketahui unsur mana yang dikatakan Polri ada pelanggaran HAM. Jika memang ada pelanggaran HAM maka harus dibenahi. Polri harus membuka diri dengan mendiskusikan dengan berbagai pihak untuk melihat pelanggaran HAM, atau hanya kelompok masyarakat yang hanya ingin kinerja Polri menurun.

"Jangan sampai dengan adanya isu ini malah akan memperlemah Polri. Jika isu ini disengaja diangkat untuk menurunkan kinerja Polri ini tidak boleh terjadi," tuturnya.

"Jika hal tersebut terjadi maka akan berdampak pada melemahnya penegakan hukum. Kritikan tersebut tidak boleh membuat Polri menjadi lemah dalam penegakan hukum," tukasnya. (din)

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda