PONTIANAK, SP – Praktik politik uang selalu memiliki potensi terjadi pada setiap pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Sudah menjadi rahasia umum, praktik ilegal ini seperti menjadi ‘senjata’ andalan peserta pemilu agar dapat mendulang suara dukungan masyarakat.
Praktik politik uang kerap dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun tidak jarang dilakukan secara terbuka. Kaki tangan calon anggota legislatif (caleg) misalnya, mereka tidak segan menjajakan caleg ke warga dan langsung ‘ketok’ harga untuk mendapatkan suara dukungan.
Keputusan untuk membeli suara dukungan tentunya bukan sekadar ide dari kaki tangan atau tim sukses caleg. Pastilah keputusan itu keluar dari mulut caleg yang memerintahkan tim sukses mereka mengumpulkan suara dukungan masyarakat untuk dibeli.
Seperti yang disampaikan oleh salah satu sumber Suara Pemred yang mencalonkan diri menjadi salah satu calon anggota DPR RI. Pria berperawakan kurus tinggi ini mengatakan hampir semua caleg, baik itu caleg pendatang baru maupun caleg incumbent kompak menggunakan cara jual beli suara atau politik uang pada pemilu mendatang.
“Sebenarnya bukan lagi menjadi rahasia umum. Praktik jual beli suara ini masih banyak digunakan caleg, baik di tingkat kota, kabupaten, maupun untuk tingkat pusat. Sudah ada paket harganya lagi,” katanya, Rabu (29/11).
Paket harga yang dimaksud adalah harga suara dukungan untuk pemilihan legislatif (pileg) tingkat DPRD kabupaten atau kota, DPRD provinsi, dan DPR RI.
“Harga paketnya ada yang sampai Rp1 juta untuk borong suara satu keluarga atau per-KK untuk memilih nama caleg yang sudah ditentukan tingkat DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, dan DPR RI,” katanya.
Kemudian ada lagi paket harga yang lebih murah. Paketnya Rp500 ribu. Ditujukan untuk perseorangan dengan syarat memilih tiga nama caleg yang sudah ditentukan untuk tingkat DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, dan DPR RI.
Di bawah harga itu, ternyata, kata sumber tersebut, masih ada. Paket harganya Rp300 ribu dan ditujukan untuk perorangan. Tapi ini hanya untuk memilih dua nama caleg yang telah ditentukan untuk tingkat DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi.
“Yang paling murah itu harga paketnya Rp150 ribu, untuk memilih caleg yang sudah ditentukan untuk tingkat kota atau kabupaten,” ungkap sumber tersebut.
Nyaleg Karena Sakit Hati
Ada juga hal menarik yang didapat Suara Pemred dalam praktik politik uang pada pemilu kali ini. Seperti yang diceritakan oleh salah satu warga Pontianak, sebut saja Gunawan (bukan nama sebenarnya) ke Suara Pemred.
Pria berusia 40 tahun ini mengaku tahun ini maju menjadi caleg dari daerah pemilihan (dapil) Pontianak Selatan. Gunawan ini ternyata membawa misi lain ketika memutuskan maju menjadi caleg.
Menang pencalegan nomor sekian bagi Gunawan. Misi utamanya merusak suara dukungan salah satu caleg incumbent yang kembali mencalonkan diri pada pemilu kali ini.
“Terus terang, saya maju karena sakit hati dan dendam dengan orang yang saya dukung periode lalu yang sekarang menjadi anggota DPRD Pontianak. Orang ini ingkar janji dengan saya dan tim yang sudah pasang badan untuk kemenangan dia,” ceritanya kepada Suara Pemred, Rabu (29/11).
“Karenanya tahun ini saya maju di dapil yang sama untuk menghancurkan suara dia karena basis (suara) dia itu basis saya,” ungkap Gunawan.
Tak tanggung-tanggung, Gunawan menyiapkan uang mencapai Rp500 juta untuk mendulang suara dukungan dari di dapil-nya tersebut. Sekali lagi, menang pencalegan nomor sekian bagi Gunawan, terpenting suara dukungan masyarakat terhadap caleg yang tidak disukainya pada periode lalu menjadi terpecah.
“Saya sudah hitung kalau di bawah Rp500 juta sulit bisa duduk, karena saya pengalaman jadi tim sukses, ada uang baru ada suara,” ungkap Gunawan dengan nada suara yakin.
Di tempat lain, sumber Suara Pemred yang tidak mau namanya disebutkan menceritakan getirnya dua pencalegan. Dua periode ikut pencalegan, ia gagal total. Harapan duduk di kursi empuk DPRD Pontianak dan mendapat pemasukan besar tak pernah dirasanya.
“Tahun ini saya tak ikut lagi. Nilai beli satu suara tahun ini makin gila-gilaan. Saya juga sudah habis modal. Kapok lah,” katanya.
“Padahal saya pingin jadi anggota dewan, kan keren itu, jadi pejabat dan bisa dapat jatah pokir (pokok pikiran),” ungkap sumber yang saat ini bekerja serabutan.
Praktik politik uang di pemilu, khususnya pemilihan legislatif (pileg) ternyata juga diamini oleh salah satu anggota DPRD Kalbar periode 2019-2024. Wakil rakyat yang juga kembali maju pada pemilu periode ini bahkan mengakui masih menggunakan uang dan barang untuk bisa mendapatkan suara dukungan masyarakat.
“Serba salah, masyarakat sudah banyak yang tidak percaya. Kalau ada, jumlahnya sedikit, kita bisa kalah dengan caleg-caleg yang lain. Jadi terpaksa kita juga ikut budaya dan kebiasaan itu jika ingin memang, walau sebenarnya tidak menjamin memang. Karena banyak orang atau warga dan tim sukses yang membohongi kita, jadi 50 persen kita harus siap duit atau suara kita hangus,” katanya.
62 Juta Pemilih Terlibat Politik Uang
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menyinggung soal politik uang saat dikukuhkan menjadi Guru Besar bidang Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam orasi ilmiahnya, Burhanuddin mengangkat tema Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi yang secara garis besar menyinggung tentang politik uang di negara demokrasi saat pemilihan umum (pemilu).
"Saya mengulas dinamika jual beli suara di Indonesia dan menginvestigasi secara menyeluruh. Pertanyaannya, seberapa banyak praktik politik uang di Indonesia dan seberapa efektif?" ujarnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (29/11).
Berdasarkan riset yang dilakukannya, sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014 terlibat politik uang. Indonesia pun menjadi negara dengan tingkat politik uang tertinggi ketiga di dunia, di bawah Uganda dan Benin.
Burhanuddin melanjutkan pemilih yang menjadi simpatisan menjadi target politik uang. Jumlahnya mencapai 15 persen dari total pemilih, sedangkan 85 persen lainnya adalah massa mengambang (swing voters).
"Mereka enggan membidik pemilih mengambang karena menganggap menerima uang, tapi soal memilih, tidak bisa diandalkan," ujarnya.
Burhanuddin mengakui strategi pembelian suara hanya mempengaruhi pilihan 10 persen pemilih. Kendati demikian, jumlah tersebut lebih dari cukup bagi banyak kandidat untuk mencetak kemenangan dalam pemilu.
"Kandidat butuh segelintir suara. Angka 10 persen bisa menjadi faktor penentu kemenangan. Rata-rata margin kemenangan untuk mengalahkan rivalnya hanya 1,6 persen. Jadi, (10 persen) bisa membuat perbedaan caleg yang menang dan yang kalah," ucapnya.
Sosialisasi Masif Cegah Politik Uang
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalbar, Uray Juliansyah mengatakan Bawaslu akan terus melakukan sosialisasi secara masif ke masyarakat agar tidak tergoda dengan praktik politik uang pada Pemilu.
“Bawaslu juga melakukan kerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, universitas dan ormas untuk mencerdaskan masyarakat dalam memilih pemimpin dan menghasilkan pemilu yang bermartabat,” katanya, Rabu (29/11).
Bawaslu Kalbar, kata Uray tidak bisa bekerja sendiri dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas dan bermartabat. Peran serta masyarakat dalam hal ini juga sangat menentukan.
"Bagi saya komitmen demokrasi yang berintegritas, berkualitas dan bermartabat harus bersumber dari masyarakat sendiri," sebut Uray.
Uray mengimbau masyarakat untuk melapor ke petugas pengawas apabila menemukan praktik politik uang saat pelaksanaan kampanye pemilu.
“Apabila menemukan ada pasangan calon atau caleg yang melakukan praktik politik uang segera laporkan ke petugas pengawas di tingkat RT, desa, kecamatan, maupun kabupaten/kota,” pintanya.
“Sanksi yang dikenakan untuk pelaku politik uang berdasarkan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yakni berupa denda hingga hukum kurungan," lanjut Uray.
Jadikan Politik Uang Musuh Bersama
Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Kalimantan Barat (Kalbar), Umi Rifdiawati mengungkapkan tidak boleh ada toleransi sama sekali terhadap politik uang dalam pemilu. Politik uang dalam pemilu menurutnya harus menjadi musuh bersama.
Lantaran, kata mantan Ketua KPU Kalbar ini, politik uang tidak ada manfaat sama sekali untuk peserta pemilu maupun bagi rakyat sebagai pemilih. Penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu harus berkerja ekstra dalam mencegah dan menindak tindak pidana pilitik uang dalam pemilu.
“Begitu juga dengan masyarakat juga harus peduli untuk mencegah terjadinya politik uang,” kata Umi Rifdiawati.
Terlebih lagi, dikatakan Umi, para peserta pemilu beserta timnya harus punya komitmen untuk tidak menggunakan politik uang dalam pemilu. Terutama untuk mempengaruhi rakyat dalam menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya.
Akan tetapi peserta pemilu harus mengutamakan kampanye yang berbasis visi misi dan program kerja. “Politik uang bukan budaya, karena budaya itu merupakan hal-hal yang terkandung nilai moral yang baik,” jelas Umi.
Umi menegaskan perlunya komitmen dari penyelenggara pemilu dalam hal ini untuk konsen dan mengerahkan segala sumber dayanya untuk mencegah dan menindak politik uang.
“Tidak ada yang sulit, karena penyelenggara pemilu atau para pihak yang diberikan kewenangan sudah jelas perangkat aturan dan dukungan sumber daya dan anggarannya,” tutupnya.
Bawaslu RI Komunikasi dengan PPATK
Ketua Badan Pengawas Pemilu RI (Bawaslu), Rahmat Bagja akan bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengawasi politik uang di Pemilu 2024.
Bagja menyebut politik uang berpotensi terjadi saat masa tenang jelang hari pemilihan. Ia pun mengaku Bawaslu akan berkomunikasi intensif dengan PPATK.
"Pada saat menjelang pemungutan suara, pada saat itu biasanya akan ada praktik-praktik potensi pelanggaran politik uang,” kata Bagja dalam acara Apel Siaga Persiapan Pengawasan Tahapan Kampanye 2024 Bawaslu RI di Jakarta, Minggu (26/11).
"Kami akan intensifkan lagi komunikasi dengan PPATK mengenai alur lintas uang di masa kampanye, karena kalau dikenakan melalui transfer bank akan ada informasi dari PPATK,” lanjutnya.
Sementara itu, anggota Bawaslu, Lolly Suhenty mengaku pihaknya juga akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) membentuk satgas politik siber.
Ia menyebut pihaknya mengawasi media sosial dan akan menindak pelanggaran selama proses Pemilu 2024.
Lolly mengatakan, dalam kurun antara Januari hingga 25 November 2023, Bawaslu telah melakukan 33.740 tindakan pencegahan sehubungan pelanggaran pemilu.
Lolly pun meminta masyarakat untuk melapor jika mendapati dugaan kecurangan pemilu. Bawaslu disebutnya akan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk.
"Ini juga momen penting bagi masyarakat Indonesia, di tahapan kampanye ini untuk tidak ragu-ragu melaporkan berbagai dugaan pelanggaran selama masa kampanye kepada Bawaslu, karena berbagai informasi yang masuk Bawaslu tentu akan kami sikapi dengan melakukan penelusuran,” kata Lolly.
"Haram bagi Bawaslu untuk tidak menindaklanjuti semua informasi yang masuk, baik itu yang sifatnya informasi awal maupun yang sifatnya laporan dari masyarakat,” lanjutnya. (tim)