PONTIANAK, SP – Putusan bebas yang dijatuhkan Pengadailan Tinggi Pontianak kepada Yu Hao, Warga Negara Asing (WNA) asal Cina yang sebelumnya didakwa atas kasus pencurian emas seberat 774 kilogram di Ketapang menuai kritik dari berbagai kalangan.
Keputusan bebas tersebut sebelumnya tertuang dalam dalam putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 464/PID.SUS/2024 PT PTK tanggal 13 Januari 2025. Putusan tersebut membatalkan putusan Pengadilan Negeri Ketapang Nomor 332/PID.SUS/2024/PN KTP tanggal 10 Oktober 2024. Saat itu, hakim menjatuhkan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp30 miliar ke Yu Hao. Namun, putusan tersebut batal usai banding Yu Hao dikabulkan Majelis Hakim.
Merespons hal ini, dikutip dari situs resmi Komisi Yudisial (KY), Minggu (19/1), KY akan memberikan atensi terhadap kasus-kasus yang menarik perhatian publik dan akan mendalami kasus tersebut.
KY mempersilakan kepada publik untuk melaporkan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) majelis hakim yang menangani perkara ini beserta bukti pendukung.
Nantinya KY akan memproses laporan tersebut sesuai dengan prosedur yang berlaku, untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran kode etik hakim.
"Publik dapat melaporkan apabila ada dugaan pelanggaran kode etik hakim disertai dengan bukti pendukung, sehingga nantinya laporan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh KY sesuai prosedur yang ada," kata Anggota yang juga menjabat Juru Bicara KY, Mukti Fajar.
Keputusan Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak tersebut juga langsung mendapat respon dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Usai mengeluarkan keputusan tersebut, Kahaksaan Agung melalui Kejaksaan Negeri Ketapang pun mengajukan langkah hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
“Sesuai hukum acara, JPU telah mengambil sikap untuk menyatakan kasasi atas putusan dimaksud dan sudah menandatangani Akte Permohonan Kasasi No.7/Akta.Pid/2025/apN-Ktp tanggal 17 Januari 2025, dan saat ini JPU dalam perkara ini sedang menyusun Memori Kasasi,” tutur Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar saat dikonfirmasi, Jumat (17/1).
Sementara itu, Sekertaris Komisi IV DPRR Kalbar, Mulyadi Tawik menilai wajar apabila keputusan bebas yang diberikan Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak mendapat banyak sorotan, apabiagi jika melihat besarnya kerugian daerah dari kasus ini.
“Kita melihat wajar jika menjadi sorotan banyak pihak, kasus ini melibatkan kerugian negara yang besar, apalagi kita ketahui sendiri ekonomi negara kita sekarang ini sedang membutuhkan banyak pemasukan, namun yang terjadi sember daya alam kita malah dicuri,” katanya kepada Suara Pemred, Minggu (19/1).
Mulyadi Tawik juga berharap adanya asas transparasi terkait putusan yang diberikan oleh hakim dapat dilakukan agar masyarakat bisa mengetahui secara rinci dasar hakim memberikan putusan tersebut.
“Apalagi kasus ini juga melibatkan warga negara asing, transparansi harus dilakukan jangan sampai terjadi simpang-siur di masyarakat, semua pihak saya harap dapat menyoroti kasus ini,” pintanya.
Komisi IV DPRD Kalbar, lanjuit dia juga tidak menutup kemungkinan untuk memanggil pihak-pihak terkait untuk membahas aktivitas ilegal pertambangan di wilayah Kalimantan Barat agar aktivitas ilegal pertambangan dapat dicegah dan dihentikan.
“Sesuai dengan tupoksi kami di DPRD Kalbar, kita tidak menutup kemungkinan untuk membahas aktivitas-akitivitas ilegal pertambangan dengan pihak terkait,” tukasnya.
Wajar Muncul Kecurigaan
Pimpinan Komisi III DPR menilai hal wajar muncul kecurigaan atas hakim Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak membebaskan warga negara China, Yu Hao, dalam kasus tambang emas ilegal 774 kg. Menurut Komisi III DPR, putusan di tingkat pertama sudah tepat namun dianulir.
"Saya rasa wajar bila banyak pihak curiga, termasuk kami di Komisi III DPR. Karena jelas sekali sudah pelanggarannya, angkanya pun besar. Vonis di awal sudah benar sehingga tidak masuk akal bila ini bandingnya dikabulkan," kata Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, kepada wartawan, Sabtu (18/1).
Oleh sebab Sahroni mencium ada skenario di balik putusan bebas Yu Hao terdakwa kasus tambang emas illegal. Sahroni meminta PT Pontianak memberikan penjelasan atas vonis bebas Yu Hao.
"Saya mencium ada skenario di kasus ini. Vonis awal sudah bagus, perhatian publik sudah lengah, nah baru dimainkan saat banding. Saya minta Pengadilan Tinggi Pontianak menjelaskan dulu dengan detil tentang vonis banding ini," ujarnya.
Preseden Buruk Penegakan Hukum
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rere Christianto menilai vonis ini sebagai preseden buruk penegakan hukum di Indonesia.
Selain itu, kata dia, dari sisi pertambangan, pembebasan dan pemulihan nama baik Yu Hao berpotensi membuat masyarakat melihat pemberian izin kelola tambang bisa didapat dengan mudah.
“Pemberian izin itu harusnya diberikan sebagai upaya untuk melakukan pembatasan dan perlindungan kepada wilayah. Sehingga tidak semua tempat, tidak semua orang bisa melakukan aktivitas pertambangan sehingga meluas dan mengancam keselamatan (masyarakat). Harusnya ada perlindungan, baik bagi pekerja maupun warga sekitar,” kata dia Kamis (16/1).
Bagi Rere, izin pengelolaan tak semata-mata merupakan alat distribusi seseorang atau suatu kelompok atas suatu wilayah tambang. Lebih dari itu, pemberian izin merupakan pembatasan dan perlindungan pemerintah terhadap lingkungan hidup dan masyarakat.
“Kalau kemudian fungsi-fungsi ini lebih jalan, karena aktivitas ilegal, tidak ada pendapatannya, tidak ada perlindungannya, itu akan mengancam wilayah sekitarnya,” kata Rere.
Di sisi lain, kata dia, jika dilihat dari modus kejahatan Yu Hao, maka pembebasan WNA asal Cina itu menunjukkan buruknya tata kelola pertambangan dan juga pengawasan terhadap perizinan yang sangat lemah.
Desak KY Lakukan Pengusutan
Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo mendesak Komisi Yudisial atau KY mengusut hakim yang mengabulkan permohonan banding terdakwa Yu Hao.
Ia mengaku curiga lantaran putusannya sangat janggal. Karena itu, ia mendorong badan pengawas internal menyelami putusan kontroversial tersebut.
"Karena ini putusannya janggal, tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, dianggap hakim tidak menggali dan menyelami rasa keadilan masyarakat, maka patut diduga putusan bebas ini ada unsur lainnya, sehingga ada faktor lain lah," kata Rudianto kepada wartawan, Jumat (17/1).
"Sehingga menurut saya, apalagi melibatkan warga negara lain, menurut saya pasti ada intervensi karena faktor apa dan sebagainya, uang dan sebagainya," sambungnya.
Dia juga mendorong agar para hakim-hakim yang memberikan putusan bebas terhadap WN China tersebut agar diusut. Terlebih KY menurutnya harus bisa bekerja.
"Komisi Yudisial juga harus bekerja, selaku lembaga eksternal yang diberi mandat undang-undang untuk memeriksa perilaku oknum yang menyimpang, putusan janggal ini pintu masuknya saya kira. Meskipun putusan tidak bisa dipidana, karena itu menjadi mahkata kewenangan hakim, tetapi karena putusannya tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat seperti kasus Tanur, ini patutnya diduga ada permainan," ujarnya.
"Harus KY memeriksa, kalau perlu panggil itu hakim, dengan siapa dia bertemu," imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pihaknya juga akan membawa isu banyaknya putusan janggal hakim saat Komisi III rapat bersama dengan Mahkamah Agung.
"Memang Komisi III ada jadwal setiap tahun, berkonsultasi dengan pimpinan Mahkamah Agung. Kita berharap pimpinan Mahkamah Agung, dalam menempatkan hakim-hakim, khususnya di pengadilan kelas 1, 1 khusus, betul-betul hakim yang ditempatkan, hakim yang punya integritas, yang punya rekam jejak baik, khususnya bagaimana memenuhi rasa keadilan masyarakat," pungkasnya.
Cara Beroperasi
Sebelumnya, dari hasil penyidikan Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yu Hao diketahui berperan sebagai pimpinan penambangan di bawah tanah (underground mining) di Dusun Pemuatan Batu, Desa Nanga Kelampaim Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada kurun waktu Februari- Mei 2024.
Kegiatan penambangan tanpa izin tersebut mengakibatkan kerugian negara atas hilangnya cadangan emas dan perak sebesar lebih kurang 774.200 gram dan cadangan perak lebih kurang 937.700 gram.
Karena itu, sesuai Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, tersangka terancam hukuman kurungan pidana selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Perlu diketahui, modus yang digunakan Yu Hao adalah dengan melakukan aktivitas pertambangan pada lubang tambang dalam (tunnel) yang masih dalam pemeliharaan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), dengan alasan pemeliharaan dan perawatan.
Namun, pada praktiknya para penambang ilegal itu melaksanakan blasting/pembongkaran menggunakan bahan peledak, kemudian mengolah dan memurnikan bijih emas di dalam tunnel tersebut. Hasil pekerjaan pemurnian di tunnel tersebut dibawa ke luar lubang dalam bentuk dore/bullion emas.
Di lokasi tunnel ini ditemukan sejumlah alat bukti yang menjadi ciri khas pengolahan dan pemurnian emas, antara lain pemecah batu (grinder), induction furnace, pemanas listrik, koli untuk melebur emas, cetakan bullion grafit, blower, bahan kimia penangkap emas, garam, kapur dan peralatan yang digunakan untuk menambang, antara lain blasting machine, lower dozer, dump truck listrik dan lori.
Dengan modus dan alat bukti tersebut, seharusnya dapat menjadikan pertimbangan hakim untuk menjatuhkan hukuman lebih berat kepada Yu Hao. Namun, nyatanya yang terjadi adalah sebaliknya. Tak cuma ringan, Yu Hao yang membawahi 80 WNA asal Cina dan para pekerja lokal justru bebas dari hukuman dan bahkan dipulihkan nama baiknya.
Sementara itu, kasus pertambangan ilegal yang melibatkan WNA sebetulnya cukup banyak ditemui. Salah satunya WNA asal Korea Selatan yang ditindak Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada September 2024, karena menjadi pelaku sekaligus pemodal penambangan pasir tanpa izin di kawasan Hutan Lindung Desa Lariang, Kecamatan Tikke Raya, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Kasus lain, 15 WNA Cina yang ditangkap Kepolisian Resor Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat karena diduga terlibat dalam kegiatan tambang emas liar di Sekotong. (dtc/trt/src/jee)